Being a mom, a wife is not easy. Ya, jadi seorang ibu, jadi seorang istri itu tidaklah mudah.
Ini kali kedua aku merasa demikian. Kalau ada kutipan yang berkata bahwa, kamu tidak akan mengetahuinya sebelum kamu melakukannya, itu benar adanya. Aku masih berumur kurang dari 20 tahun, masih menjadi mahasiswi aktif di sebuah kampus swasta di Jakarta, dan aku status di KTP-ku masih bertuliskan belum kawin. Ya, aku belum menjadi istri dari seorang lelaki, apalagi menjadi seorang ibu. Belum, masih jauh dari situ. Tapi, pengalaman menggantikan posisi ibu dan istri untuk beberapa hari telah dialami. Dan ini kali kedua, setelah ku ditinggal pergi berlibur, dan saat ini adalah kado untuk ku setelah liburan karena sang mama yang insyaAllah digugurkan dosanya (jika ia bersabar) dengan diberi rasa sakit.
Aku menyebut peran yang ku gantikan ini sebagai mama rumah tangga. Pengganti mama dalam mengurus keperluan rumah dan segala isinya. Dengan menjadi mama rumah tangga, aku merasakan betapa tidak mudah dan cukup melelahkannya peran seorang mama di dalam sebuah rumah tangga. Membersihkan rumah berserta dengan garasi dan halaman, memasak, mencuci, menyetrika dan segala pekerjaan rumah, yang belum lagi ditambah dengan tanggungjawab keuangan dan kesehatan keluarga, serta tugas dalam mendidik anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Rentetan di atas merupakan tuntutan kodrati untuk para perempuan menjadi serba bisa dan jelas tidak mudah untuk dijalankan apalagi tanpa kerjasama dan dukungan dari seluruh anggota keluarga. Karena tanpa dukungan dan kerjasama untuk menciptakan suasana yang kondusif, nyaman, dan tentram di dalam rumah tidak akan terwujud walaupun sang mama telah berusaha untuk menciptakannya.
Karenanya, dari pengalaman dan kesadaran akan tugas seorang ibu dan istri, sekarang aku menjadi lebih mengerti dan harus lebih menghormati Mama dengan kerja kerasnya di rumah serta berusaha untuk lebih rajin lagi membantunya mengurus pekerjaan rumah. Dan, ya, di balik kesulitan ada kemudahan, di balik sebuah kejadian pasti ada hikmah. Di balik duka sakitnya Mama, ada sebenih rasa syukur karena jika keadaan tidak seperti ini aku mungkin tidak akan berani untuk menyentuh penggorengan dan panci.
Memasak merupakan salah satu pekerjaan rumah yang menjadi momok dalam kehidupan dan masa depanku. Sebuah pekerjaan rumah yang jarang dan lebih sering terasa entah mengapa menakutkan untuk dilakukan. Ketakutan akan komentar tak berkenan di hati karena rasanya yang tak pas. Ketakutan akan orang rumah yang sering menganggapku tidak mampu memasak. Padahal dulu sekali, saat sekolah dasar aku sering bereksperimen dalam memasak tapi semua itu sirna ditelan waktu. Namun, terima kasih keadaan yang telah memaksaku seakan kembali ke masa lalu tetapi dengan peningkatan yang signifikan. Walaupun masih kurang percaya diri saat membumbui tapi selalu ada kesenangan dan sedikit kebanggaan yang muncul saat kompor dimatikan. Satu lagi perasaan yang baru bisa ku pahami dan ku mengerti, mengapa tak sedikit orang yang hobi dan melepaskan stres dengan cara memasak.
Sayang, apa yang aku masak kali ini tak semua bisa dirasakan oleh sang Mama, sakitnya yang membuatnya tak bersemangat untuk makan. Padahal akan lebih mengembang dada ini jika beliau merasakannya apalagi jika mengatakan bahwa rasanya enak. Dan meskipun begitu, saat ini kepercayaan diri untuk menyongsong masa depan dan merenggut hati(nya) dan kebahagiaan sedikit lebih jelas dengan bekal memasak. Dan dengan pengalaman dan kesadaran serta pengertian mengenai tanggungjawab dan tugas seorang ibu dan istri tidaklah mudah, aku dipaksa untuk mempersiapkan diri dengan semangat demi menyongsong masa depan menjadi ibu dan istri idaman yang baik untuk sang kekasih dan buah hati (EA).