The Attorney: Perjuangan Melawan Ketidakadilan
Selasa, Mei 12, 2020
Hari
kesekian karantina di kala pandemik korona. Gue sudah mulai kehabisan ide untuk
berkegiatan, salah satunya untuk perihal tontonan. Setelah beberapa hari yang
lalu gue selesai menonton series Netflix pertama gue, Money Heist, gue mulai
merasakan vibe yang berbeda ketika
kembali melanjutkan menonton drama Korea yang menjadi percakapan banyak orang
saat ini, The World of Married. Sebuah drama tentang perselingkuhan. Banyak
orang tertarik untuk menontonnya, salah satunya nyokap gue yang senangnya minta ampun ketika tadi baru saja
menontonnya di Trans TV. “Bagus banget! Beda sama yang lain. Pantas saja ramai
yang menontonnya.” Komentar beliau.
Gue
masih menonton drama tersebut sih hanya untuk menyelesaikan apa yang sudah gue
mulai dan biar nggak ketinggalan update-nya saja, apa yang akan terjadi antara
Sun-woo dan Tae-oh. Namun, gue tetap merasa bosan. Gue pun berimprovisasi lagi
untuk membuat sebuah rutinitas baru yaitu menonton film. Sudah lama juga sejak
terakhir kali gue streaming film. Nggak ada salahnya untuk menonton beberapa
film yang gue lewatkan saat penayangan di bioskop. Salah satunya adalah 1917
yang waktu lalu ramai diperbincangkan karena menjadi salah satu film yang
banyak dinominasikan di Oscar dan memenangkan beberapa kategori; sinematografi dan
tata suara terbaik.
Kemarin
gue menonton 3 Srikandi, 1917 dan Forrest Gump. Tiga film sekaligus, movie marathon. Hari ini cukup satu saja
yaitu The Attorney. Sebuah film Korea yang gue tonton dari Viu karena website streaming kebanggaan – yang baru
gue tahu beberapa waktu lalu – ada kendala di koneksi database-nya. Nyebelin! Kemarin
pun harus nonton 3 Srikandi karena nggak bisa langsung nonton 1917 dengan
alasan yang sama. Istilahnya, nonton di Viu dulu sampai nunggu koneksi database-nya betul.
Kembali
ke The Attorney yang gue tonton malam
ini ya. Sebuah film yang menceritakan tentang seorang pengacara bernama Song
Woo-seok yang memulai kariernya dengan tidak mudah. Ia direndahkan oleh
pengacara lainnya. Dikatai seperti sales karena
terus membagikan kartu nama kepada tiap orang yang ia temui. Ia pun dianggap
bodoh atas pilihannya untuk menjadi pengacara real estate. Ia dianggap mengambil tugas dari notaries. Padahal,
itu tidak bertentangan dengan undang-undang.
Woo-seok
dicerca tepat di depan wajahnya sendiri. Ia hanya mendengarkan para pengacara
itu mengejeknya dan menikmati makanannya. Namun, saat ia diperkenalkan dengan
koleganya, Kim Sang-pil, semua orang terdiam. Ia pun memperkenalkan dirinya
persis sebagaimana para pengacara itu mengejeknya. Setelah selesai, ia pun
melenggang pulang. Menurut gue, sikap Woo-seok itu keren banget sih karena ia
bisa langsung membalas orang-orang yang merendahkannya secara kontan di wajah
mereka semua. Caranya pun gue rasa cukup elegan. Tidak marah namun cukup
membuat mereka malu dan kesal di saat yang sama.
Pembalasan
Woo-seok terhadap ejekan dan cemoohan orang-orang padanya dulu serta kerja
kerasnya pun terbayar karena kejeliannya untuk melihat peluang, melakukan apa
yang tidak banyak dilakukan oleh kebanyakan pengacara. Gue saat menonton ini
agak khawatir sebenarnya karena Song Kang-ho – pemeran Song Woo-seok – identik dengan
Kim Ki-taek yang ada di Parasite. Lelaki licik nan bengis. Gue takut kalau
Woo-seok adalah karakter antagonis di film ini. Ya… Walaupun gue tahu kalau The
Attroney rilis lebih dulu di tahun 2013. Sementara, Parasite yang meraih
kemenangan besar di Oscar baru rilis 6 tahun kemudian di tahun lalu, 2019.
Sungguh
gue sangat tertegun melihat ketekunan Woo-seok. Sebuah gambaran yang kemudian
menampar gue lagi dan lagi untuk tidak menjadi pribadi yang malas, menyerah dan
menyalahkan keadaan. Ia hanya lulusan SMA namun memiliki cita-cita yang besar
dan tinggi, seorang pengacara. Ia pun kerja keras untuk itu. Belajar sambil
bekerja. Belajar dengan buku-buku bertumpuk di tempat kerjanya, sebuah lokasi
proyek pembangunan gedung. Ia pun bertahan di sana sampai larut malam. Gue?
Apa? Di depan laptop 2-3 jam untuk bekerja, mencari kerja, berkarya pun masih
banyak mengeluhnya. Sakit punggunglah, nggak fokuslah, bosanlah dan masih ada
sejuta alasan masuk akal lainnya hasil rekayasa otak ini.
Beruntungnya
Woo-seok adalah ia memiliki keluarga yang mendukungnya. Setidaknya, mertuanya. Saat
ia bekerja keras untuk mencapai mimpinya, fokus belajar, berusaha menghasilkan
sedikit uang, ibu dari istrinya membiarkan semua urusan persalinan ditanggung
olehnya. Tugas Woo-seok hanya perlu belajar dengan giat. Luar biasa! Nampaknya,
mertua Woo-seok ini menjadi idaman banyak orang atau setidaknya gue, manusia
yang selalu ingin dimengerti dan dipahami ini. Gue, manusia yang selalu ingin
diberikan kebebasan untuk memilih dan menjalani yang gue ingini.
Dalam
sekejap kantor Woo-seok ramai oleh banyak orang karena membutuhkan bantuan soal
masalahnya dengan real estate.
Seketika juga Woo-seok menjadi pengacara berhasil dan menghasilkan banyak uang.
Tiba-tiba menjadi kaya padahal sebelumnya hidup susah, ia dengan sigap meraih
hasil jerih payah yang ia bangun sejak lama. Sebuah apartemen di gedung yang ia
bangun di masa lalu, saat sulit dan mencari uang untuk bertahan hidup. Ia tahu
benar apa yang ia inginkan, yang mana, bahkan unit berapa. Ia bahkan berani
menawarkan harga 25% lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Luar biasa!
Siapa yang berani melakukan hal seperti itu? Orang kaya mah bebas.
“Aku
membangunnya dengan pasir. Aku membangunnya dengan batu bata satu per satu.” Cerita
Woo-seok pada istrinya saat ditanya mengapa membeli apartemen tersebut. Sebuah
apartemen yang langsung menghadap ke laut dengan angin yang sejuk dan sinar
matahari yang melimpah. Sangat sehat dan nyaman untuk keluarganya.
Sudah
mapan dengan pencapaiannya, Woo-seok tidak lupa akan utang yang ia miliki dari
lalu. Ia pun kembali ke sebuah restoran sup nasi. Restoran yang sama yang ia
datangi ketika dulu ia kelaparan setelah belajar di tengah malam. Kali ini ia
datang dengan keluarganya dan berniat membayar semangkuk nasi sup yang ia
tinggal kabur karena tidak punya uang.
Meski
awalnya pemilik restoran nasi sup tersebut tidak ingat dengan Woo-seok, ia bahagia
bisa bertemu dengan Woo-seok sekarang. Jelas dengan kondisi yang jauh berbeda.
Ia sudah sukses dan kerja kerasnya pun terbayarkan. Ia tak mau dibayar, tidak
mau diberi uang.
“Utang
masa lalu tidak perlu dibayar dengan uang, cukup dengan wajah saja.” Kata
Nyonya pemilik restoran sup nasi itu. Mereka pun kemudian bernostalgia dan
saling berkenalan dengan keluarga satu sama lain.
Menyenangkan
rasanya melihat karakter utama yang awal hidupnya dipenuhi dengan
ketidakberuntungan kemudian berhasil membalikkan keadaan dan menjadi seseorang
namun tidak melupakan dari mana ia berasal. Ia pun tetap ingin membayar
kewajibannya. Ia meminta maaf dan merasa bersalah atas tindakannya di masa
lampau. Bahkan, ia menjadikan restoran sup nasi tersebut sebagai tempat makan
siang favoritnya. Tak terganti, ia makan siang di sana setiap hari sampai
asistennya merasa bosan dan ingin menu makan siang berbeda. Malahan, ia
mengajak teman-temannya untuk makan malam di sana demi memperkenalkan Nyonya
pemilik restoran. Meski akhirnya membuat keributan karena terlibat sebuah
perkelahian.
Sebuah
perkelahian yang dipicu oleh aksi mahasiswa menentang pemerintah Korea Selatan
yang kala itu dipimpin oleh pemerintahan bersifat represif. Kala itu, pemerintahan
dijalankan setelah melalui proses kudeta militer. Rakyat tidak menghendaki hal
ini, maka mahasiswa pun mulai melakukan aksi protesnya. Sayangnya, ini menjadi
alasan pemerintah untuk melakukan penangkapan kepada mereka yang bersuara. Termasuk,
mahasiswa yang melakukan perkumpulan. Salah satunya adalah perkumpulan sebuah
klub buku yang dilakukan oleh Park Jin-woo, anak dari Nyonya pemilih restoran
nasi sup kesukaan Pengacara Song.
Ia
ditangkap atas tuduhan penyebaran ideologi komunisme. Berlatar di masa Perang
Dingin, tentu saja komunisme menjadi hal yang sangat sensitif bagi pemerintah
Korea Selatan. Terlebih, Semenanjung Korea menjadi salah satu medan pertempuran
dari perang ideologi ini. Saudara yang terpecah karena beda ideologi dan bahkan
belum berdamai sampai dengan detik ini. Komunisme begitu dekat, hanya
diseberang sana terlebih mereka masih dalam kondisi berperang dengan gencatan
senjata satu sama lain. Kecurigaan pastinya begitu besar. Terlebih, pemerintah
kala itu hasil dari kudeta, mereka pasti sensitif dengan segala bentuk kritikan
dari masyarakat.
Jin-woo
ditangkap secara paksa, disiksa untuk mendapatkan pengakuan. Ia dibiarkan
ditahan tanpa ada surat penangkapan maupun pemberitahuan kepada ibunya. Ia
bahkan tidak bisa dikunjungi oleh ibunya jika tidak bersama Pengacara Song.
Sebelumnya,
gue pernah melihat judul film ini disebutkan dan dibicarakan di Twitter.
Katanya, film ini cukup relevan untuk menggambarkan kondisi Indonesia hari ini.
Tipis-tipis dengan yang terjadi di masa Orde Baru dulu. Sedikit mengingatkan
pemerintah, bisa tiba-tiba hilang. Sedikit mengungkap kebenaran yang
sebenarnya, menjadi kritis bisa saja tinggal nama untuk dikenang tanpa ada
mayat yang ditemukan.
Bukan
bahasan baru lagi, ‘kan? Pemerintah hari ini pun tidak jauh berbeda. Kasus awal
yang menunjukkan dengan jelas kondisi ini adalah penangkapan
paksa Ananda Badudu karena melakukan penggalangan dana untuk mendukung demo
mahasiswa di depan Gedung DPR pada September tahun lalu. Paling baru, soal
penangkapan Ravio Patra beberapa waktu lalu atas dugaan penyebaran berita
onar. Maupun tiga
Aktivis Kamisan Malang yang ditangkap dengan alasan vandalisme dan
dikaitkan dengan Anarko.
Dari
tiga kasus yang gue sebutkan, gue paling mengikuti untuk kasusnya Ravio karena
sebelum kejadian itu pun gue baru saja mengikuti akunnya. Alasannya sederhana;
gue mendapatkan banyak informasi dang pengetahuan. Dia pintar menurut gue,
cerdas mungkin lebih tepatnya. Sebelum ditangkap, Ravio pun mengubah pengaturan
akun Twitter-nya menjadi privat dan memberi tahu kalau WhatsApp-nya diretas
padahal ia sudah melakukan pengamanan ganda. Ia dituduh menyebarkan pesan untuk
melakukan aksi bersama kelompok pro kekhalifahan. Lucu!
Kisah
Ananda Badudu maupun Ravio mungkin bisa disamakan dengan Jin-woo. Sayangnya,
Jin-woo harus tetap mengikuti persidangan dan dimanipulasi proses
penyidikannya. Ia dipaksa. Sistem pengadilan pun tidak memihak padanya, ia
dituduh pro komunisme karena buku yang dia baca. Padahal, para penyidik, hakim
dan jaksa pun tidak ada yang membaca buku tersebut. Familiar?
Indonesia
yang anti-PKI pun buku kekirian menjadi hal yang harus dijauhi. Kalau bisa mendapatkan
fatwa haram, mungkin akan diharamkan juga. Membaca Marxisme sama dengan
komunis. Padahal belum tentu. Gue kuliah di jurusan Hubungan Internasional. Ada
mata kuliah dasar namanya Teori Hubungan Internasional, salah satunya adalah
strukturalisme, asalnya dari pemikiran Karl Marx untuk menjadikan dunia ini
egaliter tanpa kelas. Lalu, apakah gue komunis? Nggak, ‘kan? Lucu deh!
Sama
lucunya seperti aksi
razia buku yang terjadi di Makassar tahun lalu. Bukan oleh pemerintah sih
tapi oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Brigade Muslim Makassar.
Mereka merazia buku yang dianggap berpaham radikal, salah satunya berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Magnis Suseno. Alasanya, untuk
membebaskan Makassar dari Marxisme dan Leninisme. Padahal, buku yang mereka
razia sebenarnya adalah kritik terhadap Marxisme itu sendiri.
Pribahasa
“Don’t judge the book from the cover”
ada benarnya juga. Meskipun harus dispesifikasikan lagi, tidak hanya sampul
depannya saja tapi juga judulnya. Katanya Muslim, padahal ayat pertama Al-Quran
yang turun itu perintahnya apa sih? Iqra.
Membaca. Baca dulu baru nilai, benar mengajarkan pemikiran Marx dan Lenin
nggak, kalau nggak ya nggak perlu begitu-begitu amatlah.
Pengacara
Song pun melakukan tugasnya dengan sangat baik, ketika ia membela Jin-woo ia
tahu betul kalau tugas untuk mencari bukti dan kebenaran ada padanya. Tidak
hanya membaca buku yang dijadikan alasan penangkapan Jin-woo satu per satu,
menghabiskan semalam suntuk untuk mengetahui isinya. Ia pun meminta verifikasi
dari pihak terkait mengenai profil penulis buku yang dituding sebagai penyebar
ajaran komunisme. Ia menghubungi Kedutaan Besar Inggris yang ada di Korea
Selatan untuk mengkonfirmasi kewarganegaraan E.H. Carr, penulis buku What is History? Ia bahkan melakukan
investigasi mandiri untuk mencari tempat penyiksaan Jin-woo sampai ia babak
belur.
Untuk
mendapatkan kebenaran memang nggak mudah, selalu ada pengorbanan dan perjuangan,
sebagaimana kutipan favorit gue bilang, “There
is no free lunch.” Kalau yang gue lihat dari Pengacara Song sendiri, dia
itu punya dedikasi, passion untuk membela yang benar. Ia pun kritis karenanya
ia melakukan riset yang mendalam, nggak sembarangan. Lagi-lagi, ini menjadi
bukti bahwa riset itu penting. Sama seperti inti dari webminar yang gue lakukan Jumat lalu, pesan dari pembicaranya untuk
sukses dalam melamar kerja; Riset! Riset! Riset! Perbanyak membaca, perbanyak
data.
Semakin
banyak data dan informasi yang dimiliki, semakin kita memahami apa yang sedang
dihadapi. Kita pun akan menjadi pribadi yang percaya diri. Kenapa? Karena kita
punya landasan yang pasti. Sama seperti Pengacara Song yang menggebu-gebu dan
agresif dalam membela Jin-woo, dia pegang data, dia bukan asal bicara. Dia pun
paham betul landasan hukumnya. Bagaimana ia menyanggah kesaksian Inspektur Cha
yang menyebalkan itu menjadi salah satu adegan favorit gue.
Saat
Inspektur Cha merasa berada di atas angin karena ada yang mendukungnya di
belakang layar, orang dengan kekuasaan tentunya. Soal ia yang mengaku kalau
melakukan semua tidak penangkapan tanpa surat adalah sesuatu yang legal berdasarkan
undang-undang keamanan nasional. Pengacara Song mendebatnya dengan mengatakan, “Apakah
undang-undang lebih tinggi dibandingkan konstitusi?” Tentu saja dengan emosi
yang membuncah.
Inspektur
Cha tidak menyerah, ia dengan arogansinya pun menyebutkan kalau ia
diperintahkan oleh negara. Mendengar jawaban ini, Pengacara Song semakin marah.
Ia mempertanyakan negara apa yang dimaksud, lalu mengutip sebuah pasal dari
konstitusi.
“Pasal
1 ayat 2 konstitusi, negara adalah rakyat. Apa pun yang dilakukan negara harus
sesuai dengan kehendak rakyat. Lalu, negara mana yang melakukan penyiksaan
seperti itu?!” Pengacara Song murka dan ingin memukul Inspektur Cha. Ruang
persidangan menjadi riuh dan kacau.
Itu
baru satu kebohongan yang dilakukan aparatur negara di persidangan. Masih ada
satu lainnya. Saat Pengacara Song berhasil menghadirkan satu saksi kunci,
Letnan Yoon yang bisa membuktikan penyiksaan yang dilakukan kepada Jin-woo dan
teman-teman. Sudah datang ke persidangan dengan seragam lengkapnya, sudah
membuka suara untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya. Ia pun dimanipulasi
dengan ‘dikondisikan’ telah melakukan tindak indisipliner dan akan ditindak oleh
Pengadilan Militer.
Itu
terjadi di hari terakhir persidangan. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Orang
yang menentang sistem pasti kalah dan selalu kalah. Mengapa? Karena ia
sendirian. Hanya ia yang berani melawan. Tanpa takut, tidak takluk meski sudah
dikutuk oleh banyak orang. Pengacara Song tetap berjuang sampai titik nadir. Hasilnya,
Jin-woo tetap ditahan dengan masa tahanan tiga tahun asalkan ia tidak melakukan
banding. Masalah Jin-woo berakhir di situ. Bukan berarti Pengacara Song juga
berakhir, berhenti, tidak.
Tahun
1987, ia memimpin sebuah aksi untuk mengenang mahasiswa yang meninggal saat
melakukan aksi. Masih berada di periode represif, ia pun mendapatkan dipaksa
bubar oleh petugas keamanan, anggap saja polisi. Mereka ditembaki gas air mata.
Pengacara Song tetap bertahan. Semakin banyak gas air mata yang mengepul,
Pengacara Song tetap di tempat dan meminta yang lain untuk melakukan hal yang
sama. Ia tidak bergeming, ia tidak berpindah. Sebuah tindakan heroik, menurut
gue. Keberaniannya tak turun sedikit pun.
Ia pun
ditangkap. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Kali ini banyak orang yang
berada di belakangnya, mendukungnya. Orang-orang membelanya. Mereka yang
namanya disebutkan satu per satu oleh hakim sebelum persidangan dimulai. Sebuah
hasil perjuangan dari berani bersuara membela yang benar.
0 komentar