Indonesia Night Run 2019: Malam Minggu Podium
Minggu, Desember 08, 2019
Kemarin di Friday
Night Run 361 Runners gue diberi kesempatan oleh Coach Bugi untuk berbagi soal
pengalaman gue di Malam Minggu sebelumnya di Indonesia Night Run 2019. Sebuah
pengalaman yang luar biasa, yang nggak pernah gue duga sebelumnya bahkan nggak
pernah gue impikan. Sebuah pengalaman ketika gue merasakan berada di atas
podium. Seorang pelari pemula, baru memulai larinya di bulan Juli lalu dan
menjadikan lari sebagai pelarian berhasil mengalahkan dirinya sendiri dan naik
podium tepat sebelum ia meninggalkan venue race, tepat sebelum ia mengganti
bajunya dan siap menggendong tas untuk pulang dan beristirahat.
Indonesia Night Run
2019 adalah sebuah race yang gue idamkan sejak pertama kali mereka
mempromosikan event ini. Namun, buat gue yang pemula dan masih berhati-hati
dalam memilih race, gue memutuskan untuk tidak menghabiskan uang untuk race
ini. Race ini, buat gue pribadi, saat itu, terkesan seperti sebuah race
senang-senang karena konsep flyer-nya yang sangat berwarna dan kerlap-kerlip. Konsep
flyer itu juga sebenarnya yang membuat tertarik untuk bisa berlari di malam
hari sambil memakai lampu-lampu di kaki atau tangan. Menyenangkan, sebuah
konsep yang berbeda.
Karena harganya yang
lumayan mahal, gue tetap memutuskan untuk nggak membeli tiketnya. Sampai akhirnya,
ya udah lah aja gitu. Meski kalau latihan malam di GBK beberapa kali melihat
para pacer untuk Indonesia Night Run ini latihan bersama dengan lampu
warna-warni tersemat di kaki mereka. Sebuah pemandangan tersendiri dan gue iri.
Tapi, yang namanya
rejeki emang nggak kemana. Rejeki itu emang selalu datang dari arah yang nggak
diduga-duga. Salah seorang kawan lama gue, yang tahu kalau gue akhir-akhir ini
hobi lari pun menghubungi gue dan cerita soal adanya slot-slot yang menjadi
jatah kantornya. Namun, nggak berapa banyak kolega kantornya yang mau melarikan
slot-slot tersebut. Akhirnya, dia pun menawarkan gue kesempatan emas ini. Pastinya
gue menerima dengan lapang dada dan tanpa berpikir panjang. Gue dapat apa yang
gue mau, mengapa harus menolaknya? Kan rejeki nggak boleh ditolak.
Teman gue ini, namanya
Imam. Dia bekerja di head office dari Gold Gym. Ya… Jadi kalau Gold Gym jadi
partner dalam sebuah event pasti nanti aka nada slot-slot gratis semacam ini
untuk orang kantornya. Kalau nggak ada yang berminat, dibandingkan diabaikan
begitu saja, ya Imam hibahkan lah ke gue.
Untuk Indonesia Night Run
sendiri, Imam awalnya hanya menawarkan dua slot gratis untuk gue dan satu orang
lainnya. Saat gue tahu informasi ini, otak gue langsung memilih satu orang di
antara begitu banyak teman lari gue. Pemilihan ini nggak sembarangan tentunya. Gue
pilih yang terbaik.
Teman yang gue pilih
ini, nggak main-main. Dia pernah podium juga sebelumnya di Serpong Green
Warrior. Larinya memang cepat, cepat banget. Boleh lah kalau gue sebut dia
sudah sekelas atlet. Sudah bisa pace 4, 4 menit per kilo. Kencang kan? Parah! Gue
pilih dia karena dia sangat berpotensi podium dan gue pengen dia naik podium
lagi. Sesederhana itu.
Lebih dari itu, teman
gue yang satu ini tuh menjadi salah satu inspirasi gue, terutama dalam berlari.
Dia punya aura yang positif. Positif banget orangnya. Nggak pernah ngeluh,
nggak suka julid, nggak suka sambat. Selalu ngasih semangat dan optimisme ke
yang lain kalau kita bisa dan kita mampu. Dan yang paling penting, dia rendah
hati. Sumpah! Rendah hati ini orang. Nggak ada jumawa-jumawanya pisan. Percaya deh!
Gue memilih teman yang
satu itu. Kebetulan Imam pun ikut latihan Friday Night Run di suatu Jumat dan
memberi tahu informasi lebih lanjut soal slot Indonesia Night Run ini. Gue,
Imam dan Ragil pun pulang bersama setelah selesai dan langsung saja gue beri
tahu Ragil soal slot ini. Senang, dong? Pasti lah! Siapa sih yang nggak suka
gratisan? Semua pasti suka.
Terlebih, setahu gue,
Ragil itu jarang dapat slot gratisan atau memakai slot orang lain karena satu
dan lain hal. Jadi, gue senang karena dia senang dapat slot ini. Dan lebih
senang lagi karena dia terlihat cukup bersemangat untuk Indonesia Night Run
ini.
Sambil Imam mengurus
soal administrasi slot ini, gue dan Ragil pun melobi untuk bisa berlari di
kategori 10K. Namun, karena kebanyakan orang kantornya Imam lari di kategori
5K, mau nggak mau kita ngikut aja. Ya gratisan, masa mau ngatur-ngatur sih? Dikasih
aja untung kan?
Seiring berjalannya
waktu, race semakin dekat. Tiba-tiba saja, Imam menghubungi gue lagi dan
menawarkan dua slot gratis lainnya. Semangat dong gue untuk menyebarkan kabar
baik ini ke teman-teman.
Rupanya, respon
teman-teman gue tidak seantusias yang gue bayangkan. Ekspektasi gue ketinggian
kayaknya. Mungkin ini juga karena ada race lain di waktu yang berdekatan, Jabar
International Marathon 2019 di Pangandaran. Selain itu, kami, 361 Performance
Runners pun keesokan harinya, di hari Minggu akan mengadakan evaluasi program
latihan dalam bentuk balke test.
Kebanyakan dari mereka
fokus untuk persiapan balke. Selain memang, sibuk di kehidupan masing-masing
yang nggak cuma soal lari. Ada yang sibuk harus lembur. Ada yang mau
jalan-jalan ke Bogor. Ya sudah lah. Itu pilihan mereka. Tapi akhirnya, ada dua
orang manusia yang menghubungi gue untuk mengisi slot kosong ini. Mereka adalah
Mas Adi dan Michelle.
Akhirnya, kami
berlima, termasuk Imam, hadir untuk Indonesia Night Run kategori 5K. Race
dijadwalkan mulai pukul 19.00 untuk kategori 5K. Namun karena hujan akhirnya
pun jadi mundur hampir setengah jam.
Sebuah pengalaman
baru. Pertama kali lari di malam hari dan diguyur hujan. Gue pun cemas. Cemas
karena apakah gue akan bisa menorehkan kembali personal best, apakah gue bisa
lari dengan cepat dan aman tanpa terpeleset sama sekali. Cukup banyak
kekhawatiran gue malam itu.
Gue begitu khawatir
karena ada beban dan tanggung jawab yang gue bawa. Dua minggu sebelum Indonesia
Night Run, gue nggak bisa latihan sama sekali. Gue nggak setorun sama sekali. Terakhir
gue ingat, setorun gue adalah tempo run di suatu Rabu. Dan itu penuh drama dan
air mata.
Ketika itu, mental gue
nggak mendukung sama sekali. Lari rasanya berat dan sulit. Dipaksa pun nggak
bisa. Gue nggak tahu lagi harus apa. Yang jelas, gue tahu kalau gue tidak
baik-baik saja.
PR hari itu adalah
tempo run 12K. Belum sampai 5 kilo, lebih tepatnya baru sampai di 3 kilo gue
sudah menyerah. Gue berhenti sejenak. Gue menangis di pojokkan. Kecewa. Gue
kecewa sama diri gue sendiri. Gue selalu kecewa ketika gue nggak bisa
menjalankan program latihan dengan baik. Gue selalu malu kalau gue nggak bisa
sebaik yang lain. Gue malu karena merasa nggak bisa cukup bertanggung jawab dan
mampu untuk menyelesaikan latihan-latihan yang gue punya.
Bingung. Gue pun berkomunikasi
dengan pelatih gue, Coach Bugi. Gue mengadu padanya kalau mental gue nggak
cukup supportif kala itu. Untuknya, CB tuh santai banget. Dia nggak pernah
maksa gue dan atau yang lain untuk harus begini, harus begitu. Dia benar-benar
menjadikan program latihan itu menyenangkan, santai tapi tetap harus punya
hasil.
Masih sambil nangis di
pojokkan gerbang masuk ring road Stadion Utama GBK, CB menanggapi WhatsApp gue
dengan menyuruh gue untuk santai dan nggak menjadikan itu beban. Gue disuruh
rehat sebentar. Gue disuruh nonton untuk refresh otak. Dia cuma bilang, emang
di saat itu, itu adalah masa-masa jenuh kami dalam berlari.
Sebetulnya, masalah
gue saat itu bukan hanya soal jenuh dalam berlari. Lebih dari itu. Gue punya
masalah sendiri di dalam hidup gue. Gue saat itu baru saja diberi kejutan
yang menggoyangkan kembali kewarasan
gue. Gue kembali harus bertahan untuk tetap kuat, sehat dan waras.
Setelah gue berkonsultasi
sama CB. Gue pun menangis sejadi-jadinya gue bisa dan mampu. Tujuannya agar
dada ini lega dan bisa diajak bernapas dengan baik. Terserah lah kalau ada yang
terheran-heran melihat gue menangis di pojokkan sana. Bukan urusan gue.
Sudah merasa cukup tenang.
Gue pun memutuskan untuk kembali berlari dengan mengitari GBK seluruhnya, bukan
hanya ring road yang sudah mulai membuat gue bosan. Sebuah trik baru pun gue
temukan malam itu. Tips yang membuat gue bertahan sampai dengan 10 kilo. Receh
tapi cukup menyemangati gue, membuat pola di maps Strava.
Kala itu gue sudah
nggak peduli lagi dengan pace gue berapa. Masih bisa lari aja sudah syukur
banget. Yang penting gue menyelesaikan latihan. Jadinya memang bukan tempo run.
Gue mengklaimnya sebagai long run atau easy run. Terserah lah pelatih mau melihatnya
gimana. Pokoknya karena membuat pola malam itu, gue bisa berlari bersama
atlet-atlet Arab yang sedang latihan untuk tanding bola. Lawan siapa, gue nggak
tahu.
Dua minggu nggak
latihan, gue nggak bisa leha-leha dan manja-manja di Indonesia Night Run. Gue
harus tunjukkan kalau gue bertanggung jawab. Setidaknya begitu. Gue juga
menjadikan race kali ini sebagai trial untuk balke di esok harinya. Gue harus
push to the limit, intinya begitu.
Gue, Imam, Ragil dan
Michelle pun melakukan pemanasan bersama setelah sholat Maghrib. Mas Adi nggak
tahu dimana, dia nggak angkat telepon makanya kami tinggal. Seperti biasa, kami
pun memilih baris paling depan. Kali ini, gue pun berada di jejeran paling
depan, bersama Imam. Ragil dan Michelle ada di baris belakang gue.
Menunggu flag off, gue
degdegan. Selalu begitu, selalu seperti itu. Doa gue di garis start malam itu cuma
untuk nggak kepeleset dan bisa menorehkan personal best. Nggak muluk-muluk
untuk yang lain.
Tapi, beberapa detik
sebelum flag off Ragil pun menepuk bahu gue. Dia manggil gue, dia ngomong
sesuatu sama gue, dia menyemangati gue. Begitu juga dengan Michelle.
“Zak! Push ya, push!
Bisa, pasti bisa! Kesempatannya ada. Di sini nggak banyak saingannya. Push!
Bisa!” katanya.
Gue yang ambisius ini
pun kemudian punya pemikiran baru lainnya. Ada target lainnya yang harus
dicapai malam itu. Bukan sekadar finish strong and safe beserta personal
best-nya, tapi juga masuk peringkat. Setidaknya 10 besar. Podium bukan tujuan
utama. Top 10 is more than enough.
Mengapa Top 10 lebih
cari cukup buat gue? Karena pencapaian terbaik gue, terakhir, di Danamon Run
2019 untuk kategori 15K adalah peringkat ke-29. Masih jauh kan dari podium?
Jauh banget!
Toh, kalau gue
bandingkan diri gue dengan teman-teman perempuan lainnya, gue masih jauh di
bawah mereka. Terutama dua teman lari perempuan gue, Michelle dan Vian, mereka
berdua beberapa kali ikut race dan berada di Top 5. Mereka berdua tuh sudah
kencang larinya, bisa pace 5-6. Gue? Belum sampe situ. PR tempo run pace 6.45
aja kadang masih tarik-ulur. Podium bukan cita-cita gue.
Seperti biasa, gue
nge-push di awal. Rasanya di beberapa ratus meter pertama, gue adalah pelari
perempuan di depan. Tapi karena itu lampu di paha kiri makin lama makin merosot
dan gue nggak mau dong lampunya hilang. Sayang dong, lumayan itu buat mainan
kapan-kapan kan.
Gue pun melepas lampu
putih di kaki dan memutuskan untuk memegangnya sepanjang race. Belum sampai
setengah, rupanya gue mulai pengap. Rasanya 5K kok jauh sekali? Ingin cepat
selesai saja. Jiwa nggak sabar ini mulai memberontak.
Kalau sudah seperti
itu, gue akan banyak bicara dengan diri gue sendiri. Gue akan banyak menguatkan
dan menyemangatinya. Gue ingatkan diri ini untuk target-target yang ada. Trial
balke test, personal best, pembuktian diri dan Top 10.
Iya, Top 10 masih
menjadi target karena benar adanya, nggak begitu banyak perempuan yang menyalip
gue di race kali ini. Gue masih bisa menghitungnya dengan jari dan gue sangat
yakin kalau gue bisa berada di peringkat sepuluh teratas.
Sebelum water station
pertama, gue masih bisa meneriaki Mas Adi sebagai semangat untuknya. Tapi
sayang, gue nggak melihat Ragil. Jadi, ya nggak bisa menyemangati. Cuma, nggak
berapa lama Michelle pun menyalip gue sambil tetap menyemangati. Gue nggak mau
nge-push lagi. Seperti biasa, teknik yang gue pakai adalah #TahanSampaiAkhir,
yang penting stabil. Nggak boleh berhenti, nggak boleh jalan. Pokoknya
pertahankan pace semampunya.
Karena trigger dari
teman-teman juga, akhirnya selama gue berlari di Indonesia Night Run, gue punya
insecurity tersendiri. Gue takut kalau gue dilewati oleh pelari-pelari
perempuan. Makanya, setiap ada yang melewati gue, gue pasti menoleh dan
mengeceknya. Apakah dia laki-laki atau
perempuan.
Ketika yang melewati
laki-laki, dan memang kebanyakan adalah laki-laki, maka ada kelegaan
tersendiri. Tapi kalau yang mendahului adalah perempuan, gue akan mulai
mengingat-ingat dan menghitung dimana posisi gue saat itu, urutan keberapa.
Memang nggak banyak
pelari perempuan yang mendahului gue. Nggak banyak juga yang terlihat seusia
gue dan Michelle. Sebuah ketenangan tersendiri buat gue karena gue nggak merasa
kalah saing. Mental gue juga masih cukup stabil dan kuat dengan
kepercayaan itu. Setidaknya, gue nggak dikalahkan oleh pelari yang seumuran,
pikir gue begitu.
Benar saja, seingat
gue, hanya ada satu-dua orang pelari dengan rentang usia yang sama yang
melewati gue, Michelle dan ada satu lagi mbak-mbak berkerudung. Sisanya adalah
mereka yang nampak seperti ibu-ibu, lebih tua dari gue. Tapi, kalau gue nggak
salah, mbak-mbak berkerudung itu bisa gue salip sebelum sampai ke garis finish.
Begitu juga dengan salah satu pelari berusia dewasa.
Mendekati garis
finish, kurang dari 1 km, gue menerapkan kebiasaan gue lainnya, push at the
last kilo. Sebenarnya sudah capek dan terasa berat, napasnya sudah
pendek-pendek. Malam itu terasa pengap memang, habis hujan soalnya. Tapi gue
tetap menguatkan diri untuk bisa finish secepat mungkin.
Lucunya, semakin dekat
ke garis finish, di depan QBig ada satu orang pelari, laki-laki, berbaju putih.
Dia menyemangati gue, “Ayo Mbak! Push! Dikit lagi! Ayo!” sambil menepi dan
memberikan jalan buat gue.
Saat itu, gue kayaknya
masih bisa senyum tipis. Tapi di dalam hati tuh mikir keras gitu,
bertanya-tanya sendiri. Ini masnya kenal nggak sih sama gue? Kok gue nggak
kenal? Sok ngerasa artis gitu gue, berasa udah dikenal banyak orang. Padahal mah,
gitu-gitu aja. LMAO.
Dan gue pun
benar-benar nge-push lari gue. Gue mendorong tubuh gue untuk berlari lebih
kencang lagi. Sakit emang kaki rasanya. Tapi demi personal best yang lebih baik
dan mengamankan posisi dalam peringkat, gue pun memaksakan diri.
Sepi. Sumpah sepi
banget. Lowong banget. Baru ini gue race bisa finish sesepi itu. Dan yang di
depan gue semuanya laki-laki. Sampai ada satu lelaki yang agak menutupi jalan
gue menuju finish karena dia berada agak di tengah dan pace larinya agak
santai. Mau nggak mau gue harus nyelip lewat samping agar pace tetap terjaga dan
nggak nyeruduk itu mas-mas.
Setelah gue melewati
garis finish, setelah gue lari sambil menatap jam yang menunjukkan durasi gue
berlari. Gue pun baru sadar kalau gue melewatkan momen foto epic di garis finish.
Makanya, mas-mas itu menutupi jalan gue dan menikmati hasil larinya. Terbukti dengan
hasil foto, dimana gue bukan fokusnya. Menyedihkan tapi ya udah lah ya.
Nggak perlu menyesal,
gue pun memutuskan untuk bodo amat dan berjalan menuju tempat pemberian medali
dan refreshment. Nggak lama setelah itu, tangis gue pecah. Gue merasa kecewa.
Pertama,
karena gue nggak menorehkan personal best gue. Iya, di Indonesia Night Run ini
gue finish dengan catatan waktu 32 menit 25 detik. Sementara gue pernah lebih
cepat dari itu di sebuah sesi latihan. Kilometer kelima gue bisa selesai dalam
waktu 31 menit 11 detik, saat itu.
Belum lagi sebuah
kekecewaan karena nggak ada satu pun panitia yang mendatangi gue untuk
memberikan tanda potensial podium. Gue mengerang dalam hati. Ah! Rasanya kayak
di-php-in! Gue pun bertanya dalam hati, sebenarnya gue ini peringkat berapa
sih? Masih bisa Top 10 nggak sih?
Gue yakin, di antara
gue berempat bersama Mas Adi, Ragil dan Michelle, gue adalah yang terakhir
finish. Tapi kok gue nggak melihat mereka di dekat-dekat situ? Kesepian banget
rasanya. Terasa kayak balik ke momen di race pertama gue di 361 Performance Run
yang saat gue finish nggak ada satu pun yang nungguin gue. Khayalan gue bakal
ditunggu dan dapat pelukan hangat kala itu nggak ada sama sekali. Malam
itu, kegetiran yang sama muncul kembali.
Gue, Ragi, Michelle
nggak bawa ponsel saat lari. Jadi, nggak ada pilihan lain selain menunggu
mereka. Gue pun berjalan dengan sekenanya sambil menahan tangis. Gue menunggu
mereka bertiga di stand Gold Gym. Nggak lama mereka pun datang. Lega rasanya. Gue
nggak sendirian, nggak kayak anak hilang.
Masih sepi, kami pun
memanfaatkan waktu untuk foto-foto di booth PLN. Nggak lama kami pendinginan. Lalu
hura-hura di depan panggung, zumba selama tiga jam bersama Moshi Love dan DJ
Yasmine.
Gue yang akhir-akhir
itu memang merasa nggak baik-baik aja pun memanfaatkan momen itu dengan baik. Gue
mengekspresikan diri gue sebagaimana dia perlu. Gue membiarkan diri gue bebas
aja malam itu. Nggak perlu ditahan-tahan, nggak perlu pura-pura. Buat apa?
Gue menikmati setiap musik
yang dimainkan, meski gue nggak begitu suka beberapa pilihan lagu dari Moshi
Love. Gue menari dan teringat kembali ke masa-masa dulu saat training di
Asiaworks. Setiap habis graduation pasti kita senang-senang, happy-happy dengan
menari bersama. Dan lagunya pun itu-itu saja sampai gue hapal.
Teman-teman lari gue,
nggak cuma empat orang tadi, tapi banyak lagi yang lainnya. GBK Night Run yang
identik sama jersey warna kuning menterengnya selalu menjadi pusat perhatian. Ditambah
lagi dengan kerusuhan kami setiap ada panggung. Jelas, banyak mata yang tertuju
ke situ.
GNR ini tuh komunitas
lari yang asik banget sih menurut gue. Gue suka banget sama mereka.
Orang-orangnya tahu bagaimana cara bersenang-senang dan mereka tuh chill parah. Makanya, gue suka. Cocok aja gitu.
Malam itu juga gitu. Setelah
kita semua selesai lari, kita berkumpul tepat di depan panggung, paling depan
dan menikmati musik bersama, menari bersama. Gue yang belum pernah karaokean
sama mereka semua, mereka nggak tahu kemampuan menari gue bagaimana. Ha ha ha
ha. Ya, gue kan bodo amat ya, jadi ya sudah, nari mah nari aja. Dan… tidak
sedikit dari mereka yang terkejut. He he he he. Apakah ini sebuah pencapaian
yang patut dibanggakan? Entahlah.
Yang jelas, malam itu energi
gue nggak ada habisnya. Nggak ada capeknya sama sekali. Yang lain pun sampai
heran, kok gue nggak berhenti-berhenti ya? Sepanjang kedua DJ itu memainkan
musiknya pun gue terus menari. Sampai Alfi bertanya, “Ini bocah baterainya
nggak habis-habis. Tombolnya dimana sih?”
Seru banget pokoknya
ya joget-joget bersama DJ yang cantik-cantik itu. Mereka jadi inspirasi lainnya
untuk membentuk tubuh menjadi indah dan ada lekukannya. Semoga setelah ini gue bisa
lebih bertekat untuk latihan, nggak hanya mengandalkan lari tapi juga
workout-workout lainnya.
Capek zumba tiga jam
nonstop dan entah berapa botol air mineral yang gue habiskan, gue pun mulai
resah dan nggak nyaman dengan baju yang sudah lepek basah kuyup penuh keringat
dan air mata. Setelah adegan foto-foto, gue pun memutuskan untuk ke kamar mandi
dan ganti baju. Baru saja menenteng tas, baru saja mengambil beberapa langkah,
gue mendengar nama gue dipanggil.
“Zakia Liland Fajriani”.
Hah? Apaan itu? Kok nama gue dipanggil? Benar nggak sih itu nama gue? Gue
bertanya-tanya ke teman-teman yang lainnya. Mereka nggak begitu mendengarkan
jadi nggak tahu. Akhirnya, gue pun mengambil waktu dan mendengarkan kembali.
“Zakia Liland Fajriani”
Benar, ini benar nama gue. Nggak lama pun nama Michelle dipanggil. Kami pun
berlarian menuju panggung. Agak sedikit bingung karena tas harus diletakkan
dimana. Agak panik dan sedikit kalang-kabut juga sebenarnya.
Nama kami diulang
beberapa kali lagi. Sudah berada di depan panggung, gue dengan hebohnya
mengangkat tangan, memberikan tanda kalau gue adalah orang yang mereka panggil
namanya. Gue dan Michelle pun ke samping panggung dan kemudian naik. Kami berdua
diberi kaos finisher kategori HM. Lalu memakainya dan naik ke podium.
Rasanya gimana? Wah,
gila sih! Di luar dugaan. Siapa yang menyangka gue bisa naik podium? Gue pun
nggak. Berani bermimpi pun nggak. Gue masih ngerasa bukan apa-apa, bukan
siapa-siapa. Gue masih jauh banget dibandingkan yang lain. Gue masih ngerasa
kalau gue ini anak bawang.
Tapi luar biasa.
Benar, luar biasa! Di atas podium gue nggak bisa berhenti senyum. Senyum gue
lebar banget kali ya kayak kuda. Rasanya tahu nggak sih? Gue pingin koprol aja
gitu! Ah! Sayang nggak bisa. Pokoknya senang banget lah. Gila!
Sambil menunggu
panitia menyiapkan hadiah untuk kami, gue bisik-bisik ke Michelle, gue masih
nggak percaya. Tapi sumpah ya, jawaban Michelle tuh bijak banget. Pendek,
sederhana. Dia bilang gini, “Tenang, Zak. Tuhan nggak tidur”
Momen malam itu
menjadi jawaban bagi diri gue sendiri. Dua minggu sebelumnya gue nggak bisa
berlari sama sekali. Sebelumnya juga, gue merasa sudah mendapatkan jawaban atas
apa yang gue cari dan merasa esensi berlari gue pun terkikis. Belum lagi
masalah kontrak yang akan habis di akhir tahun ini. Gue mencari-cari alasan
lain untuk tetap berlari.
Gue yang merasa tidak
baik-baik saja, gue yang merasa lemah pun hampir menyerah, hampir gue memutuskan
untuk berhenti berlari. Sudah, sampai sini saja, gue pikir begitu. Tapi
ternyata, Allah punya jawaban lain. Ia tunjukkan kalau gue bisa lebih dari ini.
Kalau, mungkin, gue bisa menginspirasi orang lain.
Zakia dikenal sebagai
seorang yang drama. Nggak jarang gue juga diremehkan dari banyak orang. Cuma,
malam itu, Alhamdulillah, gue bisa tunjukkan kalau gue punya hasil, nggak
menang drama doing. Gue bisa kasih lihat orang-orang soal hasil komitmen,
tanggung jawab, persistensi dan kerja keras gue. Usaha tidak akan mengkhianati
hasil, kata JKT48 mah gitu.
Pulang dari QBig BSD
sana, gue merasa sangat bahagia, senang dan bangga sama diri gue sendiri. Sebuah
pencapaian lain berhasil gue buat di tahun ini. Dengan kondisi yang masih sendiri
dan jomblo ini, ternyata gue mampu untuk mengembangkan diri jauh dan lebih jauh
lagi.
Tapi, jangan lupa,
masih ada satu PR lagi yang perlu diselesaikan. Balke test keesokan harinya. Oh
bukan! Balke test di sore hari. Karena gue sampai di kosan sudah lewat tengah
malam saat itu. Artinya, sudah hari Minggu. Tinggal beberapa jam lagi menuju
balke. Bagaimana ini? Bisa
lebih baik dari balke pertama atau nggak? Bisa maksimal atau nggak? Bisa lebih
baik dari race Indonesia Night Run atau nggak?
Banyak pertanyaan yang
menghantui dan membebani. Sebuah tanggung jawab lainnya yang harus dibuktikan. Tapi
sebelum itu, yang pertama harus dilakukan adalah tidur terlebih dahulu. Istirahat
dulu. Baru kita cerita lagi tentang Balke Test minggu lalu.
0 komentar