Setelah berbulan-bulan gue menunggu penayangan film ini di bioskop, gue keluar studio dengan perasaan kecewa yang cukup besar. Jujur saja, ketika novel best seller dari seorang Ika Natassa yang gue dengar bagus membuat ekspektasi gue meninggi, sangat tinggi malahan. Meski gue memulai film ini dengan sebuah tangisan sesungukkan dan mengakhirinya dengan adegan yang sama, tetap saja, kekecewaan itu melekat erat dalam kepala gue.
Kekecewaan ini menjadi sangat besar berkat kontribusi dari seorang mantan kekasih yang berhasil menggembar-gemborkan film ini bahkan sebelum proses syutingnya selesai. Sebuah akses istimewa karena bekerja di rumah produksi tersebut. Gue bisa mendapatkan sedikit banyak spoiler yang bahkan nggak banyak orang tahu sebelumnya, kala itu.
Sejujurnya, gue nggak begitu tahu soal Ika Natassa sebelumnya, sebelum film ini. Meski gue menonton film Critical Eleven sebelumnya, yang juga karyanya, gue nggak begitu enggeh kalau penulis novelnya adalah orang yang sama. Iya, sebegitu careless-nya gue.
Mengapa gue bersemangat untuk menonton film ini? Alasannya sangat sederhana. Reza Rahardian. Nggak ada yang lain. Gue sebegitu sukanya sama Reza, terlepas dengan segala rumor nggak baik yang beredar tentang dia. Gue cukup nggak peduli karena gue sangat menghargai kemampuan akting dia, karya dia. Selain itu, ya itu ranah pribadi dia.
Raihanun juga menjadi salah satu pendorong untuk menunggu film ini. Sebab, sebelumnya ketika gue menonton 27 Step of May, gue cukup tertegun dengan kemampuan beraktingnya yang bisa menampilkan kondisi seorang korban kekerasan seksual, yang sangat menderita selama bertahun-tahun sampai akhirnya dia meminta reka adegan bersama dengan Ario Bayu. Raihanun berhasil membuat gue nangis begitu dalam karena bisa merasakan kepedihannya, selain memang gue punya seorang teman yang memiliki cerita sebagai korban untuk hal yang sama.
Ketika trailer dari film ini muncul, gue berhasil dicekoki oleh Wahyu. Dia yang menyodorkan trailer Twivortiare kepada gue. Sebagai seorang drama queen yang sangat menyukai cerita romansa yang penuh dengan kebahagiaan, gue cukup terpikat dengan trailer-nya. Cukup manis dan mengundang untuk ditonton oleh manusia yang 90% dari tubuhnya terdiri dari emosi, yang biasanya orang masa kini menyebutnya sebagai manusia baperan, apa-apa dirasain.
Kala itu, ketika gue dan Wahyu masih cukup baik-baik saja, Wahyu bilang kayaknya ini akan menjadi salah satu film MD Entertainment yang hasil produksinya nggak mengecewakan, begitu juga dengan hasil penjualannya. Setidaknya, kata Wahyu ini akan memberikan cukup banyak keuntungan buat kantor dimana ia bekerja.
Ya, jujur aja, dengan pemilihan Reza Rahardian sebagai pemeran utama, gue nggak bisa menampikkan ekspektasi dan prediksi dari Wahyu. Siapa sih yang menolak akting dari Reza? Kalau pun ada, gue rasa nggak banyak orang yang mau melewatkan kemahiran Reza berakting. Terdengar subjektif memang, tapi Reza sudah sekaliber itu, ya masa, nggak banyak yang nonton? Aneh.
Terlebih, kalau dibandingkan dengan film produksi MD Entertainment lainnya, yang pernah gue tonton bersama Wahyu selama satu tahun terakhir. Jelas, Twivortiare ini menjadi andalan untuk menutupi film-film horror yang menurut gue nggak banget buat ditonton dan menyesal telah mengeluarkan uang untuk membeli tiketnya, serta menghabiskan waktu untuk duduk dalam studio bersamanya. Setidaknya, itu yang gue rasa selama ini mendapatkan jatah nonton gratis dari Wahyu untuk film-film setan atau pesugihan Indonesia itu.
Beberapa lama setelah trailer muncul, setelah gue dan Wahyu tidak lagi bersama dan masa promosi Twivortiare dimulai. Sosial media untuk promosi film ini mulai ramai, begitu juga Wahyu yang beberapa kali me-repost baik poster atau monolog yang diunggah di akun tersebut cukup menggelitik gue sampai akhirnya gue memutuskan untuk membaca novelnya.
Karena ini uji coba, hanya untuk menjawab rasa penasaran gue, gue pun membaca novel Twivortiare ini melalui e-book, menjadi pengisi waktu luang sembari gue berada di perjalanan ke sana ke mari, hilir mudik sekitaran Jakarta dalam rutinitas liputan. Sialnya, ini menarik perhatian gue. Lebih sial lagi, novel ini membuat gue merasa bahwa gue dan Alexandra berada dalam kondisi yang sama. Kurang ajar memang!
Wahyu pernah menulis dalam sebuah Instagram Story-nya mengenai pandangannya atas cerita Alex dan Beno di Twivortiare ini. Dia bercerita soal hubungannya yang lalu. Iya, yang lalu, yang telah berlalu. Bukan soal hubungannya dengan gue yang hanya berjalan tujuh bulan, yang kalau hamil sudah bisa dibikin acara pengajian. Tetapi soal hubungannya bersama wanita lain, sebelum dia bertemu gue. Sebuah hubungan yang mereka jalani sekitar empat tahun.
Wahyu dalam tulisannya cerita, dia sama seperti Alex, seorang bankir. Tapi Wahyu bekerja untuk sebuah bank nasional milik pemerintah, bukan swasta atau internasional seperti Alex. Sementara perempuannya adalah seorang dokter. Yang gue tahu, dia pernah cerita, kalau mantannya memang saat kuliah adalah mahasiswi kedokteran gigi, kalau tidak salah, di sebuah kampus di Grogol.
Mau tahu lebih banyak? Mantan ini adalah salah satu topik yang terlalu sering Wahyu sebut-sebut, bahas bahkan ketika kami berdua sudah sama-sama dalam sebuah hubungan. Dimana dia yang akhirnya memulainya, dia yang meminta gue untuk berada dalam suatu hubungan dengan dia. Lucu ya? Lucu kalau sekarang, waktu itu nggak lucu sama sekali. Emosi iya.
Dalam InstaStory-nya juga, Wahyu bilang kalau mereka berdua sama seperti Alex dan Beno, yang sama-sama sibuk dan nggak punya waktu luang untuk bersama. Tahu gimana reaksi gue saat membaca itu? Mau murka!!! Lho, gimana nggak? Jelas ya, jelas, dia baru banget putus lho sama gue, kok bisa ngomonginnya tentang hubungan yang lain? Kalau lo jadi gue, kesal nggak? Hebat kalau nggak mah!
Gini ya, gue kasih tahu dulu nih. Jadi, sebelum gue kerja sebagai seorang reporter, gue dan Wahyu sudah berdebat soal ini. Soal pekerjaan ini dan segala konsekuensinya, termasuk masalah waktu. Waktu yang akan gue habiskan bersama dia. Belum mulai bekerja, gue sudah dikomplain kan. Mantap sekali! Bebannya terasa saudara-saudara.
Oh! Wait! Tapi memang lebih berhubungan sama mantannya sih ya, karena kan sama-sama dokter seperti Beno. Oke! Baiklah! Pekerjaan menjadi reporter di lapangan rasanya tak sepenting dan tak begitu banyak menyita waktu dibandingkan menjadi seorang dokter gigi.
Padahal, delapan bulan bersama, libur yang gue punya hanya satu hari dalam seminggu dan nggak jarang gue merelakannya untuk dihabiskan bersama Wahyu seorang, sementara gue masih punya keluarga, orang tua dan adik-adik serta abang yang juga punya hak atas waktu gue. Hanya saja, masih tenggelam dalam perasaan yang kata orang-orang disebut dengan cinta, gue memilih Wahyu dibanding yang lain, termasuk juga teman-teman gue. Jadi, gue memang nggak seperti Beno. Gue, tidak seegois Beno untuk tidak meluangkan waktu untuk pasangan gue.
Terlepas, bagaimana Wahyu menafsirkan novel Twivortiare dalam kehidupannya, gue menafsirkan itu sebagaimana kondisi gue, dan gue merasa bahwa kondisi Alex dan Beno adalah serupa tapi tak sama dengan keadaan yang pernah gue alami bersama Wahyu. Oleh karena itu, gue memutuskan untuk menyelesaikan novel tersebut sambil berharap akan memiliki akhir yang sama seperti Beno dan Alex, kembali bersama.
Menunggu Twivortiare tayang di layar lebar, nggak disangka nggak diduga gue dapat agenda liputan yang mempertemukan gue dengan Reza Rahardia. Setelah sekian lama sejak pertama dan terakhir kali gue bertemu di meet and greet film The Gift di Plaza Blok M tahun lalu. Agendanya dari Kemendikbud soal lomba film untuk siswa-siswi SMA, di sana Reza sebagai ketua panitia.
Selesai konferensi pers, gue memberanikan diri untuk meminta Reza berfoto bersama sekaligus mengobrol beberapa hal lain di luar agenda. Sejujurnya, gue agak ciut dan malu untuk bertanya lebih banyak kepada Reza karena latar belakang gue yang bukan reporter hiburan. Tapi, dengan bisikan, ‘Kalau nggak sekarang kapan lagi?’ gue pun memaksakan diri untuk mendekat kepada Reza dan bertanya-tanya.
Dari semua pertanyaan yang bisa gue tanyakan, tentang Twivortiare nggak mungkin ketinggalan. Awalnya, Reza nggak mau ngomong banyak soal itu. Katanya, “Itu nanti aja ya pas konpers Twivortiare-nya”. Cuma gue bilang, gue reporter news jadi nggak mungkin ke sana. Reza menunjukkan sedikit simpatinya ke gue.
Dari kesempatan emas ini, kebodohan gue tak terelakkan saudara-saudara. Mohon maaf. Untung bukan bahan liputan beneran, rekaman gue ngobrol sama Reza nggak sengaja terhapus karena gue belum ganti nama file-nya. Kemudian gue meratapi dan menyesalinya sampai dengan hari ini.
Untung saja ya, untung saja, gue dengan semua semangat yang gue punya saat itu, yang membuat gue sangat amat gugup, degdegan parah, gue berhasil meminta Reza untuk direkam dalam bentuk video. Untuk apa coba? Untuk apa?! Untuk bilang, kalau gue dan Wahyu bisa kembali bersama, ya mari dicoba kembali. Kalau nggak bisa, ya sudah lah. Padahal ya, padahal, itu dua hari sebelum gue ulang tahun. Dan bodohnya perempuan ini, gue malah minta Reza ngomong hal nggak berguna macam ini dibandingkan mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan doa terbaiknya untuk gue. Miris!
Semua ini terjadi karena kenalan baru gue, seorang reporter juga, meminta Reza membuat video senada karena dua temannya berhasil bersatu kembali setelah menonton trailer Twivortiare. Gue iri. Gue juga mau kayak gitu. Sayangnya, Tuhan berkata lain. Allah sangat pencemburu sekaligus begitu menyayangi gue. Sebab keadaan gue hari ini adalah jawaban atas doa-doa yang gue untai pagi-malam, dalam sujud dan duduk, dalam senyum maupun penuh air mata membasahi pipi.
Beruntungnya, gue hari ini bisa menuliskan semua ini dengan kondisi hati yang baik-baik saja. Tak gentar sedikit pun. Terima kasih Twivoritiare, setelah menonton film ini, gue memutuskan untuk menyudahi semua urusan perasaan membelenggu ini. Demi diri gue sendiri, demi kesehatan mental gue karena gue nggak mau mengkonsumi obat berbulan-bulan di masa depan karena ketidakmampuan gue mengendalikan emosi yang koyak karena lelaki yang menguji emosi, perasaan dan kesabaran gue. Terima kasih.
Keputusan gue di atas muncul selama gue menonton Twivoritiare. Mungkin memang ini jawaban atas apa yang gue pertanyakan selama ini. Sampai kapan? Sampai kapan gue seperti ini? Dalam kondisi yang tidak baik, terus dimarahi di sana-sini karena hobinya menyakiti diri sendiri. Malam sebelum gue benar-benar menonton Twivortiare di Plaza Semanggi, sendirian sebagaimana rencana awal gue, gue kembali menangis begitu hebat karena melihat kenyataan pahit. Apa yang gue idamkan, apa yang gue imajinasikan setiap harinya, gue yang kembali bersama Wahyu karena film ini, kandas. Terlalu jauh, nggak mungkin.
Malam itu, hari pertama penayangan Twivortiare di seluruh bioskop di Indonesia. Gue sebenarnya sudah membeli tiket, buy one get one, bersama seorang teman dari masa SMA. Namun, tidak bisa direalisasikan karena semesta nggak mendukung.
Gue gagal menonton di hari pertama, sementara Wahyu menghabiskan malamnya bersama seorang perempuan. Perempuan yang ia rekam dalam InstaStory-nya, perempuan yang dia genggam tangannya saat merekam itu, perempuan yang juga memegang tangan Wahyu kala itu, perempuan yang terlihat malu-malu dalam video itu, perempuan yang bilang kalau selama menonton film itu, Wahyu menggenggam tangannya.
Hati ini sakit sejadi-jadinya, ia kembali luluh lantah. Gue nggak rela, secepat itu dia bisa mengganti gue dengan yang baru, ketika gue masih menderita. Gue merasa nggak adil. Gue marah. Padahal, sebelumnya, terakhir gue mengirimkan e-mail kepada Wahyu pada hari ulang tahun gue yang sepertinya dia nggak ingat, gue mengucapkan terima kasih dan maaf sekaligus berharap terbaik untuknya, dengan siapapun, kapanpun, dimanapun. Tapi, gue terlalu naif untuk benar-benar mengaminkan ucapan gue sendiri.
Gue menonton film ini karena Wahyu, sekadar membuktikan apa yang dia ucapkan. Sebagus apa film ini, seberhubungan apa dengan hubungan gue dan dia. Sebenarnya hanya itu. Tetapi gue membuat semuanya menjadi rumit.
Di menit-menit awal film ini, gue sudah menangis sesunggukkan. Hanya karena Alex bilang kalau waktu bisa diulang, dia lebih memilih untuk membenci Beno sejak awal. Karena hanya orang yang dicintai yang dapat menyakiti. Ia memilih untuk membenci Beno agar nggak bisa disakiti. Begitu juga gue.
Gue selama dua bulan sejak putus dari Wahyu dan dia yang menolak untuk kembali bahkan setelah gue meminta dan menyadari kesalahan gue dan berhasil mengidentifikasi akar masalah kami berdua, gue berusaha keras, nggak cuma untuk melupakan dia, tapi juga untuk membencinya. Kebencian gue rasa akan meringankan perjalanan gue untuk sembuh dari luka hati. Tapi sayang, sebagaimana pun gue berusaha untuk membenci, seberapa sering pun gue merasa nggak dihargai, merasa buruk atas diri gue sendiri karena perlakuannya, gue tetap nggak bisa membenci dia.
Lebih sial lagi, bukan benci, gue semakin larut dalam semua kenangan yang bagi gue indah dan menyenangkan serta hangat. Kenangan yang selalu gue panggil kembali di setiap malam sebelum gue tidur. Kebahagiaan, kenyamanan dan keindahan yang selalu muncul setiap kali gue menutup mata. Begitu gue mencintai kenangan itu sampai-sampai gue merasa ingin tidur lebih banyak, lebih panjang, hidup dalam mimpi agar lebih bahagia.
Tapi, sampai di hari gue menonton film ini, gue memutuskan untuk bangkit dari tidur, membuka mata lebar-lebar. Gue menyiapkan diri, menguatkan diri untuk menyambut dan menghadapi kenyataan yang ada. Gue bilang ke diri gue sendiri,
“Meski semua itu indah dan menyenangkan, sayang, semua itu hanya mimpi. Mimpi yang lo buat sendiri. Mimpi yang nggak nyata. Sementara lo hidup dalam kenyataan. Buka mata lo! Bangkit! Nggak usah kebanyakan mimpi lagi! Bangun!”dan gue pun bangun dengan perasaan yang lebih baik, gue bangun dengan kekuatan tambahan, gue bangun dengan optimisme atas hidup gue.
Kembali lagi ke filmnya, kekecewaan gue atas film ini adalah terlalu banyak adegan yang ditampilkan di film nggak sesuai dengan apa yang Ika tulis dalam novelnya. Banyak, terlalu banyak. Meski dengan alasan, ini adalah adaptasi buku dan nggak bisa semua dimasukkan ke film, mohon maaf, gue nggak bisa terima. Meskipun film ini adalah kombinasi antara Twivoritiare dan novel pertamanya, Divortiare.
Terlalu jauh, adegan-adegan penting seperti bagaimana Alex pingsan di Java Jazz, bagaimana Beno melamar Alex, begitu juga ketika Denny melamar Alex, adegan Wina mau melahirkan atau ketika Rumah Kemanggisan yang mau dijual, itu benar-benar beda sama yang di novel dan terlalu berlebihan. Meski untuk adegan itu jadinya lucu, menggemaskan karena Beno dan Alex jadi dekat lagi untuk beberapa saat, tapi itu terlalu berlebihan dengan cerita horor yang dibuat-buat. Gue kecewa.
Persoalan di atas, menurut gue bukan persoalan imajinasi liar saat membaca novel. Kalau soal imajinasi, jelas banyak sekali yang nggak sesuai dengan ekspektasi gue. Denny Sumargo sebagai Denny, yang beberapa jam sebelum gue masuk ke studio bioskop gue nobatkan sebagai tipe ideal gue, ternyata selagi gue menonton filmnya, dia nggak menjawab harapan gue soal Denny yang gagal jadi suami kedua Alex. Mohon maaf, ini bakal main fisik banget, cuma Densu di film ini cukup chubby untuk menjadi Denny dalam Twivortiare versi gue.
Begitu juga dengan Ryan yang ternyata adalah Boris Bokir, yang menurut gue jauh banget dari imej Ryan yang playboy, ganteng dan tukang tebar persona. Gue pun merasa nggak cocok dengan pemilihan karakter mamanya Beno yang begitu gengges dan menyebalkan untuk sekadar bertemu di mall tapi cukup merepotkan Alex untuk memilihkan batik untuk Beno. Dalam bayangan gue, mamanya Beno adalah ibu yang berwibawa. Gue juga cukup kaget ketika Lidia Kandau yang begitu manja kepada Beno sebagai mamanya Alex. Terlalu jomplang dengan novelnya yang bilang kalau mamanya Alex cukup menentang kedekatan Alex dan Beno pasca perceraian.
Tapi dari semua kekecewaan itu. Tetap, kemampuan akting Reza dan Raihanun juara! Gue suka banget sama poker face-nya Alexandra. Benar-benar sesuai dengan yang gue bayangkan ketika gue membaca novelnya. Benar-benar ekspresi sakratis tapi mencoba tetap terlihat ramah. Benar kata Reza, Raihanun itu aktingnya bagus banget tapi dia under rated. Makanya, Reza yang mengusulkan nama Raihanun ke Manoj untuk jadi Alexandra. Dan benar, nggak banyak orang tahu Raihanun, karena Manoj Punjabi pun pas disodorkan nama itu dari seorang Reza Rahardian bertanya-tanya, “Rai… who?!” Gue tahu ini lewat obrolan saat liputan di Plaza Indonesia yang gue sebut tadi.
Selain itu, yang gue suka dari film ini adalah eksplorasi sudut pandang dari tokoh-tokohnya, terutama Beno. Di novel, karena formatnya adalah tweet dari Alexandra, maka sudut pandangnya Alex tuh dominan. Tapi di film ini, kelihatan sisi lain dari Beno, yang ternyata jelas, dia masih cinta banget sama Alexandra. Terlihat jelas ketika Beno menelepon Alex dan masuk ke lift lalu Lexy menutup telepon. Beno terlihat sangat kecewa. Begitu juga, bagaimana Beno ekspresi dan gestur ketika mereka berdua di Rumah Kemanggisan setelah ada yang melihat rumah untuk membelinya.
Gue suka banget dialog dari Beno di adegan ini, dimana dia menggoda Alex dengan kalimat-kalimat, “You look good, Lex” atau menanyakan Alex apakah ia merindukan momen bersama di rumah itu, “Kangen nggak?” atau usahanya untuk menahan Lexy lebih lama di rumah itu, “Buru-buru banget, nggak kangen apa?” Ah! Adegan ini membuai khayalan gue. Andai saja… Andai, dalam hati gue berbisik demikian.
Tapi ya, dari semua adegan intens antara Reza dan Raihanun sebagai suami-istri, jujur aja, gue agak mikir soal adegan back hug yang mereka lakukan di kasur, ketika Beno capek setelah seharian operasi atau bahkan ketika dia murung karena harus kehilangan pasien yang ditangani. Bagaimana mereka bisa tidur dengan posisi tersebut? Ketika kepala Alex akan ada di atas kepala Beno. Itu pasti ada usaha lebih dari Alex dan itu pasti melelahkan.
Oke, gue tahu banget ini hanya sebuah pemikiran realistis gue. Sayangnya, mereka berdua hanya berperan dalam film, yang artinya tidak nyata dan gue nggak yakin ada orang atau pasangan yang tidur sepanjang malam dan bertahan dalam posisi seperti itu. Itu hanya kebutuhan angle kamera. Kalau dilakukan seperti yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, pasti muka Raihanun nggak akan muncul di layar karena ketutupan sama punggungnya Reza.
Dan adegan ciuman pertama Alex-Beno di apartemen Alex, itu sungguh sangat di luar dugaan dan imajinasi gue. Gue tidak menyangka bahwa Beno akan seagresif itu. Karena dari narasi soal Beno adalah orang yang kaku, menurut gue sangat tidak mungkin dia akan begitu. Dan menyebalkannya lagi adalah, dalam sebuah Instagram Live Reza dan Raihanun untuk promosi film ini, Reza bilang kalau mereka melakukan adegan ciuman dengan tidak canggung. Dia juga menyebutkan soal adegan ini, kata Reza, ciuman pertama dengan Raihanun menyenangkan. Gue mikirnya ya bakal gimana ya? Ciuman yang lembut, tipis, romantis seperti ciuman yang sering ada di drama Korea itu. Cuma… ini terlalu agresif Om Beno. Oh my gosh!
Seperti biasa, ketika gue menonton film dan berniat untuk me-review-nya pasti gue mencatat banyak hal. Hanya saja, kalau dibandingkan dengan Dua Garis Biru, yang akhirnya gue nggak buat review-nya karena satu dan banyak hal, Twivortiare nggak begitu banyak yang gue catat. Gue hanya kecewa karena ketidaksesuaiannya dengan tulisan Ika di novel.
Dan kesimpulan besar dan paling penting setelah gue selesai menonton film ini adalah gue bukan Alexandra Rhea Wicaksono dan Wahyu bukan Beno. Kami bukan Alex dan Beno. Jadi, kami nggak mungkin punya cerita seperti Alex dan Beno. Kami nggak mungkin untuk kembali.
Ini menjadi waktunya buat gue berhenti, benar-benar berhenti. Berhenti untuk berjuang dan berusaha untuk seseorang yang tidak lagi ingin diperjuangkan, berhenti untuk peduli kepada ia yang bahkan nggak lagi peduli dengan kondisi yang gue alami hari ini.
Ini menjadi titik akhir gue. Ini bagaimana cara menyelesaikan perasaan ini.
Melalui unggahan untuk promosi film ini, Raihanun bilang, sudah ada sekian orang yang kembali menemukan cinta. So do I. Gue pun menemukan cintanya. Tapi bukan untuk orang lain, melainkan buat diri gue sendiri.
Ini saatnya untuk gue memprioritaskan diri gue sendiri, mencintai gue sendiri lebih dulu dan lebih banyak dari pada orang lain. Karena, selama ini, gue terlalu sibuk untuk mencintai orang lain, membahagiakan orang lain, menyenangkan orang lain dan membuat mereka merasa dirinya dan hidupnya berharga sampai gue lupa soal diri gue sendiri gue, sampai gue lupa soal semua potensi, berkat dan nilai dalam diri gue.
Semoga Tuhan memaafkan sisi sok heroik gue itu. Semoga gue menemukan bahagianya gue dan benar-benar bahagia, mulai dari detik ini dan seterusnya. Begitu juga dengan kalian semua yang sedang berjuang untuk diri kalian sendiri, bahagianya kalian sendiri dan hidup kalian. Semua bermula dari sendiri. Mari menjadi bahagia secara mandiri dan nggak bergantung pada orang lain.
Selamat berbahagia kawan! Dukungan dan doaku untuk kalian.
Selamat berkembang dan menjadi versi terbaik dari diri kalian.
You belong my love, wishes and prayers. Gluck!