Rasanya Twitter memang tidak pernah sepi dari kontroversi. Ada saja pembahasan yang memantik emosi. Hari ini, soal umur 40 tahun tapi belum punya rumah sendiri.
Berawal sahut-menyahut antara seorang publik figur yang juga seorang penasihat keuangan dengan seorang warganet, topik soal memiliki rumah di masa sekarang menjadi ramai diperbincangkan.
Tentu saja aku turut campur dalam riuh redah ini. Bukan hanya perihal kemustahilan memiliki rumah di masa sekarang sebab harganya terlalu tinggi tapi aku juga teringat dengan jurnal yang aku tulis beberapa hari lalu. Soal aku merasa diingatkan kalau untuk berhenti melihat ke atas, melihat orang lebih sukses, lebih beruntung dan lebih lebih lainnya melainkan untuk memperajin diri melihat ke bawah, melihat sekitar bahwa ternyata banyak orang yang tidak seberuntung aku.
Beberapa hari lalu, aku sangat kecewa sampai menangis tersedu-sedu. Aku tidak mengerti mengapa harus mengalami penolakan padahal hal yang diidamkan sudah di depan mata. Rasanya ingin marah dengan sekitar tapi aku bisa apa? Aku satu-satunya orang yang bisa dimintai pertanggungjawaban karena pada akhirnya semua yang kulakukan adalah hasil keputusanku sendiri.
Aku marah dan kecewa kepada diriku sendiri karena melewatkan sebuah kesempatan emas yang mungkin tidak akan datang dua kali. Sebuah perusahaan dengan suka rela menawarkan posisi yang lebih tinggi dari saat ini meski aku belum memiliki pengalaman di sana dan langsung mengiyakan angka yang aku ajukan.
Aku menyesal karena terlalu mendengarkan apa kata orang. Padahal, jika aku mendengarkan kata hatiku sendiri mungkin hari ini aku sudah melakukan pengunduran diri dari kantor yang sekarang. Sayangnya, ini tidak kejadian.
Setelah melampiaskan amarah dan curhat kepada Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa menjadi tempat untuk mengadu sepuasnya tanpa malu atau takut atas menghakiman, satu-satunya yang bisa menolongku dan memberikan aku jalan terbaik dalam hidup, aku menyadari bahwa kekecewaan ini berasal dari keserakahan sebagai manusia.
Bagaimana bisa?
Iya, ini keserakahan manusia, ego manusia untuk mengatur hidupnya seperti yang ia mau, selalu berharap kalau ia mampu melakukan apa pun yang dia suka, maupun memenuhi standar hidup yang ia buat sendiri.
Maksudnya?
Umur sekian harus memiliki pendapatan sekian, sudah menjadi demikian dengan title apa. Belum lagi harus punya apa dengan jumlah atau harga berapa. Bukankah ini sesuatu yang sangat familiar di telinga kita akhir-akhir ini? Standar hidup yang dibuat oleh entah siapa tapi bisa sangat efektif untuk menekan begitu banyak orang sampai rasanya mau gila.
Sejujurnya, tujuan-tujuan seperti ini sudah kuanggap tidak realistis sejak awal. Aku memang tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai manusia yang digerakkan oleh hal-hal materialistis seperti uang. Hanya saja, mana ada manusia yang bisa hidup tanpa hal materialistis satu pun?
Kalau lapar harus makan. Kalau mau makan harus punya nasi. Kalau mau punya nasi ya harus beli. Biar bisa beli harus punya apa? Uang. Untuk bisa punya uang, bagaimana caranya? Ya kerja!
Aku kerja untuk tetap hidup. Bukan hidup untuk terus kerja. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini sebenarnya sudah lebih dari cukup. Namun, hidup di masa ini rasanya cukup saja tidak cukup. Harus lebih dari itu!
Untuk aku yang semakin hari semakin mengamini bahwa sangat baik-baik saja untuk menjadi biasa-biasa saja, untuk pelan dan menikmati semua yang ada sebagaimana adanya, hidup di hari ini sangatlah sulit. Menjadi orang yang seakan berbeda dibanding yang terasa begitu salah bagiku.
Misalnya, kasusku yang tadi. Aku ditawari posisi Digital Specialist untuk sebuah digital agensi yang baru akan dibangun. Aku hanya meminta gaji di angka Rp. 7.000.000,- Pacarku, Rama, mengatakan harusnya aku mendapatkan lebih dari itu sebab beban dan tanggung jawab yang kuampu akan jauh lebih besar dibanding yang kumiliki sekarang. Terlebih, kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalani posisi tersebut jauh lebih banyak dan komprehensif dibandingkan posisi yang aku jalani saat ini.
Atas nama pengembangan diri dan ambisi untuk naik level, sebenarnya aku menganggap angka tersebut baik-baik saja. Hanya saja aku goyah dan meminta lebih dari itu. Aku menegosiasikan ulang gaji pokokku. Hasilnya, ya... yang aku sebutkan di awal. Tidak diterima. Ditolak mentah-mentah tanpa ada diskusi untuk mencari jalan tengah yang tetap menguntungkan kedua belah pihak.
Aku merasa baik-baik saja dengan angka yang aku ajukan karena menurutku itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarku. Aku bahkan bisa menabung cukup banyak dari sana. Namun, aku diingatkan oleh Rama soal nilaiku yang sebenarnya. Aku pantas mendapatkan yang lebih dari itu.
Di satu sisi, secara personal, mungkin pemikiranku adalah baik karena bentuk rasa syukur. Namun, secara profesional itu sangat merugikan sebab berpotensi menjadi korban eksploitasi perusahaan. Kalau Rama bilang, perusahaan bisa mendapatkan untung jauh lebih banyak dibandingkan modal yang harus ia keluarkan untuk membayarku.
Setelah itu, aku mengamini apa yang dikatakan Rama. Tentu saja setelah menyelisik diriku lebih dalam lagi. Kembali mengajaknya ngobrol dan mengingat-ingat lagi apa yang telah pernah kulakukan selama ini, sepanjang perjalanan karier. Jelas, aku lebih dari itu! Aku memiliki kemampuan yang sepertinya memenuhi apa yang diperlukan.
Menutup sesi kecewa kemarin, aku menyadari kalau memang ini bukan jodohku. Belum rezekinya. Di titik inilah, aku menyadari bahwa memang aku tidak bisa apa-apa kalau memang belum diizinkan. Tidak peduli berapa banyak kemampuan yang dimiliki, tidak peduli siapa yang menjadi koneksi untuk membantu masuk ke dalam sebuah perusahaan, kalau memang belum waktunya, ya belum waktunya.
Menyadari ketidaakberdayaan ini, aku diingatkan untuk menaruh harapan di tempat yang benar. Bukan kepada makhluk. Entah diri sendiri apa lagi orang lain, melainkan kepada Yang Maha Kuasa.
Selain itu, aku pun mengamini untuk merasa tidak apa-apa dan baik-baik saja meskipun tidak naik level. Pemikiran ini ilhami dari melihat kondisi sekitar. Dibandingkan mereka yang sukses, kaya, dan pintar, rasanya lebih banyak orang yang terus berada di posisi yang sama sejak ia lahir bahkan sampai ia meninggal.
Banyak orang yang menghabiskan usianya dengan melakukan pekerja yang tidak dianggap keren sama sekali oleh, yang katanya, kaum milenial. Pekerjaan-pekerjaan yang mungkin saja dianggap banyak orang pekerjaan rendahan, misalnya pedagang, asisten rumah tangga, supir, dan sebagainya.
Aku tidak bermaksud merendahkan siapapun yang mencari uang secara halal melalui pekerjaan tersebut. Tidak. Justru aku belajar banyak dari mereka. Mereka yang mampu hidup dengan rasa cukup dan bisa mengontrol nafsunya sebaik mungkin.
Selamanya menjadi supir atau asisten rumah tangga memangnya masalah? Rasanya tidak. Selamanya menjual makanan di warteg memangnya hina? Kata siapa?! Justru, mereka-mereka inilah yang membantu banyak kehidupan orang lain. Nampaknya kecil tapi banyak orang terbantu.
Misalnya, aku, seorang anak kosan yang tidak bisa masak dan memang tidak memiliki dapur. Satu-satunya cara murah dan sehat untuk tetap kenyang adalah membeli makanan di warteg. Pun, masakan warteg selalu memiliki kemampuan untuk menjawab rasa rindu terhadap masakan Mama di rumah.
Selain itu, aku pun sempat berpikir, memangnya orang-orang seperti itu pernah bermimpi untuk naik kelas sosialnya ya? Untuk menjadi orang kaya? Rasanya, tidak. Mereka tidak punya waktu untuk memikirkan masa depan yang terlalu jauh. Fokus mereka adalah untuk bertahan hari ini atau setidaknya sampai besok. Apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan mungkin tidak masuk dalam pertimbangan mereka.
Tapi, sadarkah kita kalau justru orang-orang yang tidak pernah mendampakan untuk naik kelas ini justru orang-orang yang berhati murni, lembut, dan peduli? Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Mereka bukan kelompok orang yang hobi menimbun untuk mengamankan masa depan sendiri.
Memangnya, di antara mereka sibuk memikirkan harga saham hari ini? Ingin berlomba-lomba membeli emas saat harga Antam turun? Rasanya tidak. Mereka lebih mementingkan harga beras, ikan, ayam, dan sayuran di pasar. Harga-harga ini lebih terasa dampaknya untuk mereka.
Buatku, mereka adalah orang-orang yang mampu untuk hidup di saat ini, hari ini. Tidak sibuk untuk memikirkan masa depan yang mungkin saja tidak sanggup untuk dicapai. Mereka adalah contoh baik soal hidup dan mengambil banyak pelajaran dari sana.
Kalau dengan cukup saja kita masih bisa tetap hidup. Mengapa harus terus berlomba-lomba menimbun tanpa ampun?