Sudah beristirahatnya? Sudah siap untuk lari di hari Minggu ini?
Well, gue baru saja mengerjakan PR untuk long run hari ini. Menunya kombinasi antara 5K easy run, 3K progressive run dan 2K cooling down. Kondisi kaki hari ini masih sakit tapi masih bisa dibawa untuk lari. Dan gaya-gayaannya gue adalah memilih rute yang ada tanjakan dan turunannya. Mau coba, katanya mah gitu. 3K pertama lari di aspal, sisanya gue habiskan di tepi pantai bersama seorang kawan.
Oke, seperti yang gue janjikan semalam. Gue akan menceritakan soal balke test kedua yang gue lakukan tepat minggu lalu pada sore hari di Stadion Madya GBK.
Meski dilaksanakan pada sore hari dan gue sudah tidur seharian penuh, tetap saja rasanya tubuh ini masih lelah dan butuh istirahat lagi. Sayangnya, saat diajak ke alam mimpi kembali, tubuh ini tidak merespon dengan baik. Mata tidak terpejam. Jadi, yang gue lakukan sambil menunggu sore datang hanya lah rebahan di kasur. Akhirnya menjadi kaum rebahan juga walau hanya untuk beberapa jam.
Sore pun datang, gue berangkat dengan segala perintilan yang ada karena mau sekalian pulang ke Tigaraksa. Sampai di Stadion Madya, gue menjadi pusat perhatian karena telat. Selain itu juga memang karena malam sebelumnya gue menjadi salah satu pelari yang berhasil naik ke podium. Gue pun jadi bahan cengan.
Sedikit bercengkrama. Gue mendapatkan selamat. Namun tetap jadi bahan cengan sampai diminta untuk menyalami semuanya. Lucunya, gue melakukan saja tanpa protes apa-apa.
Nggak masalah juga sebenarnya. Toh, di situ gue merasa paling kecil walaupun gue bukan yang paling muda. Memiliki tubuh yang mungil seperti ini membuat gue berada dalam delusi kalau gue muda dan imut selamanya. Agak menjijikan memang. Biarkan saja.
Sambil menunggu yang lain yang juga belum datang, mulai lah banyak permintaan-permintaan untuk traktir dari teman-teman 361 Performance Runners. Oiya, balke test ini khusus untuk kami, 31 orang terpilih sebagai tim elit dari 361 Runners yang diberi nama 361 Performance Runners. Dimana kami diajak untuk bekerja sama yang didasari pada sebuah kontrak selama enam bulan. Tugas kami, tentunya adalah lari, latihan.
Kami diberi program dari pelatih, ada Coach Bugi dan Assisten Coach Latief, yang nggak mau dipanggil Coach. Satu minggu, kami latihan selama lima hari dengan menu yang bervariasi, mulai dari easy run, tempo run yang gue benci sampai long run di setiap hari Minggu.
Selain itu, kami juga ditugaskan untuk menjadi semacam brand ambassador atau key opinion leader, semacam itu lah ya pokoknya, untuk mengunggah kegiatan lari kami di Instagram dan tidak lupa dengan menggunakan produk-produk olahraga dari 361 Indonesia.
Untuk bisa mengunggah seperti yang diharapkan, kami kan butuh materi ya? Seperangkah produk-produk terkait. Nah, kami diberikan voucher dari manajemen untuk dibelanjakan sebagai ketentuan yang berlaku. Sederhananya, kami dapat satu paket peralatan lari secara gratis. Ditambah lagi dengan diberikan kesempatan untuk mengikuti major event, seperti waktu itu adalah Jakarta Marathon. Ini juga gratis.
Menyenangkan ya? Latihan gratis. Punya pelatih lagi, dikasih program lagi, gratis. Dapat baju dan sepatu gratis, sesukanya, bisa pilih sendiri. Ditambah lagi slot gratis di event lari sebesar Jakarta Marathon. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan wahai Saudara-Saudari?
Tapi juga nggak senang-senang amat, maksudnya nggak suka-suka kami juga latihan dan mengerjakan PR-nya. Kami diberi target untuk setiap latihannya, misalnya tempo run. Begitu juga untuk race-nya. Jadi, nggak take for granted ya!
Makanya, ada evaluasi melalui balke test ini untuk melihat seberapa jauh peningkatan yang kami alami. Karena di awal kami pun diseleksi dengan balke test ini.
Balke test sendiri adalah tes yang dilakukan untuk mengukur kebugaran dan daya tahan seseorang. Balke test juga sering dikaitkan dengan VO2Max atau volume oksigen maksimal yang diproses oleh tubuh saat melakukan kegiatan intensif atau juga kapasitas aerobik tubuh. Semakin tinggi kapasitas aerobik atau VO2Max kita, maka semakin baik kerja otot kita sehingga banyak oksigen yang diserap oleh tubuh dan hanya sedikit zat yang tersisa. Kelelahan pun jadi lebih lambat terjadi. Stamina pun semakin baik.
Di balke test kali ini, gue punya beban tersendiri. Gue harus menunjukkan performa maksimal tapi nggak juga berlebihan sampai menyakiti dan membahayakan diri sendiri. Pernah merasakan euforia naik ke atas podium menjadi tanggung jawab lebih bagi gue. Nggak boleh menggampangkan, nggak boleh juga manja. Gue harus push to the limit.
Antara beruntung atau nggak, gue menjadi kloter kedua dalam balke test kali ini. Sambil menunggu giliran, gue menyemangati kloter pertama. Ada Bramantyo dan Alwy kalau nggak salah. Menyemangati sih menyemangati, detak jantung ini mulai naik intensitasnya. Gue degdegan dan merasa nggak nyaman sama itu. Ada ketakutan tersendiri kalau gue nggak bisa lebih baik dari balke test sebelumnya. Gue takut kalau performa gue nggak sebaik malam sebelumnya di Indonesia Night Run 2019.
Giliran gue pun datang. Gue satu kloter bersama Ragil dan Mas Adi, untuk perempuannya ada Kak Citra. Kami hanya berdua kalau nggak salah.
Gue memulai balke test dengan agak malu-malu. Sudi nggak sudi berada di baris pertama. Nggak seperti biasa kalau gue memulai race yang pasti terburu-buru untuk berada di paling depan. Gue malu. Gue takut. Ada keraguan di dalam diri gue waktu itu.
Stopwatch Coach Bugi pun dinyalakan. Assisten Coach Latief pun bersiap dengan papan jalannya untuk mencatat berapa hasil yang akan kami torehkan. Gue mulai berlari di lintasan dengan tidak seambisius biasanya. Di balke test kali ini, gue mempersiapkan diri untuk bisa bertahan sampai akhir dengan stabil. Jangan sampai napas tersengal-sengal. Jangan sampai gue merasa cukup menderita di awal-awal. Bahaya.
Nggak kayak balke test pertama yang gue nge-push di awal. Gue cukup santai dan nggak panik ketika dilewati oleh yang lainnya. Pengalaman memang guru terbaik, ya? Pengalaman mengajarkan gue untuk bisa lebih tenang dan nggak terburu-buru.
Fokus pada pace yang gue jaga. Entah mengapa gue merasa seperti jogging biasa. Entah karena memang pace-nya tak seberapa kencang atau memang gue yang terlalu lambat kalau dibandingkan para atlet-atlet yang ada. Iya, kloter gue isinya pelari sebenarnya, atlet yang sering naik podium. Da, gue mah apa? Anak baru yang dikasih rejeki aja sama Allah biar bertahan.
Sebenarnya nggak minder, biasa aja. Balik lagi, balke test ini fokusnya ke diri masing-masing. Seberapa bisa menunjukkan kemajuan atas program yang selama ini telah diberikan. Gue mencoba tenang, menikmati dan bertahan sampai waktunya selesai. Beberapa kali gue melihat ke layar ponsel untuk mengetahui sudah berapa lama gue berlari.
Oh iya, balke test ini biasanya dilakukan selama 15 menit ya. Di sini, lo disuruh lari secepat dan sejauh yang lo bisa. Jangan berhenti sebelum waktu habis. Dan jangan jalan juga. Kan namanya juga tes, ya lari dong ya, masa jalan? Race aja kalau mau kejar personal best ya lari terus jangan jalan. Kalau jalan mah malam Minggu saja, sama gebetan, kalau ada itu juga.
Sebenarnya, bagi gue pribadi, lari sambil melihat layar ponsel itu memberikan dampak yang kurang baik. Karena gue orangnya nggak sabar, semakin gue tahu sisa waktunya, semakin gue pingin cepat selesai.
Di lima menit terakhir, satu atau dua lap terakhir. Oh iya, lagi, Stadion Madya ini lintasannya 400 meter ya. Jadi, ya lumayan bosan juga, buat gue terutama, mengitari ini selama 15 menit dengan pemandangan itu-itu saja. Iya, gue orangnya bosenan kok. Cuma kalau sama kamu nggak tahu deh ya.
Mulai ngawur. Jadi, di satu atau dua lap terakhir ketika gue melewati Coach Bugi dan Ass Coach Latief, gue disuruh push. Kekhawatiran gue terjawab kan? Gue yang merasa lambat dan jogging ini benar disuruh lebih cepat lagi. Tapi sayang, kaki sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Jadi, gue nggak bisa push di menit-menit terakhir. Padahal itu adahal hobi dan kebiasaan gue.
1-2 menit terakhir, napas gue sudah mulai tidak baik. Napas gue menjadi pendek-pendek. Dada gue nggak nyaman rasanya. Dan sudah nggak bisa ditahan. Akhirnya, gue pun mengeluarkan trik andalan lainnya, berteriak.
Berteriak gue lakukan demi menstabilkan napas dan melegakan dada. Berisik memang tapi gue bodo amat. Yang penting gue selesaikan dengan sehat dan aman. Menyebalkan sih mungkin bagi yang mendengarnya. Habis, gue kalau teriak itu kerasnya luar biasa. Mungkin kayak suara laki-laki, ya? Suara gue memang sebesar dan sekencang itu sih.
Nggak berapa lama setelah gue teriak, dari ujung lintasan sana Bang Afan sudah melambaikan tangan. Gue pun melepaskan earphones demi bisa mendengar. Biar nggak kelebihan juga. Capek. Sayang.
Selesai! Gue terengah-engah, megap-megap. Gue pun melepas topi. Kepala gue sesungguhnya di menit-menit terakhir sudah mulai keleyengan. Pandangan gue sudah mulai buram. Tapi gue berkata pada diri sendiri kalau gue bisa dan harus menyelesaikan dengan baik. Ada tanggung jawab yang harus gue pertahankan dan buktikan.
Gue lemparkan topi sebagai tanda di titik mana gue berhenti. Gue pun berjalan-jalan kecil nggak jauh dari titik itu sambil menunggu Coach Bugi dan Bang Latief menghitungnya. Selesai dihitung, gue pun berjalan mendekati teman-teman yang lainnya. Baru sebentar, kami pun pendinginan. Biar nggak banyak adegan karena sudah mulai dekat senja, sebentar lagi menuju Maghrib.
Selesai pendinginan, kami dikumpulkan dan Coach Bugi mengumumkan hasil balke test masing-masing dari kami tepat saat itu juga. Berhubung nama gue diawali oleh huruf Z, terakhir lah gue disebut. Ini selalu menjadi masalah sejak masuk sekolah dulu, makanya Mama suka sebal kalau mengambilkan rapor gue. Untung selama ini sering ranking di kelas, jadi dipanggil berdasarkan peringkatnya.
Nama gue terakhir, semua orang menunggu-nunggu dalam diam. Ada Pene yang bersiap untuk menggendong gue. Gue degdegan, takut kalau-kalau gue nggak sampai dan memberikan peningkatan. Podium telah menjadi beban tersendiri untuk diri gue ini. Padahal, sebelum balke test dimulai, Coach Bugi telah memberitahukan dan mengingatkan kami berapa hasil dari balke test sebelumnya. Sayangnya, gue lupa.
“Zakia…”, Coach Bugi menyebut nama gue dengan memberi jeda sedikit sembari melihat catatan di papan jalannya.
“Sebelumnya 2084 (meter). Sekarang jadi, 2537 (meter). Kenaikannya hampir 500 meter.” Lanjut Coach Bugi.
Gue otomatis merayakan dan bertepuk tangan. Yang lain pun melakukan hal yang sama. Tapi tidak dengan Pene. Dia yang tangannya sudah di bahu gue sejak tadi pun akhirnya menggendong gue. Gendong di depan kayak pengantin-pengantin itu. Dan jangan lupa ada gerakan memutarnya. Untung gue nggak dilempar pas dituruninnya.
Mendengar hasil balke gue, gue sangat senang. Bangga juga sama diri sendiri. Gue menorehkan hasil lagi. Akhirnya, seorang Zakia bisa cinta sama hasil, nggak cuma ribet-ribet drama sendiri.
Alhamdulillah, gue masih bisa bertanggung jawab dan menunjukkan kalau gue mampu dan bisa. Setidaknya, untuk diri gue sendiri. Selama ini, gue masih banyak ragu dan mindernya. Gue masih banyak bertanya-tanya soal kemampuan diri gue sendiri. Gue masih suka membandingkan diri gue dengan yang lain karena gue ngerasa belum ada di tingkatan yang sama seperti yang lain.
Untungnya, gue memiliki Yes, You Can Attitude. Gue selalu membuka diri atas hal-hal baik di sekeliling gue dan menjadikan mereka yang lebih baik dari gue sebagai motivasi dan inspirasi. Begitu juga dengan teman-teman 361 Performance Runners gue.
Mereka yang lari lebih kencang, mereka yang lari lebih jauh. Mereka yang rajin latihan. Mereka yang nggak pernah mengeluh. Mereka yang disiplin. Mereka yang ikut race ini-itu. Dengan sedikit iri dan banyak kagumnya, gue bergumam dalam hati, “Gue mau kayak gitu!” Gue mau kayak mereka itu. Gue mau bisa lari sekencang mereka, sejauh mereka, serajin mereka, setahan mereka, sedisipilin mereka.
Beruntungnya gue berada dalam lingkaran orang-orang baik yang juga kompetitif. Nggak salah kalau memang gue memilih untuk bergabung dalam komunitas ini. Memang, Tuhan selalu punya cara dan jalan.
Kala itu, saat gue bergabung di 361 Runners karena dia adalah satu-satunya komunitas lari yang gue tahu ya hanya itu. Gue bisa tahu pun karena Wahyu cerita soal rencana pembentukan dan programnya. Nggak mau repot, gue pun melipir ke latihan mereka di suatu hari di bulan Juli. Dan gue bertahan sampai dengan hari ini.
Alasan gue untuk bergabung di 361 Runners sederhana, cuma mau lari gue bukan lari-lari doang. Gue mau lari gue berkembang, bukan cuma senang-senang. Dan ini lah hasilnya, hari ini. Gue sudah berkembang cukup jauh dan pesat.
Kata-kata adalah doa, makanya jangan sembarangan berkata. Katakan, ucapkan yang baik-baik, yang diinginkan. Biar Tuhan yang merencanakan dan semesta bekerja sama untuk mengaturnya.
Selamat berakhir pekan kawan-kawan! Semoga mimpi dan impianmu jadi nyata.