Tinggal di Jakarta, dengan rutinitas berkecepatan tinggi namun polusi, macet serta mall dimana-mana, membuat adanya batasan dan ketidakluwesan dalam pilihan menghabiskan waktu untuk bersama orang-orang terkasih. Ciye banget kalimat pembukanya itu, cuma bener, itu yang gue rasakan akhir-akhir ini. Kepenatan Jakarta dengan destinasi hiburan yang itu-itu aja. Kalau gak ketemu dan ngobrol serta menghabiskan waktu di restoran atau kafe. Ya ujung-ujungnya akan melipir ke bioskop dengan mengandalkan diskon serta promo dari TIX ID.
Tapi, untungnya, gue punya pacar yang bekerja di salah satu production house, yang rajin sekali membuat film, tiap bulan pasti ada. Tiap bulan juga, gue mendapat jatah dari dia. Entah itu free past atau sekadar voucher potongan harga. Menyenangkan?! Lumayan. Bisa quality time, bisa meet up, penghematan sekalian memperkaya perusahaan pacarku karena dia selalu heboh untuk membagi-bagikan semua voucher yang dia punya. Loyalitas tanpa batas padahal sering menggerutu kalau pulang telat.
Dengan privilege yang dia punya, akhirnya Jumat lalu, aku pun menonton FOXTROT SIX di Epicentrum. Sejauh ini, satu-satunya film MD Pictures yang dari awal gue niatin untuk nonton selama gue dicekoki voucher sama Wahyu.
Berawal dari Mama yang kalau di rumah gabutnya adalah nonton infotainment, gue pun melihat trailer dan promosi dari film ini. Bagus, itu kesan pertama yang gue dapat. Kayaknya gue harus nonton kalau begitu.
Gue pun laporan pada pacar. Ia yang selalu memberikan spoiler setelah ikut premiere pun semakin semangat untuk ngajak gue nonton film itu.
Entah ini soal imajinasi gue saja atau beberapa orang akan merasakan hal yang sama. Pertama kali gue melihat trailer FOXTROT SIX ini, gue langsung inget sama Hunger Games chapter terakhir, Mocking Jay part 2. Dimana Katniss dan yang lainnya dalam seragam, berusaha masuk ke The Capitol untuk menyelamatkan Peeta kesayangan gue. Dan ya... seperti itu. Karenanya gue mau nonton FOXTROT SIX ini.
Untuk pertama kalinya, gue nonton film Indonesia yang 99,9% dialognya dilakukan dalam bahasa Inggris kecuali bagian "SIAP" di atas pesawat. Dan gue bisa bilang, bahasa Inggris para pemain cukup bagus dalam ukuran orang Indonesia yang gue tahu. Walaupun ada beberapa kalimat yang gue dengar, terdapat sedikit grammatical error. Tidak begitu signifikan namun agak mengganggu bagi gue.
Dan adegan pertama dalam film, adegan yang dibicarakan oleh Wahyu sejak ia menonton premiere, adegan yang membuatnya penasaran apakah akan disensor atau nggak untuk penayangan umum, ternyata... ada. Sebuah adegan yang tak lazim ada di film Indonesia bukan gender horor yang menjurus ke konten dewasa. Sebuah adegan yang terlalu lama, terlalu bergairah, terlalu vulgar untuk dilakukan di Jakarta, pagi hari. Dengan kultur Indonesia yang cukup konservatif, adegan ini berkemungkinan sangat rendah untuk terjadi di dunia nyata. Untuk kita lihat di tepi jalan, di sebuah persimpangan Jakarta, pagi hari.
Wahyu sebelumnya mempertanyakan, kenapa film ini mendapat rate untuk usia 21 tahun ke atas. Apakah karena adegan di atas? Padahal bukan. Mungkin juga iya, adegan di atas berkontribusi untuk rate ini tapi dominasi alasan di balik itu adalah adegan aksi yang dilakukan oleh para aktor tampan yang hadir. Oka Antara, Chiko Jerrico, Arifin Putra, kesukaanku di antara yang lain, Mike Lewis dan Rio Dewanto, berhasil membuat gue dan teman Wahyu yang duduk bersebelahan bereaksi cukup banyak di saat yang bersamaan. Bukan hanya karena ketampanan mereka atau postur tubuh yang juara, tapi karena adegan aksi yang mereka lakukan... luar biasa! Cukup kasar, ekstrem dan tidak logis di beberapa adegan. Pantas saja teman gue bilang, "Kalo gak kuat adegan bunuh-bunuhan, gak usah liat."
Untungnya, gue sudah cukup kuat karena didikan dan tataran Wahyu yang terus mencekoki gue film-film horor yang walaupun tidak logis, tetap membuat jantung ini bekerja lebih keras dan membuat gue degdegan. Dulu, saat masih bersekolah, ada yang bilang kalau film Ninja Assassin itu cukup sadis dan memuakkan untuk ditonton. Gue pernah menontonnya dan cukup baik-baik saja walau darah dimana-mana. Tapi, FOXTROT SIX, gue rasa lebih dari itu. Dengan menohok lawan dengan sikat gigi, belum lagi tangan yang tertancap tapi ditarik paksa, ini adegan paling memuakkan dan mengerikan menurutku sebenarnya, atau mata yang menempel pecahan kaca. Cukup banyak lah yang membuatmu lemah untuk menatap layar.
Untuk efeknya sendiri, cukup bagus untuk ukuran Indonesia terlebih kalau dibandingkan dengan sinetron Indosiar. Jelas, jauh beda. Bisa dibilang kalau film ini memang sudah kelas internasional, tidak hanya soal akting, pemilihan bahasa, koreo dari aksinya, tapi juga dari efek yang digunakan. Cukup lembut, nyata dan bisa diterima dan dicerna. Tapi cukup kadang tidak cukup juga sebenarnya. Masih kurang halus. Semoga di kemudian hari semakin baik yaaa untuk pengguna efek visual dari film-film Indonesia. Biar kami enak ditonton, biar ga keingetan sama sama elang-elang Indosiar. Hehe.
Dan ini... terakhir. Bagian yang paling menyebalkan. Bagian yang gak bisa gue terima sama sekali. Alur cerita.
Sungguh sangat tidak bisa gue terima. Sungguh sangat di luar dugaan. Sebuah plot yang tidak berakhir dengan bahagia karena ini bukan drama Korea. Walaupun bukan drama Korea tapi gue sungguh sebal dengan tangisan Oka yang terlalu berlebihan dan memakan waktu. Padahal saat-saat itu adalah genting dan membutuhkan urgensi dan rasionalitas yang tinggi untuk menyelesaikan masalah. Tapi ia menangis, merengek cukup lama, terlihat sisi lemahnya. Gue gak suka.
Plot yang menceburkan salah satu pemain utama ke dasar api macam neraka. Plot yang cukup mengaburkan ekspektasi dan analisaku di akhir karena after credit-nya. Tebakan gue salah, dia yang muncul bukan yang gue duga.
Wahyu bilang, ini akan ada sekuelnya. After credit-nya memperjelas hal itu. Gue harus menguatkan diri dengan plot yang memporak-porandakan emosi dan kedongkolan. Plot yang lebih memuakkan dibanding semua adegan berdarah yang ada.
Itu saja. Mari kita nantikan kelanjutannya. Dengan siapakah nanti Oka akan jatuh hati? Itu pertanyaan gue.