Sekolah atau Kerja?
Sabtu, November 24, 2018
Gue memulai hari Sabtu dengan rasa dingin karena semalam habis hujan deras di rumah dan membuat gue menjadi malas dan berat untuk bangkit dari tempat tidur yang akhirnya tidur gue berlanjut satu jam kemudian. Di satu jam perpanjangan tidur itu, gue mimpi, kalo senior gue, Kak Yuni, yang kemarin jadi sponsor gue untuk pergi ke Singkawang untuk bantuin kegiatan sosial, WOW DAY Singkawang, lagi-lagi ngajakin gue buat bantuin dia. Kali ini tempat acara yang harus gue dukung bukan lagi di Indonesia tapi di luar negeri, Cina! Negara yang beberapa tahun terakhir selalu jadi mimpi untuk jadi tempat gue menlanjutkan sekolah gue karena gue mau belajar soal politik global mereka yang menurut gue penting buat dipelajarin dan diketahui karena Cina emang lagi rising up sekarang.
Well, ini kehaluan gue karena gue dari semalem mikirin soal jam berapa gue harus berangkat ke pameran beasiswa Korea yang hari ini dan besok hadir di JCC. Selain itu, gue juga abis ngecek-ngecek sosial media gue dan menemukan postingan dari Kak Yuni yang lagi liburan di Jepang dan dia terlihat senang, gue juga ikut seneng. Dan mungkin alam bawah sadar gue juga merekam info kalo Kak Yuni akan terbang lagi ke Singkawang segera setelah dia pulang dari Jepang. Penuh banget ya kepala gue? Emang! Biarin aja, emang gitu.
Ngomongin Cina, Korea, Jepang. Negara-negara itu merupakan negara yang selalu masuk dalam daftar impian gue, negara yang mau gue kunjungi, entah untuk jalan-jalan, seneng-seneng, atau sekolah dan belajar. Cina dan Korea adalah dua negara yang masuk daftar gue untuk melanjutkan sekolah di sana. Kalau Cina alasannya udah gue jelaskan ya di atas. Sedangkan Korea, pikiran untuk sekolah di sana muncul saat gue jadi asisten untuk tim tenpin bowling Korea di Asian Para Games kemarin. Di sini gue mulai menyadari potensi yang ada di diri gue, gue sudah belajar bahasa Korea cukup lama, gue bisa dibilang sudah bisa bahasa Korea dasar, tinggal dikembangkan lagi, mungkin ini bisa membawa gue ke Korea. Dibandingkan dengan bahasa Mandarin yang gue masih buta banget. Walaupun gue punya niat untuk belajar bahasa itu karena potensinya tinggi dengan Cina sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia, bisa dibayangkan seberapa banyak diasporanya di seluruh penjuru dunia dan seberapa banyak manusia yang butuh jasa penerjemah bahasa Mandarin. Tapi, Korea punya tempat tersendiri di hati gue terlebih setelah Asian Para Games, gue merasa kalau gue punya satu alasan lagi untuk ke sana, untuk tetap keep-in-touch sama keluarga tenpin bowling dan swimming gue.
Dan sebuah pemikiran rumit muncul setelah percakapan singkat antara gue dan Mama ketika beliau menanyakan mau kemana gue hari ini, pagi-pagi sudah siap-siap, tumben. Dari percakapan itu gue menangkap sinyal bahwa Mama gue mulai pusing dengan keberadaan gue di rumah yang belum produktif menghasilkan uang dan ga melakukan apapun. Beliau seperti menyerah dan menyuruh gue untuk sekolah lagi saja, yang benar, cari beasiswa.
Iya, gue mau sekolah lagi, iya, gue suka belajar. Tapi... Beberapa hari yang lalu, beberapa waktu yang lalu juga, gue punya pembicaraan lain dengan beberapa orang soal ini. Mereka bilang kalau sekolah lagi itu sebenanya untuk menopang karier. Jadi, urutannya adalah kerja dulu baru melanjutkan sekolah, bukan dibalik. Salah satu di antaranya pun bilang, kalaupun sekolah lagi, sampai S2 atau S3 sekalipun, tapi belum pernah kerja, belum kerja, itu menandakan sebuah kegagalan.
Lagi-lagi, gue hanya bisa bilang, gue suka belajar dan gue mau sekolah lagi tapi gue tahu, sangat tahu, kalau ilmu yang gue punya ga akan berdampak banyak, ga akan berguna kalau cuma gue simpan aja sendiri, kalau cuma gue tumpuk. Apa yang gue tahu harus gue keluarkan, harus gue bagi, salah satu caranya, mungkin dengan bekerja. Sementara gue masih belum yakin sepenuhnya pekerjaan apa yang gue mau dan gue sanggup kerjakan.
Tiba-tiba wacana untuk menjadi seorang dosen muncul lagi di kepala. Ini tentang sebuah tawaran dan kesempatan yang gue dapat dari kampus gue dimana mereka masih kekurangan dosen dan mencari dosen-dosen baru. Terdengar mudah sepertinya untuk jadi dosen di sana, ajukan diri seperti melamar kerja biasa dan jika disetujui maka akan disekolahkan. Selama sekolah S2 dijadikan staf di kampus, setelahnya menjadi dosen dengan masa bakti sekitar lima tahun.
Berpotensi tinggi dan beresiko rendah, gue berpikiran seperti itu. Belum lagi kalau merasa ini kurang menantang, terlalu mudah untuk digapai tapi belum tentu juga kalau gue tidak melakukannya. Tapi sebenarnya yang dipikirkan adalah soal masa baktinya, lima tahun, rasanya bukan waktu yang sebentar. Terlebih lagi dengan gender perempuan yang melekat ini merasa terbebani karena terikat dalam sebuah kontrak, anggap saja begitu, sebegitu lama.
Tapi gue suka, banget, ketemu orang-orang. Suka banget berbagi. Suka banget bicara di depan umum. Suka banget menasehati atau memberikan saran kepada yang membutuhkan bahkan tanpa diminta sekalipun. Cocok ya? Iya, Mama juga bilang begitu. Beliau bilang, setidak-tidaknya, walaupun gue ga kerja di kantor, gue harus mengajar karena itu jauh lebih baik dan berguna dibandingkan menjadi pengangguran.
Lalu, baiknya bagaimana?
Gue juga belum tau dan gue sedang menjadi tau. Mana yang terbaik untuk gue dan hidup gue, mana yang akan membuat gue senang dan tidak merasa terbebani. Yang terpenting itu, senang tanpa beban.
Biarkan saja waktu dan Tuhan yang mengarahkan semua. Ia Maha Tahu, Ia tahu yang terbaik. Semua ada waktu dan tempatnya. Bersabar saja dan jangan membandingkan dengan yang lain. Semua punya porsinya masing-masing. Ga akan tertukar, jangan khawatir.
0 komentar