Sekarang, di dalam kereta menuju stasiun Palmerah, mata dan hidung gue mulai berair karena bagian dari bab keempat buku yang gue baca. Buku pemberian dari Koko gue yang hebat banget, ga pernah ngeluh, ga pernah cape, menginspirasi dan super baik, Ko David. Ini buku dari Thomas Robbins. Dan yang bikin gue mau nangis adalah satu kalimat dari seorang anak kecil yang diajar oleh seorang guru, yang kata Thomas Robbins, luar biasa menginspirasi. Dia bilang,
"Masyarakat bisa memprediksi. Tapi aku lah yang menentukan hidupku".
Kenapa gue mau nangis? Karena gue, yang mulai percaya kalau gue adalah seorang feminis, melihat dunia ini ga adil karena perbedaan gender yang berakibat pada perbedaan beban pekerjaan antara perempuan dan laki-laki, terutama di ranah domesti yaitu rumah. Pas banget, gue lagi ditinggal Mama gue yang berlibur ke kampung halamannya di Manggar, Belitung Timur. Mama pergi liburan karena beliau butuh itu, karena beliau pusing dengan kondisi rumah yang kacaunya ga ada akhirnya. Sekarang, gue yang jadi 'Mama' di rumah walaupun gue ga masak, belum jago masak dan lebih tepatnya tidak begitu tertarik untuk masak. Gue paham kepusingan Mama karena gue di posisi beliau sekarang.
Gue, seorang yang selama 22 tahun hidupnya hanya fokus pada pencapaian akademik ga cukup peduli untuk menyiapkan diri di masa depan. Gue yang fokus sama pendidikan yang gue tempuh untuk mendukung CV gue setelah lulus untuk melamar kerja selalu mengagung-agungkan wanita berambisi itu baik untuk anak-anaknya kelak, makanya gue sangat aktif di luar rumah. Ini juga yang membangun cara pandang gue soal genderisme di dalam rumah.
Gue sering kali menjadi emosional ketika gue yang mengurusi rumah. Sementara Mama ga pernah seemosional gue. Gue selalu naik pitam kalau saudara-saudara laki gue ga mau bergerak untuk membantu gue, meski gue udah minta tolong dari yang halus, manis, sampe gue teriak-teriak kesel kaya lagi demo. Setelah kesel, pasti gue mengutuk mereka dalam hati. Lebih dari itu, gue mengutuk dunia patriarki yang memberatkan gue. Iya, gue, karena ga semua perempuan merasa dan melihat dunia ini seperti gue.
Gue selalu bergumam dalam hati dan menghujat kondisi ini. Gue ga suka kalau gue dituntut untuk harus bisa masak karena gue perempuan. Gue benci kalau mendengar kalau gue disuruh untuk mengemasi rumah karena gue anak perempuan satu-satunya. Pikiran gue bilang, menjaga rumah tetap bersih, nyaman dan menyenangkan bukan cuma tanggung jawab perempuan. Laki-laki juga. Ga ada urusannya sama gender. Itu rumah bersama, kan?
Gue berada di rumah dimana para laki-laki ini hobinya berantakin rumah. Gue selalu mau murka karena gue pun mau berdamai dengan kedongkolan atas partriarkisme ini, karena ini melelahkan. Tapi gue butuh dukungan, setidaknya, bantulah gue yang lemah ini untuk ga mengacaukan rumah yang belum rapi ini kalau memang ga mau bantu merapikan.
Iya, ini tentang pengalaman gue dan keluarga gue yang semuanya lelaki dan mereka semua keras kepala. Sama, gue juga. Tapi, di sini yang mau gue sampaikan adalah... Tolonglah lelaki di luar sana, yang akan jadi suami, yang akan jadi bapak, bantulah perempuan di rumahmu untuk setidaknya tidak menambah pekerjaan yang tidak dibayar ini. Mungkin akan banyak dari pembaca yang berpikir kalau gue seorang pengeluh, terserah, itu hak kamu. Tapi ini pun hak gue untuk membagikan cara pandang gue terhadap dunia. Perempuan itu, entah dia bekerja atau tidak, jam kerjanya tetap seharian penuh, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Tanpa henti, tanpa libur. Belum lagi tuntutan sana-sini serta keadaan yang mendorong perempuan untuk bisa dan mampu melakukan banyak hal. Bukan hanya urusan dapur, memasak atau mengemasi rumah. Perempuan pun 'dipaksa' untuk sigap kalau keluarganya ada yang sakit. Belum lagi harus menjadi kuat dan tegar kalau ga ada lelakinya di rumah.
Bukan ga tahu juga soal beratnya menjadi laki-laki yang harus mencari nafkah dan melindungi keluarganya. Tapi, gue cuma minta tolong aja untuk lelaki membantu dan bekerja sama urusan rumah. Mencari uang untuk menjalankan rumah tangga pun ga berarti lepas tangan begitu aja. Ga ada ceritanya begitu.
Balik lagi ke kutipan awal yang membuat mata gue pedas dan berair, gue selalu dan selalu mau untuk hidup dengan cara gue. Gue selalu tahu dan paham kalau gue lah yang punya kuasa atas hidup gue, gue yang menentukan. Tapi untuk urusan rumah ini, gue rasa ga semudah itu. Dan karena ini ga mudah juga, gue sekarang sedang mengakui kalau gue berasa di momen ga bisa menerima keadaan gue sebagai perempuan, dengan kodratnya dan tututan yang dibuat oleh dunia, oleh masyarakat, yang sebenarnya mereka juga manusia dan juga, bisa jadi, mereka pun perempuan sama kaya gue.