In
Gender Issue,
Masalah Perempuan
Pelecehan dan Kekerasan Seksual Tidak Hanya Berdampak Pada Korban
Pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan tidak hanya berdampak pada korban. Hal ini juga bisa mempengaruhi orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Seperti, aku yang sering terguncang tiap kali mendengar pengalaman tidak menyenangkan dari teman-teman perempuan di sekitar.
Jumat lalu (19/3) aku menangis histeris tengah malam karena ketakutan. Meski sudah hampir empat tahun aku ngekos di Jakarta, rasanya baru kali ini aku setakut itu menjadi perempuan yang hidup sendiri di Jakarta. Belum menikah, terpisah dari keluarga, dan tidak memiliki teman di kosan membuat aku tidak memiliki yang bisa membantuku jika tiba-tiba hal buruk terjadi padaku. Sayangnya, ini tidak hanya terjadi padaku. Banyak perempuan lainnya yang mengalami hal serupa, terutama mereka yang merantau.
Kecemasanku malam itu dipicu oleh cerita pengalaman tidak menyenangkan yang dialami teman-teman terdekat. Dalam satu hari, aku mendapatkan dua cerita yang mengguncang diriku.
Cerita pertama berasal dari salah satu kolegaku. Hari itu kantor kami mengadakan sharing session dengan tema peer-pressure dan kolega yang satu ini menceritakan pelecehan yang ia alami oleh manajer restoran tempat ia bekerja. Ia sering disentuh tanpa konsen, bahkan pernah hampir dicium oleh manajer tersebut. Padahal, yang bersangkutan adalah lelaki yang sudah menikah dan memiliki anak.
Selama satu tahun, kolegaku ini mengalaminya. Namun, ia tidak melaporkan kepada siapa pun sebab tidak ingin menimbulkan keributan dan takut membuat tersangka melakukan yang lebih buruk dari itu. Alasan yang familiar dari para korban pelecehan dan kekerasan seksual. Padahal, dia tidak salah dan berhak untuk mendapatkan perlindungan. Pelaku pun harusnya mendapatkan hukuman yang setimpal. Sayangnya... semua itu lebih sering menjadi "seharusnya" dibandingkan sudah diimplementasikan sepenuhnya.
Mendekati masa kontrak kerjanya berakhir, kolega yang satu ini memutuskan untuk tidak melanjutkan kontraknya, tetap tanpa menceritakan pengalaman yang ia alami. Kemudian ia pindah ke Jakarta untuk memulai hidup baru. Meskipun, pengalaman ini tentunya menimbulkan trauma yang membuatnya menjadi lebih pendiam. Ia juga menjadi waspada kepada orang di sekitarnya. Ia tidak mau lagi mudah percaya kepada orang-orang. Iya, benar! Pengalaman ini menimbulkan trust issue baginya.
Di titik ini, setelah aku mendengarkan ceritanya, aku tersadar bahwa banyak orang di luar sana mengalami penderitaan yang tidak aku ketahui sama sekali. Tidak semua yang terlihat baik-baik saja benar-benar baik-baik saja. Akhirnya, aku benar-benar mengamini bahwa setiap orang memiliki perjuangannya sendiri dan tidak seharusnya aku menganggap remeh hal tersebut. Di sisi lain, aku pun belajar untuk lebih memahami kondisi orang lain dan empati terhadapnya. Tentunya, tidak membandingkan dengan diriku sendiri karena pasti berbeda dan tidak bisa disamakan.
Masih di hari yang sama, aku kembali terekspos pengalaman tidak menyenangkan yang dialami oleh teman perempuan terdekat. Kali ini adalah Mbak Hesti, teman sesama pembaca yang menjadi dekat selama satu tahun terakhir.
Di malam itu, Mbak Hesti mengcuitkan pengalamannya digoda (cat calling) oleh para lelaki di jalan sebab ia selalu pulang-pergi kantor dengan berjalan kaki. Sementara, ia tidak memiliki pilihan lain karena kalau pun naik kendaraan umum seperti angkot, ia tetap mendapatkan perlakuan yang sama dari sopir maupun pengamen yang sering numpang.
Pengalaman Mbak Hesti itu menggambarkan kalau memang perempuan tidak memiliki banyak pilihan. Perempuan dipaksa untuk terekspos di ruang publik. Hal ini bukan tanpa alasan sebab tata ruang kota memang masih didominasi oleh desain laki-laki. Tentu saja mereka tidak memahami perasaan perempuan. Akibatnya, tata ruang tersebut tidak ramah perempuan.
Soal ini, kamu bisa pahami lebih jauh melalui buku Feminist City yang ditulis oleh Leslie Kern. Buku ini salah satu buku yang sering direkomendasikan oleh Mbak Hesti. Sayangnya, aku belum sempat untuk membacanya meskipun sudah memiliki bukunya karena jatah gratis dari Verso dua minggu lalu. Hehe.
Kembali kepada cuitan Mbak Hesti, ternyata ini memiliki efek yang begitu besar untukku. Seketika aku menjadi cemas dan takut luar biasa. Jika teman-teman perempuanku ini saja bisa mengalaminya, aku pun memiliki potensi yang sama besarnya untuk mengalaminya. Pikiranku penuh dengan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi padaku. Namun, siapa yang bisa menolongku jika itu terjadi? Aku tidak menemukan satu pun jawaban yang pasti.
Malam itu, aku kelaparan dan ingin makan mi instan karena kosanku tidak menyediakan dapur umum, aku harus keluar kosan, menyebrang jalan untuk mendapatkan semangkuk Indomie Kari Ayam di warkop. Sayangnya, tidak buka. Akhirnya, aku memutuskan untuk membeli nasi goreng saja. Opsi terdekat dan paling ringkas.
Sepulang membeli nasi goreng, meski tidak terjadi apa-apa padaku. Semuanya aman-aman saja. Aku menaiki tanggal menuju kamar kosan dengan sangat ketakutan. Kepalaku penuh dengan semua perandaian terburuk. Bagaimana jika terjadi sesuatu padaku tadi? Kalau terjadi hal buruk padaku, apakah Rama akan langsung datang dan membantuku?
Isi kepalaku tidak benar-benar jelas tapi aku benar-benar ketakutan tanpa sebab. Sangat ketakutan. Aku pun menangis histeris sepanjang malam sampai mata bengkak. Tangisku benar-benar sulit sekali dihentikan. Aku sendiri bingung kenapa. Dan, hari itu adalah hari paling menakutkan untukku selama hampir empat tahun tinggal sendirian di Jakarta.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku menangis setelah mendengarkan cerita korban pelecehan atau kekerasan seksual pada perempuan. Sebelum-sebelumnya pun aku selalu menangis tapi tidak sehisteris kali ini.
Aku selalu menangis karena kemarahan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu. Aku marah karena mengapa dunia ini begitu tidak adil kepada perempuan. Kenapa perempuan harus sering sekali menderita bahkan untuk hal-hal yang tidak ia perjuangkan. Namun, aku juga kecewa pada diri sendiri atas ketidakmampuan untuk membantu dan memberdayakan perempuan lain. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menguatkan mereka, berempati, dan mengedukasi lelaki di sekelilingku.
Misalnya, saat salah satu tetanggaku yang seorang janda dan single mom yang mengalami jadi korban kekerasan oleh tetangganya yang seorang laki-laki. Janda tersebut melakukan laporan ke kepolisian. Namun, ada isu yang beredar kalau laporannya dicabut karena alasan yang tidak kami tahu. Papaku menyalahkan janda tersebut, "Harusnya ya terusin saja laporannya. Nggak usah takut!"
Tentu saja aku kesal dan marah. Aku hanya bisa menjawab dengan sarkasme, "Ya enak emang ngomong! Nggak pernah ngerasain sendiri kan?"
Laki-laki mana tahu betapa sulitnya hidup di dunia patriarkis ini. Gampang saja buat kasih instruksi ke perempuan lain seperti yang papaku lakukan tapi untuk para perempuan mengimplementasikannya jauh kata mudah, didengar saja tidak. Dunia ini tahunya hanya laki-laki. Soal perempuan, mana mengerti?
Akan tetapi, hal ini sepertinya tidak sepenuhnya berlaku kepada Rama sebab beberapa bulan lalu ia pun baru saja mengalami pengalaman yang tidak mengenakan dari masa lalunya, yang tidak bisa aku jelaskan dengan rinci. Hal itu terjadi saat mereka masih berpacaran. Meski sudah lewat, ia merasa bertanggung jawab atas hal tersebut karena ketidakmampuannya untuk melindungi kekasihnya dan membuatnya aman.
Sayangnya, kejadian tersebut sudah lama berselang. Kalaupun ingin diproses lebih lanjut, bukti-buktinya sudah tidak ada. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Rama adalah menawarkan dukungan kepada mantan kekasihnya untuk memeriksakan diri ke psikolog/psikiater atas trauma yang dihadapinya, yang membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri, seperti pantaskah ia dicintai oleh orang lain?
Trauma semacam ini pernah kualami sebelumnya yang membuatku pergi konseling selama delapan bulan untuk "sembuh" dari toxic relationship dulu. Rama tahu tentang ini, aku menceritakannya dan ia berempati atas yang aku alami. Ia menjadikannya pelajaran untuk melakukannya kepadaku, bahkan menjadikannya referensi untuk membantu mantan kekasihnya.
Saat mengetahui cerita ini, tentu saja Rama terguncang. Aku yang jarang sekali melihatnya stres, kali itu benar-benar melihatnya dalam kondisi yang rapuh, penuh beban dan overthinking. Tentu saja, sebagai pasangan yang suportif aku berusaha menguatkannya. Aku meyakinkannya, berulang-ulang kali, bahwa yang telah terjadi bukanlah salahnya sama sekali. Bukan juga salah mantan kekasihnya. Mereka hanya tidak beruntung dipertemukan oleh seorang bajingan tidak bertanggung jawab.
Satu lagi cerita tidak menyenangkan tentang perempuan yang aku dapatkan. Meski aku tidak kenal secara langsung siapa dia, meski ia adalah mantan kekasih Rama. Tetap saja, kami sama-sama perempuan. Tentu saja ini membuatku menangis sesungukkan, merutuki dunia tapi di saat yang sama merasa tidak berdaya. Selalu begitu dan nampaknya akan terus begitu.
Di balik senyum para korban pelecehan atau kekerasan seksual pasti mereka berjuang melawan traumanya. Di balik dukungan penuh para teman kepada korban mereka juga merasakan hal yang sama menyakitkannya seperti para korban. Beruntungnya, kita bisa saling mendukung dan menguatkan.
Semoga hal-hal buruk ini tidak terjadi kepada perempuan-perempuan terdekatmu. Jaga mereka dan yakinkan mereka untuk bersuara. Pengalaman buruk mereka bukanlah salah mereka, para bajingan itulah yang harusnya disalahkan dan mendapatkan hukuman yang setara. Jangan biarkan mereka mengubah perilaku dan gaya hidup kita para perempuan!