Pe-lari-an
Rabu, September 18, 2019
Sudah dua bulan gue rutin lari. Dari yang awalnya mungkin seminggu cuma sekali, sampai sekarang seminggu harus, wajib dan kudu lima kali. Dari dulunya gue sangat tidak tertarik dan bergairah sama lari, sampai akhirnya, hari ini seorang Zakia kalau kenapa-kenapa bawaannya mau lari aja. Pusing, lari. Marah, lari. Kesal, lari. Emosi, lari. Gabut, lari. Lari sudah kayak cara mengisi waktu luang gue akhir-akhir ini, sepertinya.
Selama dua bulan terakhir ini juga, gue mendapatkan banyak feedback yang cukup positif dari teman-teman gue yang melihat keaktifan gue dalam berlari. Nggak sedikit juga dari mereka yang memberikan semangat, selain merasa tergugah untuk mulai berolahraga, khususnya lari seperti gue. Tapi, sebenarnya, awal mula gue lari, bukan lah dari sesuatu yang baik dan positif. Melainkan, gue lari karena marah dan membutuhkan ruang untuk melampiaskan kemarahan tersebut.
Suatu hari, tanggal 12 Juli 2019, kalau nggak salah gue berkesempatan pulang cepat dari liputan yang gue sudah lupa apa. Kalau nggak salah, sebuah liputan di RS Polri Kramat Jati yang jauhnya minta ampun itu. Gue pulang dengan perasaan marah, kesal dan dongkol. Sepanjang jalan kepala gue berisik memikirkan pesan yang gue kirimkan lewat WhatsApp ke Wahyu. Sebuah ajakan untuk menonton Lion King bersama. Tapi pesan itu gue kirim dalam bentuk semacam kuis yang harus dia pilih jawabannya. Sebenarnya, nggak ada jawaban untuk menolak di situ. Pilihannya cuma di baris dan nomor berapa dia mau kami berdua duduk untuk menonton film itu. Sayang, nggak ada jawaban yang gue dapat. Padahal, gue mencoba keras untuk bersikap ramah, tidak menuntut dan memaksa. Rupanya nggak bekerja dengan baik. Gue kesal.
Sungguh gue bukan lah tipikal wanita yang sabar dan bisa legowo dengan begitu mudah dan cepat. No no no! Itu bukan gue banget. Meski, dalam dua tahun terakhir gue jauh lebih baik dalam mengontrol emosi negatif gue dimana gue cenderung menekan emosi itu dan memendam mereka semua dalam-dalam. Namun, sebenarnya itu nggak membuat kemarahan dan kekesalan itu sirna dalam diri gue. Lebih parah, dalam kondisi seperti ini, pasti badan gue akan bereaksi karena emosi yang tidak terluapkan. Dia akan menjadi tegang, kemudian kepala gue mulai sakit, bahkan asam lambung gue bisa naik dan bikin perut kembung dan mau muntah. Luar biasa memang!
Sepanjang jalan pulang, gue digelayuti perasaan kesal dan marah. Gue membutuhkan sarana untuk meluapkan semuanya agar nggak jadi penyakit bagi tubuh gue. Sepanjang gue berdiri di TransJakarta juga, iya, waktu itu nggak dapat duduk karena jam pulang kerja, gue memikirkan bagaimana caranya mengeluarkan semua amarah ini. Sungguh, yang gue butuhkan saat itu adalah ruang bebas agar gue bisa berteriak. Tetapi, Jakarta terlalu padat, Jakarta terlalu rapat dan berisik. Meskipun kost gue cukup sepi dan gue nggak dekat dengan tetangga di sana, gue tetap nggak bisa buat teriak-teriak semau gue, sebebas gue. Teriak di kamar mandi, nyemplungin kepala dalam ember pun gue rasa nggak akan membantu gue. Itu nggak akan bisa menyelesaikan amarah gue.
Berdiam diri di kamar kost jelas bukan pilihan. Kemudian, pergi ke bioskop dan menonton film horor atau apa pun itu yang bisa membuat gue berteriak keras muncul sebagai pilihan lainnya. Namun, pengalaman mengajarkan, nggak semua film horor bisa diteriaki dan nggak semua orang yang nonton film horor itu teriak. Kalau iya gue teriak dalam bioskop, yang ada hanya gue sendiri yang begitu. Sisanya tetap duduk di tempat dalam, tak bergeming dalam diam dan menahan teriakannya dalam-dalam.
Karaoke? Ah! Karaoke sendirian itu sangat menyedihkan! Nggak semenyenangkan yang biasa ditampilkan di drama Korea. Gue pernah mencoba hal ini juga, karaoke bersama teman, hanya berdua. Rasanya? Hampa. Nggak ada seru-serunya sama sekali, emosi negatif gue pun nggak bisa dikeluarkan. Keluar dari ruangan karaoke, perasaan nggak merasa lebih baik juga. Percuma. Sayang. Mubazir. Buang-buang duit. Mending nggak usah.
Berpikir keras, berpikir keras, berpikir keras. Akhirnya teringat soal lari. Lari yang gue kenal dari orang yang sama yang membuat gue hari itu jengkel luar biasa. Lari, kata Wahyu, bisa memproduksi endorfin. Endorfin adalah hormon yang menimbulkan perasaan bahagia. Makanya, dulu, Wahyu bilang, kalau dia stres dia lari. Dan gue pun terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.
Sungguh, gue ini tabiatnya buruk sekali kalau marah. Nggak hanya ingin berteriak. Lebih buruk lagi, kadang rasanya gue ingin merusak sesuatu, memukul, melempar, apa aja, untuk melepaskan amarah itu sampai lelah. Dulu, masa SMA gue pernah jadi atlet taekwondo meski hanya sebentar. Gue tahu cara bagaimana untuk menendang orang, minimal kepalanya lah. Gue merasa cukup bisa untuk berkelahi dan bela diri, gue merasa cukup kuat. Tapi, saat itu, bahkan sampai dengan hari ini, gue nggak menemukan tempat latihan taekwondo yang tepat dan sesuai. Jadi, tetap, lari adalah pilihan terbaik saat itu.
Pulang. Sampai di kost, gue dengan terburu-buru berkemas, berganti baju dan mempersiapkan diri untuk kembali berangkat ke GBK setelah salat maghrib. Tika, teman satu kamar kost gue heran, ada apa ini gue grasak-grusuk sendiri. Tahu gue mau lari, dia bertanya, “Lari sama Wahyu?” Haduh! Orang mau lari karena dia, karena kesal sama dia. Ini lagi sama Wahyu. Gue dongkol. Pertanyaannya berlanjut, “Kalau ketemu Wahyu gimana?” Pertanyaan sederhana tapi gue nggak tahu jawabannya gimana. Malas berpikir dan fokus gue hanya mau lari biar marah ini terselesaikan, gue pun menjawab, “Ya udah, ketemu aja,” Gampang banget emang jawabnya, belum aja.
Gue pun lari di lingkar dalam stadion utama GBK. Sendiri, tentu saja. Siapa yang diharapkan untuk menemani perempuan pemarah ini? Gue lari, benar-benar lagi. Melihat catatan lari gue hari itu di Strava, gue lari dengan pace 6 di kilometer pertama. Gila juga rupanya! Benar-benar butuh pelampiasan amarah.
Gue berencana lari minimal 5 km malam itu. Mengapa harus 5 km? Karena itu standar terendah yang gue pakai saat berlari. Sebelumnya, beberapa bulan sebelumnya, ketika semua masih baik-baik saja. Ketika dunia masih terasa indah dan hanya milik berdua. Ketika Wahyu dan gue masih bersama serta ketika Wahyu masih terpikirkan untuk latihan lari dan sehat, dia berusaha ngajak gue untuk sehat, untuk mulai olahraga, untuk mulai lari, biar sama kayak dia.
Waktu itu, gue cukup rewel dengan kondisi badan gue yang dikit-dikit rasanya nggak enak, dikit-dikit sakit. Rupanya, kadar kolesterol dalam darah gue sangat tinggi, di atas 300. Wahyu tahu. Kemudian, dia narik-narik, maksa gue untuk lari pagi. Sementara, gue bukanlah manusia pagi atau morning person. Jadi, lari pagi terasa sangat amat sulit dan berat, bagai gue yang berjuang hari ini untuk menerima kenyataan.
Satu waktu, berhasil lah gue dibujuk oleh lelaki berjidat lebar nan menawan hati ini. Kami pun lari ke GBK, pagi-pagi. Menurut gue masih pagi dan terlalu pagi tapi Wahyu bilang itu sudah kesiangan. Langitnya sudah putih. Hari sudah mulai panas. Gue membela diri dengan bilang, Ya… Daripada nggak kan ya?”
Pemanasan, yang sejujurnya menurut gue, sangat seadanya, kami pun lari mengitari stadion utama GBK. “Lima putaran ya!” ucap Wahyu. Mendengar itu, gue pun mengeluh. Jelas, nggak pernah olahraga langsung disuruh lima putaran dimana tiap putarannya 1 km. Jadi, gue harus lari 5 km untuk lari pertama gue setelah sekian lama. Hah!
“Nggak apa-apa. Pelan-pelan aja,” Wahyu meyakinkan gue begitu. Namun, jiwa cemen gue ini tetap mengeluh dan nggak yakin kalau bisa menyelesaikan 5 km itu. Ditambah dengan kesotoyan gue, yang di awal-awal larinya gaya banget cepat-cepat. Wahyu terus mengingatkan gue untuk nggak usah cepat-cepat dan nggak usah memaksakan diri. Gue, yang seorang Leo dan pernah jadi atlet ini punya ego yang harus dijaga. Tiap Wahyu menawarkan untuk minum gue pasti bilang nggak karena nggak mau dianggap dan dilihat lemah. Padahal, aslinya manjanya nauzubillah, kayak anak kucing.
Wahyu tanpa lelah mengingatkan gue, menjaga dan ngecek kondisi gue agar tetap aman, “Capek nggak? Haus nggak? Kalau haus bilang ya!” katanya. Di km kedua dan ketiga gue masih cukup tahan, masih bisa memaksakan, meski napas sudah hu-ha-hu-ha. Iya, napasnya pendek sekali. Dan beberapa kali berteriak untuk mengambil napas panjang dan dalam. Tidak lupa, gue sudah lari dengan memegang pinggang yang artinya perut atau lambung gue nggak nyaman. Cukup banyak penyakitnya memang Zakia ini. Harus punya asuransi kesehatan swasta kalau mau hidup sama dia ya!
Menuju akhir km ketiga, gue sudah mulai menggerutu minta selesai. Wahyu pun mengasihani anak kecil yang dibawanya hari itu. Kami pun melipir ke Indomaret untuk beli minum. Jangan lupa, sebelumnya harus digenapi dulu larinya, biar pas 3 km.
Minum sedikit, larinya tetap dilanjut. Kalau sudah bilang lima, ya harus lima. Kalian harus tahu betapa keras kepalanya seorang Wahyu. Tanpa ampun memang. Tapi akhirnya gue menyelesaikan dengan baik. Meski, makin lama kecepatan larinya semakin turun dan gue ada di belakang Wahyu sampai ia harus sering-sering nengok ke belakang untuk ngecek gue.
5 km selesai. Kami pun duduk sembarangan sambil minum. Sambil melepas lelah setelah berlari, Wahyu bilang, “Bisa kan? Besok-besok lagi ya!” Nggak bisa dibaikin emang orang ini, senangnya minta lebih terus. Tapi, karena gue cukup menikmati meski terengah-engah, gue pun mengiyakan. Wahyu lalu melanjutkan, “Kamu kalau rutin latihan kayak gini, sebulan aja, sudah bisa ikut event,” Kemudian gue diam sambil mencerna semuanya dan bertanya pada diri sendiri, apa bisa?
Tetapi, gue bangga dengan pencapaian hari itu. Begitu juga dengan Wahyu. 5,2 km dalam waktu 54 menit 20 detik menurut catatan Strava. Wahyu sibuk mengabadikan momen itu. Ia meminta gue untuk mendekat padanya, padahal masih mengatur napas kembali normal, untuk berswafoto bersama.
Ia juga mengambil foto gue selagi sendirian beberapa kali dan memilih yang terbaik dan layak untuk diunggah. Tidak lupa, ia pun meminta gue untuk laporan ke orang rumah kalau hari itu gue berhasil lari pagi, 5 km bersama seorang Wahyu. Sebuah mandatory report. Sebuah pencitraan kepada orang tua pasangan adalah penting, Saudara-saudari!
Itu cerita pertama kali gue lari setelah sekian lama tidak berolahraga, bareng Wahyu. Yang ini, adalah cerita lari pertama gue juga, setelah sekian lama tidak, tapi sendiri tanpa Wahyu dan karena Wahyu.
Di malam 12 Juli 2019 lalu, gue terlalu emosional sampai lupa kalau hari itu hari Jumat. Gue lupa kalau Jumat adalah hari dimana Wahyu akan GBK dan latihan bersama komunitas lari yang dibentuknya bersama teman-teman lainnya dari 361, sebuah brand pakaian olahraga asal Cina yang tahun lalu, saat Asian Games menjadi official partner untuk apparel. Dan ketika gue teringat hari apa hari itu, seketika diri ini yang tadinya tidak berniat untuk mencari celah dan berharap dapat bertemu Wahyu pada kesempatan itu, pun kemudian melebarkan matanya dan menatap seluruh sudut stadion utama GBK yang dilalui.
Di km 2 gue menyadari hal ini, satu putaran, dua putaran. Perasaan yang awalnya membaik karena lari, semakin jauh kaki melangkah, semakin buruk ia kembali. Km 3, saat gue sudah mulai menyerah, “Ya sudah, kalau nggak ada ya nggak apa. Toh, ke sini buat lari kok. Bukan buat ketemu dia,” gue bergumam sendiri. Nggak lama berselang dari selftalk sok kuat dan ikhlas tadi, gue melihat sosok yang gue kenal, yang selama ini dirindukan, yang selama ini gue ingin lihat kembali.
Dia, mengenakan jersey Bali Marathon terakhir yang dia ikuti, tahun berapa gue lupa, berwarna abu-abu. Jersey yang ketika gue menumpang mandi di rumahnya saking gerah sama Jakarta, dia bilang mau kasih ke gue, tapi sampai hari ini masih ada di lemarinya. Dia berniat mau kasih kaos itu ke gue karena memang ukurannya kecil. Dan Wahyu hari itu, bahkan hari ini, semakin membesar, sesuai maunya, menaikkan beberapa kilo.
Gue melihatnya sedang bergurau dengan kawan-kawan yang lain. Entahlah dia melihat gue atau nggak, yang jelas, setelah itu, tangis gue pecah. Gue nggak bisa lagi menahan segala emosi yang ada. Sungguh, kala itu, gue merasa bahagia bisa kembali melihatnya, bertemu dengannya walaupun dari jauh. Setelah apa yang dengan penuh keyakinan dan arogansi gue katakana padanya pada malam tanggal 31 Juni 2019, yang setelahnya gue merasa baik-baik saja, senang-senang saja, masih bisa tersenyum dan tertawa. Tidak sampai 24 jam setelahnya, gue meratapi malam itu, terus bertanya kapan lagi dan dimana bisa kembali bertemu dan saling sapa. Malam itu, Jumat malam di pertengahan Juli, gue kembali melihatnya. Tuhan jawab doa gue, Tuhan beri jalan.
Sudah menemukan apa yang dicari, sudah kembali melihat Wahyu dari jauh. Tak ada kawan di samping, gue segera menelepon salah satu kawan baik untuk berbagi cerita dan tangis. Gue nggak lagi dalam posisi berlari, hanya berjalan mengelilingi stadion utama GBK sambil menangis dengan earphones yang bersemat di antara telinga dan kerudung. Gue nggak peduli apa ada yang melihat dan menyadari gue menangis sesungukkan sendirian malam itu atau nggak. Karena, sebenarnya, itu yang gue cari. Melampiaskan emosi, sampai habis, tak peduli apa kata yang lain.
Gue tetap berjalan mengelilingi stadion utama di antara orang ramai. Gue masih bisa menyelesaikan 5 km target, bahkan menjadi hampir 6 km karena sesi curhat perempuan yang masih patah hatinya sambil memantau dari jauh apakah Wahyu masih di tempat atau tidak, sudah pulang atau belum.
Gue sudah cukup tenang, nggak lagi menangis hebat. Gue pun memilih menyelesaikan sesi lari-pelarian itu dan duduk, melakukan pendinginan di salah satu pojok stadion dengan fokus utama mengarah pada Wahyu, menunggunya pulang. Gue baru akan pulang kalau lelaki itu pulang. Begitu keras kepala tiada guna memang perempuan ini.
Cukup lama, sampai mulai mengantuk dan bosan, Wahyu dan urusannya bersama panitia atau founder atau apalah itu tak kunjung selesai. Gue pun memutuskan untuk bangkit dari duduk beralaskan aspal GBK dan mulai kembali berjalan berkeliling, masih menunggu Wahyu pulang. Hanya menunggu, sebenarnya tak berniat untuk kembali bertegur sapa atau apapun. Hanya ingin menjadi perempuan yang sopan setelah semuanya berakhir. Menghargai dia dan privasinya, jadi gue hanya mengamati dan menikmati kembali melihatnya dari jauh.
Sampai satu titik, urusan mereka benar-benar selesai. Wahyu menuju jalan pulang, sendirian, tanpa ditemani kawan lainnya. Menuju arah yang sama dimana gue juga akan pulang. Grogi, canggung, gue bolak-balik tak karuan. Takut dan malu dilihat olehnya. Gue membiarkanya pergi lebih dulu. Setelah itu, menyesal. Mengapa tadi tak menyapanya.
Namun sayang, ternyata semesta masih berpihak. Ia masih terlihat dalam pandangan. Ia belum pulang, masih menunggu driver ojek online-nya sampai. Ia duduk di trotoar pintu 4 Masjid Al-Bina GBK. Gue melihatnya dari balik pagar, masih malu-malu dan takut kalau ketahuan.
Selama menunggu Wahyu pulang, gue masih tersambung dalam telepon bersama kawan. Ia pun lelah mendengar keluh-kesah dan drama yang tak berguna ini. Ia kesal kemudian memahari gue, “Kalau mau tegur, tegur! Sapa! Sekarang! Jangan nanti menyesal, ini-itu lah. Buruan! Sebelum dia pulang!”
Ah! Kesal! Ego ini memang selalu jadi beban. Kaki melangkah pun sulit, berat rasanya. Tapi apa yang Fera bilang benar, mungkin Tuhan tak lagi berikan kesempatan kedua. Jangan sia-siakan. Gue pun nggak mau kembali menyesal.
Dan, perempuan culun ini pun berlari bagai adegan drama untuk menghampiri lelakinya. Wahyu kaget, kayaknya dia nggak nyangka kalau gue akan ada di GBK. Bahkan, menyapanya seperti malam itu. “Kamu tahu aku di sini dari mana?” pertanyaan introgatif keluar dari mulutnya.
Gue yang sebenarnya panik pun menjawab dengan cepat dan tegas, entahlah, hanya berupaya untuk tidak disebut sebagai penguntit saja sebenarnya, “Nggak tahu! Aku ke sini cuma mau lari.”
Nggak berapa lama, ojek online berhelmet hijau yang ia pesan pun sampai. “Grab-ku sudah mau sampai,” katanya memberi tahu.
Tapi gue gigih untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan jangan sampai terlewat. “Aku mau ngomong sesuatu. Can you cancel it?” pinta gue sambil tersenyum canggung.
He did nothing, he also didn’t answer. Tahu-tahu dia melipir kembali masuk ke dalam gerbang. Dan kami pun berbincang di sana. Cukup lama. Hanya berdiri saling berhadap-hadapan.
0 komentar