Matahari tak pernah lelah untuk memberikan hangatnya padaku sampai terasa ke dalam tulang. Yang sampai hari hangatnya masih terasa, ketika aku dengan aku dan rutinitasku sebagai pejuang SBM. Keluar rumah berteman dengan debu menaiki angkutan kota berwarna putih yang kadang tanpa arah-tujuan di kacanya.
Melewati jalan yang sangat familiar, tiba-tiba di pinggir jalan seorang wanita berseru untuk menumpang. Kalian tau apa yang dilakukannya? Ternyata ia mengamen. Kalian perlu tahu keadaannya. Masih muda, sekitar awal 20-an atau mungkin hanya sedikit lebih tua dariku. Saat baru menaiki angkot, ia dengan tak malunya terus mengetik di smartphone keluaran Belanda yang berwarna putih itu. Miris. Betapa tebal wajahnya itu, tak malu mengamen padahal ia mampu membeli ponsel. Itu belum semua. Ia bertato di tangan. Memakai softlens, berbedak, memakai eye liner serta maskara. Sama sekali tak ada tampang sengsara di wajahnya. Jauh sekali dari kata dekil dengan celana jeans dan sepatu yang modelnya seperti kebanyakan yang dijual di online shop.
Kembali, pulang dari bimbel aku bertemu satu lagi yang seperti wanita yang aku temui ketika berangkat. Di pinggir jalan terlihat dua orang lelaki berpakaian ala anak punk yang aku pikir umur mereka tak jauh lebih tua dibandingkan abangku. Mereka telah siap siaga di pinggir jalan meski becek akibat hujan untuk menaiki angkot-angkot yang mau menumpanginya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan wanita yang aku temui sebelumnya. Mungkinkah mereka satu kelompok? Mereka berpenampilan kurang lebih sama. Namun, si lelaki ini lebih mengerikan lagi. Rambut tipis gaya mohawk dengan piercing di sekitar bibirnya, berkacamata hitam, tidak ada tampang dekil dengan kaos dan celana jeans pendek serta sepatu boots-nya. Yang lebih mengagetkanku lagi adalah ia tak bertato di tangan, mungkin itu mainstream untuknya tapi ia bertato di kepala. Ya, kepala. Tetap di kanan-kiri rambut tipisnya.
Aku membuang wajahku tak mau melihatnya karena terbesit rasa kesal dan lebih kesal lagi untuk kejadian saat aku pulang yang sampai hatiku marah melihatnya. Mereka yang mengatasnamakan susu anaknya. Menyebut dibalik kerudung masih ada peduli sosial. Anak jalanan yang butuh makan dan minum. Dan satu lagi, tidak akan miskin karena memberi apa yang diharapkannya. Aku begitu marah dengan mereka yang dengan mudahnya meminta tanpa berusaha. Yang dengan mudahnya bisa berkata seperti itu tanpa berkaca.
Maaf, aku bukan takut miskin. Aku tak takut karena aku memang tak punya apa-apa. Semua yang aku dapat adalah milik orangtuaku yang dititipkan-Nya. Tapi, ini masalah mentalitas. Mentalitas mereka yang masih muda tapi tak mau berjuang. Salah satu dari mereka yang tak malu terus mengetik di ponselnya padahal ia sedang mengamen. Mereka yang tak malu mampu untuk mentato bahkan memasang piercings di tubuh mereka,
Bayangakan saja jika aku dan penumpang yang lainnya memberi sedikit yang kami punya untuknya. Mungkin saja salah satu dari mereka belikan susu untuk anaknya atau memang untuk makan mereka. Tapi? Jika, mereka menggunakannya untuk hal lain? Hal yang tak baik. Aku bukan menuduh ataupun berburuk sangka. Walaupun ada pepatah yang mengatakan jangan lihat buku dari sampulnya tapi bukankah kita diajarkan bahwa melihat seseorang terutama untuk menjadikannya pasangan hidup dilihat dari penampilannya dulu? Bukan hanya itu, mereka yang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudahnya akan terus begitu. Dan akan semakin banyak yang seperti mereka karena mereka tahu itu adalah cara instan mencari uang. Tengoklah Jakarta yang telah menjadi bukti.
Inilah yang aku lihat dan rasakan. Inikah mentalitas pemuda-pemudi Indonesia? Pemalas. Mental jajahan tangan di bawah meminta belas kasih tanpa usaha.
Melihatnya aku teringat tentang sebuh cerita yang dibagikan di sebuah grup yang aku ikuti. Bercerita tentang kita yang rela memberi tips di restoran mahal sedangkan untuk membeli sapu lidi atau rempeyek buatan kakek-nenek yang sangat membutuhkan sesen uang untuk mengisi perut. Tapi, bukan masalah itu. Lihatlah, ketika nenek-kakek yang sudah tua rela berjalan jauh keliling kampung menjual dagangannya atau seorang bapak paru baya yang aku liat hampir setiap hari ketika aku pergi bimbel, ia tak bisa melihat indahnya dunia tapi ia tetap berjuang untuk hidupnya yang gelap.
Kapan negeri ini akan maju jika kita bagian dari bangsa ini bermental seperti itu? Siapa yang akan memajukannya kalau kita meminta untuk sejahtera tanpa bergerak? Sekarang saja sudah seperti ini. Akankah kita terus begini sampai akhirnya hidung kita ditusuk untuk dipakaikan cincin agar lebih mudah untuk diatur jalannya seperti sapi oleh orang yang memberi apa yang kita mau?