Dari Aplikasi Dapat Rekomendasi
Senin, April 13, 2020
Sudah satu bulan gue berada di rumah tanpa pekerjaan. Kembali menjadi pengangguran setelah di-PHK di bulan sebelumnya, gue kembali harus berjuang dan bersaing dengan para pencari kerja lainnya, baik mereka yang baru saja lulus dari pendidikannya, mereka yang mencari peruntungan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi atau yang sama seperti gue, mencari pekerjaan untuk kembali bekerja dan mampu membiayai penghidupan.
Diberhentikan sejak tanggal
23 Maret,
lamaran pekerjaan pertama gue terkirim pada tanggal 29 Maret, tepat di hari
ulang tahun adik gue yang besar, yang sialnya gue nggak ingat hari itu. Tepat
hari ini, ketika gue menulis ini, 13 April 2020 adalah hari keenam belas dalam
fase pencarian kerja gue. Sampai dengan hari ini, total 102 lamaran pekerjaan
yang sudah gue kirimkan. Gue pun, Alhamdulillah, sudah berhasil mendapatkan
tiga panggilan untuk wawancara secara daring. Cukup cepat atau bahkan terlalu
cepat untuk kondisi dunia dengan perekonomian yang sedang melambat saat ini. Jauh
di luar dugaan untuk tingkat optimisme yang rendah karena banyaknya PHK di
sana-sini.
Namun, ada cerita unik dari
proses pencarian kerja gue kali ini. 102 lamaran pekerjaan yang gue kirimkan,
3-4 di antaranya adalah lamaran pekerjaan yang disertai dengan referensi. Hampir
empat persen di antara keseluruhan, cukup banyak dibandingkan fase sebelumnya
yang gue nggak punya dan mendapatkan referensi atau rekomendasi sama sekali.
Lucunya, semua rekomendasi
tersebut bukan gue dapat dari rekan kerja gue di masa lalu maupun kantor
terakhir gue yang bangkrut itu. Semuanya, gue dapatkan dari aplikasi kencan
daring. Terkejut? Sama, gue juga. Nggak terbayang sebelumnya gue bisa
mendapatkan channel dari sana.
Siapa yang sangka, berawal
dari niat untuk mencari penghiburan di tengah kesibukan kekasih yang sibuknya
luar biasa, tanpa ampun, melebihi kesibukan wartawan yang sebelumnya gue jalani
dan gue tahu, gue membutuhkan teman mengobrol. Aplikasi kencan daring kenamaan
di Indonesia, kalian tahu pastinya. Iya, itu yang Ardhito Pramono menjadi
bintang iklannya, yang sekarang juga iklannya ada di mana-mana, bahkan di depan
FX Senayan sekali pun, tempat gue biasa lari. Tinder, aplikasi kencan daring
yang sudah gue kenal sejak beberapa tahun lalu saat masih di bangku kuliah. Aplikasi
yang dikenalkan oleh seorang sahabat yang lelah melihat gue menangis sesunggukkan karena
seorang pria yang gue suka. Namun, dia nggak. Kasihan.
Kembali memasang perangkat
lunak tersebut di ponsel, aplikasi berlogo api dengan latar belakang berwarna merah
muda itu menjadi percobaan pertama. Berharap akan bertemu satu-dua orang yang
cukup menyenangkan untuk diajak berbincang. Sayangnya, tak semudah dan semulus
yang dibayangkan. Gue terlalu lelah dan sakit mata untuk melihat pilihan yang
muncul di layar ponsel gue, tidak sesuai harapan. Jempol pun lelah terus
menggeser foto-foto profil yang mencuat ke sebelah kiri layar. Gue menyerah
dan berusaha mencari pilihan lain.
Selain Tinder, gue
sebelumnya pernah mencoba aplikasi kencan daring lainnya. Aplikasi yang
satu ini memiliki logo rubah dalam versi tsum-tsum,
iklannya pun ada di televisi. Promosinya cukup menggiurkan karena menjanjikan
akan mempertemukan lo, penggunannya dengan mereka yang berasal dari Negeri
Gingseng. Siapa yang nggak tergoda? Gua pun, sama.
Sayangnya, iklan dan
kenyataan jauhlah berbeda. Sangat berbeda lebih tepatnya. Jauh dari apa yang diharapkan. Jarang sekali
gue bertemu oppa-oppa idaman
perempuan Indonesia di sana. Lebih banyak kokoh-kokoh-nya.
Itu pun tidak menjamin kalau mereka menggunakan foto yang sebenarnya. Nggak ada yang tahu kalau
ternyata mereka adalah alien. Intinya, aplikasi ini nggak meyakinkan buat gue. Selain, memang
nggak ada yang berhasil membuat gue tertarik dengan apa yang dihadirkan
algoritma buat gue.
Kecewa dengan Tinder dan
enggan kembali mencoba Tantan. Gue memutuskan untuk melakukan sebuah
penelitian sendiri. Berbekal kemampuan mencari gue di mesin pencari kebanggaan
masyarakat satu Bumi, Google. Ditambah dengan pelajaran yang gue dapat dari bos
gue di kantor yang kemarin; memilih dan menggunakan kata pencari yang tepat
agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Gue pun mulai mengetik di
kolom pencarian Google sambil rebahan di kasur kecil kosan dengan udara yang lembap
minta ampun itu. “Dating apps paling
jitu di Jakarta”. Enter! Google menampilkan hasilnya.
Saat memilih kata pencari
di atas, gue berpikir harus detail; yang menggunaan aplikasi kencan daring
bukan cuma gue -- orang Jakarta -- tapi banyak banget manusia lain di dunia yang fana ini yang
melakukannya. Jadi, menjadi spesifik adalah sebuah kewajiban bagi gue. Toh,
demografi tiap negara bahkan kota pun punya karakternya, sendiri ‘kan yang
kemudian memunculkan preferensi tersendiri. Nggak akan sama pengguna aplikasi
kencan daring di negaranya Donald Trump dengan negara yang dipimpin oleh Luhut
Binsar Panjaitan ini. Eh?
Gue membuka satu-dua
artikel yang menjadi hasil pencarian teratas Google. Satu situs daring yang namanya
gue kenal, salah satu tempat Abang gue melamar pekerjaan. Ia sempat dipanggil untuk wawancara di sana. Namun,
belum ada berita baik lanjutan setelahnya, sampai dengan saat ini. Karena tahu
yang bercampur dengan kepo, gue pun memilih artikel tersebut, dari jalantikus.com.
Nama yang menurut gue cukup norak tapi ya udahlah
ya.
“10 Aplikasi Cari Jodoh
Terbaik dan Terpopuler Gratis 2020, Anti Jomblo!”, judul artikelnya begitu tapi
gue nggak peduli-peduli amat sih, nggak memperhatikan juga. Gue langsung scroll down layar ponsel gue untuk
mengetahui aplikasi apa saja yang masuk daftar. Tentu saja ada Tinder di sana. Malah,
di peringkat pertama, paling atas. Di artikel ini, penulis menjelaskan
kelebihan dan kekurangan dari tiap-tiap aplikasi dan gue pun membacanya satu
per satu dengan cukup teliti. Sampai ada satu aplikasi yang menarik hati karena
gue anggap cukup unik.
Bumble berada di peringat
nomor tujuh di artikel ini, cukup jauh, agak ke bawah, bahkan berada di bawah
Setipe --
aplikasi kencan daring asli Indonesia yang dibuat oleh suami Titi Kamal yang
tampan, Christian Sugiono. Hal yang menarik hati gue kepada Bumble, bukan cuma
warnanya yang lucu, kuning, menggambarkan logonya, bumble, lebah. Juga, karena ciri khasnya dimana perempuan yang menggunakan
aplikasi ini menjadi orang yang pertama kali memulai percakapan. Itu hukumnya
wajib, nggak bisa ditawar lagi menjadi sunah apalagi mubah. Nggak, nggak bisa.
Sebelum gue mengunduh
Bumble, gue menyelesaikan sesi membaca gue. Ketika gue scroll sampai ke bawah, gue cukup terkejut bahwa ada juga aplikasi
cari jodoh seperti ini khusus untuk agama tertentu, misalnya Islam dengan
konsep taarufnya. Ada juga yang membuat untuk agama Kristen. Boleh juga, pikir gue.
Gue pun mengunduh Bumble di
ponsel gue melalui Google Apps Store untuk Android. Mulailah peruntungan gue
terhadap percintaan dan kisah romansa gue melalui aplikasi ini. Penasaran juga,
apakah gue akan cukup beruntung kali ini karena menggunakan aplikasi yang lain.
Orang yang membuat gue
berakhir di aplikasi ini adalah orang yang kemudian menjadi inspirasi untuk
memaksimalkan potensi gue di sini. Ya, kekasih hati yang juga gue temui dari
aplikasi kencan daring sebelumnya,
Tinder. Di
awal perkenalan, kami pernah membahas soal profil gue. Kami
bertukar angka, seberapa banyak match
yang masing-masing kami miliki. Punya gue nggak begitu banyak, hanya 20-an kalau nggak salah. Sementara
dia, bisa sampai 60 orang. Angka yang besar hasil dari selalu menggeser ke kanan.
Curang sekali, pikir gue.
Waktu itu, dia bilang,
mungkin gue bisa memiliki match yang
lebih banyak kalau saja gue nggak memasang foto gue yang sedang tidur kelelahan
dan sangat mengantuk saat liputan di Kemlu. Tentu saja itu setelah jam makan
siang yang ditambah dengan dinginnya AC Ruang Palapa sangat membuai gue yang
memang dasarnya sudah ngantukan. Ia
pun menambahkan opininya yang melihat itu sebagai sesuatu yang konyol.
Padahal, gue memilih foto tersebut bukan tanpa alasan.
Gue yang selalu merasa diri gue adalah orang yang jujur dan otentik dengan
senang hati menampilkan diri gue seada-adanya tanpa mengada-ada. Di kala banyak
orang hanya menunjukkan sisi terbaiknya di hadapan orang banyak, gue memilih
untuk menampilkan semua sisi gue sebagai seorang manusia yang ditakdirkan
sebagai perempuan.
Ketika
nggak sedikit orang akan melihat perempuan haruslah cantik, anggun dan ayu, gue
menampik hal itu. Gue nggak mau hanya menampilkan kecantikan sebagai perempuan,
yang sebenarnya gue pun nggak merasa cantik-cantik banget. Tapi ya, bukan
berarti nggak cantik ya. Cantik aja, nggak banget. Paham kan?
Gue
lebih memilih menunjukan sisi otentik gue, yang mana gue merasa diri gue ini
cukup ceria, bersemangat dan rada konyol juga. Selain ya, cukup merasa cerdas dan
intelek juga. Makanya, ada foto gue di perpustakaan atau ketawa-ketawa sambil
pegang buku juga. Hanya saja, ini nggak berlaku buat mantan gue yang satu itu. Sayang
sekali.
Jadi,
di kali pertama gue menggunakan Bumble, strategi gue pun berbeda. Hanya foto-foto
terbaik dengan menampilkan sisi tercantik gue yang akan gue pilih dan pasang
sebagai foto profil. Sebuah cara untuk menguji teori mantan gue itu, apakah
bekerja dengan baik atau tidak.
Nggak
lupa untuk membuat bio yang menarik
agar banyak menggeser foto gue ke kanan. Dan yang gue pilih adalah …
maintaining relations is tiring, but what am I doing here?
ultimate dream is being a writer until I choose writer for my Sims
career. make content every day, sometimes make me sick and bored with it.
blogging and reading in the spare time. Goodreads geeks. running to seek
dopamine and endorphins.
Kalimat
pertama sengaja gue pilih untuk memperjelas posisi gue selama menggunakan
aplikasi itu bahwa di sana, ya, hanya mencari teman. Bukan lebih dari itu. Sekaligus,
menjadi penanda kalau gue bukan orang yang cukup baik dalam menjaga sebuah
hubungan untuk waktu lama karena gue merasa hal tersebut cukuplah melelahkan
dan lumayan rumit. Gue agak malas sebenarnya. Di dalam kepala gue, menjaga
hubungan adalah kerap berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Itu tidak
benar-benar mudah buat gue meski gue adalah ekstrover.
Sisanya,
hanya deskripsi pribadi soal siapa gue. Kombinasi dari hal yang baru saja gue
sadari beberapa waktu sebelumnya tentang betapa gue sangat mencintai menulis. Sampai kalau main The Sims gue pun akan membuat karakter gue menjadi penulis. Pekerjaan
yang membosankan untuk dimainkan di sana.
Dilanjutkan
dengan keluhan gue yang setiap hari membuat konten. Sebelum menjadi social
media officer, rasanya gue masih baik-baik saja dan masih semangat-semangat
saja untuk membuat konten pribadi gue, setidaknya di Instagram. Namun,
setelahnya gue merasa muak karena harus berurusan dengan hal tersebut. Di jam
kerja gue harus membuat konten untuk klien, di sela-selanya gue memikirkan soal
konten pribadi gue sendiri. Nggak mudah-mudah amat tapi ya ... tetap saja mikir.
Untuk
modal awal, hanya itu yang gue isi di profil. Kemudian memulai peruntungan yang
sebenarnya dengan mulai melihat seperti apa lelaki yang menggunakan aplikasi
ini. Sekali dua kali menggeser beberapa foto ke kanan. Akan tetapi, nggak
sedikit juga yang gue geser ke kiri. Lebih banyak malah.
Dalam
perjalanan menggunakan aplikasi ini, gue mengalami hal yang berbeda, aplikasi
ini menawarkan hal yang berbeda. Setidaknya, gue menemukan banyak orang bekerja
di bidang yang sama dengan gue. Ini yang kemudian menjadi menarik. Gue pun
mengisi kolom pekerjaan dan pendidikan gue.
Nggak
benar-benar tahu sebenarnya posisi yang gue jalani di kantor itu apa, gue pun
memilih content creator sebagai diksi
paling tepat untuk menggambarkan posisi gue saat ini. Awalnya, gue nggak
benar-benar menyebutkan dimana gue bekerja. Hanya di industri kreatif, tulis
gue. Namun, seiring berjalan waktu gue menemukan banyak juga sobat ahensi di
sana. Gue pun mengganti kantor gue dengan agensi digital agar memudahkan mereka
yang punya ketertarikan yang sama kayak gue.
Untuk
pendidikan sih, gue malas banget ya untuk menuliskan nama kampus gue dengan
lengkap dan jelas. Buat apa? Setelah bekerja setahun lamanya, gue merasa lulus
dari mana nggak penting-penting amat. Toh, kampus gue bukan kampus besar
kenamaan yang dikenal banyak orang. Pengaruhnya pun nggak besar buat gue. Gue
pun bisa ada di industri ini berkat hobi gue menulis sih sepertinya bukan
karena almamaternya. Jadi, gue hanya menulisnya sebagai Kampus Tercinta dan
itu ambigu, gue tahu. Makanya, gue pilih itu.
Lalu … alasan gue menggunakan aplikasi ini pun berubah seiring dengan proses penggunaannya. Nggak lagi sekadar mencari
teman untuk berbincang bersama tapi untuk membuat koneksi dan belajar dari
teman-teman yang berasal dari di bidang yang sama. Meski seminggu setelah gue
memasang aplikasi ini di ponsel gue kembali sendiri, gue nggak benar-benar
ingin kembali mencari pasangan melalui aplikasi. Rasa percaya gue nggak setinggi
itu.
Pengalaman
adalah guru terbaik dan karena itu gue menjadi jauh lebih realistis. Berkenalan
dengan orang yang benar-benar asing. Dua manusia yang awalanya nggak tahu kalau
satu sama lain sama-sama tinggal di Bumi atau di ibukota negeri ini, kemudian
merajut kasih? Benarkah? Yakin sekali akan bekerja dengan baik? Gue cukup
antipati soal yang satu ini.
Toh,
pengalaman juga yang mengajarkan gue bahwa memfokuskan tujuan menggunakan
aplikasi kencan daring dengan sungguh-sungguh untuk mencari pasangan abadi
adalah sesuatu yang membuat letih hati. Gue nggak lagi mau mengulangi kisah
sedih yang sama. Jadi, kali ini mari mulai dengan sesuatu yang sederhana,
pertemanan. Kalau pun nyaman satu sama lain dan bisa lebih dari apa yang
direncanakan di awal, itu lain ceritanya. Proses perjalanannya pun akan menjadi
lebih panjang dan cukup mengenal satu sama lain, bukan?
Lebih
dari sebulan gue menggunakan Bumble dan Tinder di waktu yang bersamaan, gue
mendapatkan empat referensi dan rekomendasi dari tiga orang berbeda. Satu dari
Tinder. Sebuah lowongan kerja yang kenalan gue ini dapat dari temannya untuk
sebuah aplikasi pembayaran daring berlogo merah milik pemerintah. Itu loh yang
ada di tap gate stasiun, yang bisa bayar
pakai QR code. Tahu ya?
Loker
itu nggak dia ambil karena dia sedang menjalankan bisnisnya sendiri. Kenalan
ini pun bilang temannya menawarkan posisi copywriter
tersebut karena cukup khawatir, bahasa halusnya, bahasa kurang halusnya,
kasihan, karena bisnisnya masih stagnan. Sebuah bentuk kepedulian sih
sebenarnya. Namun, akhirnya kenalan ini menawarkannya ke gue dan
dipersilakan untuk menggunakan namanya sebagai referensi. Gue pun berterima
kasih.
Tiga
referensi lainnya gue dapatkan dari kenalan Bumble. Pertama adalah informasi
lowongan kerja di kantor salah sobat ahensi. Kantornya yang berada di Kemang
ternyata sedang membuka lowongan kerja, gue pun mengeceknya dengan berkunjung
ke situs agensi tersebut. Benar saja, tersedia lowongan untuk lima posisi berbeda. Kembali gue menemukan kesempatan untuk menjadi
copywriter. Namun, di saat yang sama
terbuka juga kesempatan untuk menjadi art
director.
Masih
baru di dunia agensi, gue masih kurang mengerti posisi-posisi ini. Gue pun
membaca deskripsi yang tertera. Menjadi copywriter dibutuhkan pengalaman
setidaknya dua tahun. Namun, tidak begitu dengan art director. Lebih dari itu, gue tertarik dengan membuat dan
mencari ide untuk berbagai konten yang ditawarkan. Terlebih, salah satu
syaratnya pun berpengalaman membuat copy
di media sosial. Gue pun merasa cukup percaya diri untuk posisi yang satu ini. Kemudian,
gue mengirimkan lamaran via surel dengan menyisipkan nama teman yang memberikan
informasi ini. Semoga ada keberuntungan di sini.
Satu
lagi kenalan Bumble yang memberikan dua referensi sekaligus. Luar biasa sekali!
Pertama adalah untuk kantornya sendiri, yang gue baru tahu kalau membutuhkan
seorang senior copywriter sekaligus social media specialist di saat yang
bersamaan. Gue yang belum sempat dan nggak terpikir untuk mengecek loker di
e-commerce penyedia transportasi dan akomodasi berwarna oranye ini pun langsung
mengeceknya. Benar saja. Ada.
Kenalan
gue yang ternyata mantan jurnalis di grup media basis Palmerah, kantor idaman
gue sejak kecil. Dulu saat masih kecil maunya jadi editor biar bisa dapet buku gratis atau seenggaknya ya diskon karyawanlah.
Maupun untuk bisa membaca buku sebelum ia ada di pasaran. Rasanya menyenangkan. Namun,
untuk bisa masuk ke sana tidak semudah yang dibayangkan dan diimpikan anak muda!
Gue
sejak tahun lalu selalu menguji peruntungan untuk melamar pekerjaan di sana
dengan berbagai posisi yang dipilih. Sayang sekali, nggak ada panggilan untuk
wawancara sama sekali. Nggak usahlah itu. Untuk lolos seleksi Kalibrr aja
susahnya minta ampun. Saat ini pun gue sedang mencari peruntungan. Berharap
hasilnya akan berbeda karena sudah menjadi alumni media online nasional tercepat meski tetap sering dicibir oleh warganet.
Kenalan
gue yang satu ini memberikan informasi dengan sangat jelas sebenarnya. Saat itu
gue membaca dan menanggapinya dengan tidak tepat. Sebuah kebiasaan buruk kalau
pikiran lagi kalut, banyak yang dipikirkan di waktu bersamaan membuat gue
hilang fokus dan nggak benar-benar grounded.
Akhirnya, gue melamar untuk posisi yang pertama kali gue temukan dari hasil Googling, senior copywriter.
Satu
lagi referensi yang gue dapat dari kenalan yang satu ini adalah untuk posisi copywriter di sebuah perusahaan farmasi.
Kalau yang ini, gue sudah melakukan lamarannya sebelum berkenalan dengan beliau
ini. Namun, karena gue bercerita soal mendapatkan jadwal wawancara, beliau ini
pun memberitahukan bahwa ada seorang temannya yang bekerja di sana dan namanya
bisa dijadikan referensi.
“Nanti
kalo misalnya ditelepon bilang aja referral dari Ina-ini-inu, desain grafis di Kalbe,” katanya begitu.
Wah, rejeki apalagi ini? Pikir gue tertegun mendengarnya. Tentu saja
berterima kasih setelahnya. Gila kali nggak terima kasih mah? Nggak tahu diri
namanya.
Lamaran
kerja yang satu ini adalah yang sedang mengalami proses bersama dua lainnya. Ia
menjadi satu-satunya lamaran dengan referensi yang sudah masuk tahap wawancara.
Benar saja, referensi yang gue pakai ini benar-benar dekat dengan user yang
mewawancari gue. Ketika gue sebut nama temannya kenalan gue ini, mereka
langsung ber-oooh ria.
“Ada
yang ingin ditanyakan?” Sebuah pertanyaan wajib saat wawacara kerja.
Bukan
pertanyaan yang keluar dari mulut gue, melainkan sebuah pemberitahuan kalau gue
mendapatkan informasi lowongan kerja ini dari referensi yang gue punya.
“Mmm …
Jadi sebenarnya saya mendapatkan informasi mengenai lowongan kerja ini dari Mas
Ina-ini-inu. Dia desain grafis.”
“Oooooooooooooh!”
reaksi mereka serentak.
Dilanjutkan
dengan pertanyaan, “Jadi, kamu ada hubungan apa dengan Ani-ina-anu?” mereka menyebutkan nama panggilan temannya kenalan
gue.
Gue
pun tertawa mendengar pertanyaan ini. Pertanyaan itu pun konteksnya bercanda
sebenarnya. Gue tahu.
“Jangan-jangan …”
Mereka melanjutkan dengan jenaka.
“Jadi,
Mas Ina-ini-inu itu temannya teman
saya. Teman saya dulu kerja di Kompas buat majalahnya. Nah, mereka temenan.” Jawab gue tenang. Jawaban yang
sudah dipersiapkan sebelumnya.
Para
user yang mewawancara gue pun
mengangguk-angguk sambil mengamini apa yang gue katakan. Mereka berdua memang sudah
berkawan sejak di majalah. Kawan dekat. Keduanya pun pernah membuat Podcast
bersama dan gue pernah mendengarkannya. Makanya, ketika nama panggilan Mas Ina-ini-inu disebut gue nggak kaget. Lupa saja untuk menyebut namanya demikian. Toh, ini kan wawancara kerja ya, jadi
bersikap formal nggak salah juga.
Jadi .. Begitulah
perjalanan penggunaan aplikasi kencan daring gue yang berujung pada rekomendasi
dan referensi. Dari sini gue belajar kalau mau membuka diri, apa pun bisa
terjadi. Nggak perlu skeptis dan menghakimi soal aplikasi kencan daring itu
sendiri, nggak juga perlu hanya fokus untuk satu tujuan yang nggak pasti-pasti
banget juga. Iya, yang namanya jodoh itu. Toh, jodoh tuh nggak cuma pasangan.
Bertemu dengan berbagai kenalan baru seperti yang gue alami ini pun termasuk
perihal jodoh.
Entahlah,
ini terlambat atau nggak. Namun, gue baru menyadari kalau sebagai manusia, gue
tentu saja membutuhkan bantuan orang lain. Pemikiran gue di masa lalu yang mau
melakukan semuanya sendiri, membangun hidup mulai dari nol sendiri tanpa campur
tangan orang lain sebagai pembuktian kalau gue ini bisa dan mampu, pun tertantang
dan akhirnya tersadarkan.
Sikap
getir gue yang melihat kesuksesan orang lain melalui jalur cepat dengan jaringannya,
gue menganggapnya sebagai sebuah bentuk nepotisme. Gue nggak suka soal itu. Kemudian,
gue memandang sebelah mata soal pentingnya membangun jaringan. Padahal, nggak
semuanya yang didukung oleh jaringan adalah bentuk nepotisme.
Apa
yang gue alami saat ini misalnya, mendapatkan beberapa rekomendasi dan
referensi nggak serta merta membuat gue lolos dengan mudah seperti yang gue
bayangkan. Tetap ada proses yang harus gue jalani. Tentu saja, ada uji
kompetensi untuk memastikan gue cocok mengisi posisi yang dibutuhkan. Gue pun
mendapatkan rekomendasi tersebut nggak sembarangan. Kenalan-kenalan gue ini,
gue yakin, melihat potensi yang ada dalam diri gue selain memang mereka berbaik
hati.
Akhirnya,
gue menyadari bahwa rekomendasi dan referensi hanyalah pembuka jalan. Namun,
bagaimana jalan itu terbuka kembali pada diri gue sendiri. Bagaimana gue
mempresentasikan diri gue di depan perusahaan yang mencari orang untuk mengisi
posisi terkait serta bagaimana gue meyakinkan mereka kalau gue adalah orang
yang pantas untuk itu. Tentu saja, nggak lupa, sisanya adalah soal kehendak Yang
Mahakuasa untuk menentukan.
Pada
akhirnya, manusia hanya bisa berencana, kan? Semesta pun akan mendukung hanya
jika sudah mendapat persetujuan Penciptanya. Jadi, ya begitulah. Nggak ada lagi
yang bisa gue lakukan selain berusaha. Semoga akan ada kabar baik dengan
segera. Semoga saja setelah lebaran gue tidak lagi menjadi pengangguran yang
harus berebut mendapatkan jatah Kartu Pra Kerja yang kontroversial itu. Semoga
saja. Mohon doanya ya, kawan-kawan semua!
1 komentar
makasih infonya gan, bermanfaat bgt. kebetulan ane lagi cari aplikasi cari jodoh
BalasHapus