Akhir-akhir
ini gue mendapati lingkaran pertemanan yang semakin membaik. Berawal dari
berkenalan dengan seorang pecinta buku, cinta banget dia sama buku sampai bisa
membaca 65 buku dalam satu semester. Dia pun membuat komunitas baca juga, namanya
Baca Bareng.
Sebenarnya
dia yang pertama kali menjangkau gue terlebih dulu dengan mengikuti gue di
Goodreads. Penasaran dengan siapakah dia, gue pun melakukan pencarian di
beberapa platform media sosial dan menemukan akun kepemilikannya. Semuanya
tentang buku, entah di Instagram maupun di Twitter. Terlebih di Twitter, dia
sangat aktif untuk berbagi soal buku, memberikan rekomendasi atau membuat
utas-utas menarik soal dunia perbukuan. Nama orang yang membuatku senang karena
mendapatkan teman baca baru dan semakin bersemangat untuk melahap semakin
banyak buku adalah Hesti.
Sampai
sekarang masih belum tahu bagaimana dia bisa menemukan gue di dunia maya ini.
He he. Belum gue tanya juga. Lupa. Tapi, akhirnya gue berhasil menemukan dia di
Linkedin dan mengirim pesan di sana. Rupanya, kami pernah bekerja di kantor
yang sama, kantor gue yang kemarin, agensi digital itu. Gue pun merasa
terkoneksi dan akhirnya itu yang membuat gue mengikutinya di berbagai media
sosial.
Gue
nggak bisa bilang kalau kami sudah cukup dekat tapi gue merasa sedang menuju ke sana. Ada
hal lain yang ternyata menghubungkan kami berdua, bukan hanya karena soal
kantor atau hobi, rupanya kami punya pengalaman serupa tapi tak sama. Kami
sama-sama pernah dan sedang menghadapi masalah percintaan yang akhirnya membuat
kami bisa seperti hari ini, menjadi lebih baik, menjadi lebih berdampak
terhadap sekitar lebih dari sebelumnya.
Gue
memilih lari sebagai pelarian. Sementara Mbak Hesti, memilih buku sebagai
pelampiasan maupun tempat ia kembali. Kami mengaktualisasikan diri melalui hobi
masing-masing, berbagi cerita dan semangat melalui keduanya. Kami punya
semangat dan energi positif dari sana.
Ajaibnya,
gue merasa menjadi pribadi yang lebih baik lagi setelah berkenalan dengan dia. Dia yang bilang kalau
bisa merasakan energi gue, gue pun merasakan hal yang sama darinya. Ini yang
kemudian membuat gue semakin bersemangat, yakin dan percaya diri untuk bersuara
lebih besar melalui tulisan gue, melalui cuitan gue di Twitter.
Hobi
membaca membuat seseorang percaya dan mengandalkan data. Gue sebenarnya nggak
pandai dan kuat-kuat amat soal data. Gue pun masih pemilih untuk membaca buku
nonfiksi yang menurut gue melelahkan, selain juga membosankan. Namun, gue
mencari cara lain untuk lebih mencintai pengetahuan dan mendapatkannya lebih
banyak.
Gue
juga belum bisa dikatakan sebagai orang yang rajin, jauh malah. Gue masih merasa
diri ini sangat amat malas. Masih sering menghabiskan waktu untuk menggulir
layar ponsel di linimasa Twitter, mengomentari banyak hal, dibandingkan
menghabiskan buku yang menumpuk atau menonton video-video maupun mendengarkan podcast-podcast
bermanfaat. Masih banyak waktu yang terbuang percuma dan sia-sia. Gue sadar.
Sayangnya, untuk memaksimalkan waktu yang ada masih belum optimal juga. Banyak
alasan.
Meski
begitu, akhir-akhir ini gue tergerak untuk lebih memilih konten yang gue
konsumsi. Lebih sedikit waktu yang gue habiskan di linimasa Instagram untuk
konten yang sebenarnya menurut gue nggak penting-penting amat atau nggak
berguna-berguna amat. Seringnya, mereka malah menambah pikiran dan beban
kehidupan yang sudah beban ini karena membanding-bandingkan kehidupan satu sama
lain. Nggak membuat termotivasi menjadi lebih baik, konten Instagram buat gue
lebih banyak menyedot energi dan membuat lelah.
Konten
visual di Instagram memang lebih mudah untuk memantik diri merasa khawatir
karena merasa hidup yang dijalani tidak sebaik atau semenyenangkan orang lain. Instagram
menyuguhkan lebih banyak konten kadang terasa palsu buat gue. Orang-orang
berlomba-lomba untuk terlihat bahagia, sukses dan menyenangkan. Padahal hidup
punya dua sisi, kan? Tidak hanya bahagia atau yang baik-baik saja. Pasti ada
sisi kelam dan sulitnya. Sayangnya, gue jarang sekali melihat itu di Instagram.
Akhirnya, gue melihat Instagram sebagai platform yang kurang manusiawi.
Sisi
tidak manusiawi lainnya dalam media sosial yang gue alami atau gue lihat
sendiri adalah Linkedin. Beberapa waktu lalu, di Twitter ramai membicarakan
soal pencitraan diri di platform satu ini. Berorientasi profesional, Linkedin
buat gue memang terasa intimidatif. Selain itu, ia juga membuat gue menahan
diri untuk berbagi dan beropini. Terkesan profesional, hanya mereka yang sudah
menjadi seseorang, sudah menjadi besar yang dirasa patut untuk mengunggah
tulisannya di sana.
Ini
yang menjadi pembahasan tersendiri di Twitter karena ada satu-dua orang, yang sebenarnya gue juga
nggak tahu mereka siapa, membuat pencitraan diri seakan mereka profesional.
Padahal mereka baru lulus juga. Anggap saja masih satu tingkat dengan gue meski
ya… gue sudah satu tahun bekerja sih. Cuma kan, masih belum merasa apa-apa,
masih bukan siapa-siapa. Nggak jauh beda dong harusnya?
Semalam
gue menemukan hal yang dimaksud, sebuah unggahan seorang fresh graduate yang
gue pikir sudah menjadi seorang profesional. Unggahannya bagus, menarik,
bermanfaat. Tapi, entah mengapa gue kecewa setelah membuka profilnya dan
menemukan bahwa dia seorang fresh
graduate. Merasa tertipu. Padahal dia tidak melakukan apa-apa. Ini hanya
masalah ekspektasi gue. Lagi-lagi dan selalu, soal gue dan diri gue.
Orang
tersebut pun melampirkan CV terbarunya. Gue lihat. Memukau… bagus, rapi dan
percaya diri. Entah iri atau hal lain, gue penasaran dengan rasa percaya diri
yang dia miliki. Dari mana asalnya, bagaimana dia bisa sepercaya diri itu. Gue
yang sudah bekerja pun tidak bisa sepercaya diri itu. Meski, tidak sedikit
orang yang bilang kalau tulisan gue cukup baik dan bisa dinikmati.
Pada
akhirnya, satu-satunya dan selalu menjadi tempat nyaman gue dalam bermedia
sosial adalah Twitter. Lebih dari sepuluh tahun gue aktif di sana. Mulai dari
gue masih berseragam putih-biru saat gue masih menggunakan Snaptu dan mencuit
di angkot atau bahkan di ojek menggunakan SMS, gue sampai hari ini masih berada
di platform berlogo burung itu.
Twitter
selalu menjadi rumah buat gue. Twitter selalu menjadi tempat pulang untuk gue.
Secinta itu. Twitter sudah menjadi bagian dari hidup gue sebegitu panjang,
hampir setengah hidup gue ada di sana dan akan terus begitu sampai nanti.
Berawal
dari menggunakan Twitter sebagai sarana mengekspresikan diri; menceritakan apa
yang dilakukan, curhat, sambat, ngomongin orang. Hari ini Twitter buat gue
adalah ladang ilmu. Merasa agak telat untuk menyadari itu, gue pun mulai
mengikuti akun-akun yang menurut gue memberikan manfaat. Gue pun berkomentar
dan beropini lebih banyak dan lebih sering dibandingkan sebelumnya.
Seseorang
pernah bilang, ikon tweet pada aplikasi
yang berbentuk pena bulu adalah ikon yang erat dengan keilumuan. Ini bisa diartikan bahwa tulisan yang ada di Twitter
diharapkan menjadi sesuatu yang berdasarkan dengan ilmu dan tentunya memberikan manfaat. Semakin
hari, gue semakin mengamini itu. Toh, buat gue, Twitter lebih nyaman
untuk dibaca dibandingkan membaca unggahan di Instagram dimana konten visual berisi penuh kata-kata dalam satu desainnya. Kalau hanya beberapa
kata atau satu kalimat, itu masih bisa gue baca tanpa merasa tertekan. Bila
lebih dari itu, rasanya melelahkan.
Ini
hanya soal preferensi. Gue tidak bilang kalau konten-konten tersebut buruk.
Hanya nggak sesuai saja dengan kepribadian gue yang lebih suka konten verbal
dibandingkan visual. Gue lebih suka membaca dibandingkan melihat. Mungkin, ini
juga yang membuat gue agak berat untuk mengkonsumsi konten dari Youtube yang
memaksa gue untuk melihat layar cukup lama. Gue lebih memilih Podcast dibandingkan
Youtube sebenarnya.
Cuma…
kalau ditanya lagi soal berapa banyak konten yang gue konsumsi dalam sehari, gue masih
merasa miskin dan kurang. Ini yang membuat gue terus merasa kecil, merasa belum
tahu apa-apa. Gue bukanlah orang yang bergerak dengan cepat. Ini yang sering
membuat kewalahan untuk menyusul perkembangan yang ada. Ini juga yang sering
membuat gue lelah. Entah memang guenya yang lemah makanya sedikit-sedikit
lelah.
Tapi
bener lho, gue sering kali merasa kalau dunia hari ini bergerak terlalu cepat.
Lebih cepat dibandingkan yang dimampu oleh manusia kebanyakan. Lucunya, yang
membuat kondisi ini adalah manusia itu sendiri.
Teknologi
yang memberikan berbagai macam kemudahaan membuat informasi banjir di sana-sini.
Semakin terbuka, informasi semakin terpapar dengan jelas, semakin menyadari
juga kalau banyak yang belum diketahui. Buat gue, ini menjadi beban tersendiri.
Dunia
itu luas, banyak sekali hal yang berada di dalamnya. Banyak yang belum gue
mengerti. Dulu, gue berusaha keras untuk mengetahui semaunya, menjadi seorang
FOMO (fear of missing out), anggap saja begitu. Tapi lama-kelamaan capek juga ya? Pikir gue begitu.
Akhirnya, gue pun mencoba untuk lebih santai dan berdamai.
Untungnya,
semakin hari semakin banyak orang yang mengkampanyekan soal hidup bukanlah
perlombaan. Semua orang punya waktunya masing-masing. Semua orang punya
kemampuannya masing-masing. Semua orang punya kecepatannya sendiri. Ini yang
kemudian membuat gue merasa lebih nyaman dan baik-baik saja. Sesuatu yang
akhirnya sering membuat gue bicara pada diri sendiri,
“Nggak
apa untuk bilang nggak tahu, belum tahu. Lo nggak harus tahu semuanya. Lo bukan
Yang Mahatahu. Lo masih manusia.”
Monolog
ini yang kemudian menyadarkan gue bahwa gue hanya manusia, jauh dari kata
sempurna bahkan masih banyak kurangnya, banyak banget malahan. Ini yang membuat
gue merasa tidak apa-apa untuk tidak tahu banyak hal. Toh, bisa dicari tahu
juga nantinya, kalau nggak malas, kalau nggak lupa, kalau mood memungkinkan juga.
Bagian
terakhir memang terasa sebagai pembenaran atas berbuat malas. Tapi di sisi
lain, itu menjadi alasan untuk gue tidak bergegas dalam berbagai macam hal.
Untuk gue tetap di jalan yang gue pilih dan fokus untuk apa yang gue mau, apa
yang menurut gue menjadi tujuan dan akan berguna buat diri gue dan hidup gue.
Sebuah upaya kontrol diri sendiri dan tidak membiarkan orang lain mengontrol
diri ini. Toh, yang tahu hidup gue kan gue sendiri ya? Gue yang tahu apa yang
gue suka. Gue tahu maunya apa.
Ketika
gue menyadari kalau gue adalah manusia biasa yang tidak punya kemampuan dan
kekuatan. Gue yang jauh dari kata hebat dan besar pun melihat bahwa manusia
lain sama adanya. Tak berbeda dengan gue. Kami semua hanya manusia,
ciptaan-Nya. Banyak orang lain yang sepertinya lupa kalau dirinya juga manusia.
Mereka sering merasa paling tahu, paling benar, paling baik, paling tulus, dan
paling-paling yang lainnya. Lagi-lagi, manusia seperti ini yang sering membuat
gue letih. Manusia-manusia macam ini sering gue sebut dengan manusia rasa
Tuhan. Manusia tapi merasa dirinya bagai Tuhan. Lupa kalau dia diciptakan oleh
siapa.
Sayangnya,
yang seperti ini nggak sedikit. Bahkan, semakin hari semakin banyak. Gue kadang
sedih melihatnya. Ketika gue berusaha berdamai dengan diri sendiri,
memperbaiki diri dan menerima semua yang ada di dunia ini sebagaimana mestinya,
tidak terlalu memaksakan kehendak, berahap orang-orang lain pun melakukan dan merasakan hal yang sama. Rupanya, banyak yang melakukan sebaliknya.
Nggak
banyak yang bisa gue lakukan. Sebagai orang yang suka menulis dan berselancar
di media sosial, yang bisa gue hanyalah menulis dan berbagi. Selalu dan selalu,
gue berharap dari apa yang gue tulis akan membuat dampak dan perubahan. Sekecil
apapun, sesedikit apapun, gue selalu merasa bahagia dan bangga ketika ada
satu-dua orang yang tergerak karena apa yang gue lakukan.
Dulu,
gue pernah begitu tertekan untuk membuat perubahan terhadap dunia. Sebuah mimpi
dari seorang mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional yang idealis. Belajar soal
dunia dan kondisinya, menyadari kalau dunia ini bobrok, juga tidak adil, gue
lelah dan ingin sekali mengubahnya. Sayangnya, nggak mudah ya.
Gue
sering merasa ditahan maupun ditolak untuk idealisme itu. Sampai gue bertemu
dengan seorang trainer, gue bercerita
soal mimpi gue itu. Dia trainer yang
baik, sangat baik. Dia melatih gue dan yang lainnya dengan hati. Gue bisa
merasakan empatinya, begitu juga saat dia mendengarkan keluh-kesah gue yang
terisak hebat. Ia memeluk gue dan membesarkan hati gue. Dengan lembut dia
bilang,
“Zakia…
Kamu hebat. Kamu punya mimpi yang besar. Kamu bisa kok melakukannya.
Nggak
perlu hal yang besar. Mulai saja dari dirimu sendiri. Kamu mengubah dirimu pun
sudah mengubah dunia. Kamu kan bagian dari dunia. Kalau kamu berubah, berarti
ada hal yang berubah dari dunia ini, 'kan?”
Gue
tersadar. Benar adanya kalau sesuatu yang besar selalu dan nggak-mungkin-nggak
dimulai dari sesuatu yang kecil. “Every big
things start from the small ones” pun akhirnya menjadi kutipan favorit gue.
Sebuah kutipan yang menjadi penyemangat untuk tetap melakukan hal-hal yang gue
anggap baik dan benar, yang gue anggap akan memberikan manfaat.
Gue
hari ini berusaha keras untuk tidak tergoda untuk mengejar ketenaran dan popularitas. Viral
bukan sesuatu yang gue harapkan. Meski begitu, nggak bisa ditampik juga ketika konten yang lo buat mendapatkan respon baik dan positif, mendapatkan reaksi dalam
jumlah lebih besar sangatlah menyenangkan.
Buat gue, star syndrome sangat berbahaya. Gue selalu mawas diri atas hal itu.
Rekognisi memang membuat ketagihan. Namun, gue selalu cepat-cepat mengingatkan
diri sendiri. Mereka terpaut dengan konten yang gue buat, tidak serta-merta
membuat mereka terpaut kepada gue sebagai seorang pribadi. Konten dan gue
sebagai pembuatnya adalah dua hal yang berbeda. Gue pun berusaha keras untuk
membedakannya dan tidak menganggap segala sesuatunya serius.
Misalnya,
waktu itu gue mendapatkan engagement tinggi
untuk tweet yang beropini soal apa yang Cinta Laura tulis di Instagram-nya. Ini
tentunya mendorong gue untuk membuat konten serupa, kan? Sebuah konten yang mendapatkan engagement tinggi, kalau bisa sampai viral.
Gue buru-buru mengingatkan diri sendiri. Tweet tersebut bisa mendapatkan respon positif bukan hanya karena opini gue yang sejalan dengan pemikiran orang-orang tetapi juga karena momentum. Kebetulan gue beropini soal topik yang hangat kala itu. Jadi, engagement yang gue capai bukan hanya karena opini gue. Banyak hal yang mempengaruhinya. Menyadari ini, gue berusaha untuk tidak besar kepala dan tetap menapak di tanah.
Gue buru-buru mengingatkan diri sendiri. Tweet tersebut bisa mendapatkan respon positif bukan hanya karena opini gue yang sejalan dengan pemikiran orang-orang tetapi juga karena momentum. Kebetulan gue beropini soal topik yang hangat kala itu. Jadi, engagement yang gue capai bukan hanya karena opini gue. Banyak hal yang mempengaruhinya. Menyadari ini, gue berusaha untuk tidak besar kepala dan tetap menapak di tanah.
Arus
dalam dunia digital sangat keras. Semua orang membuat konten dan berlomba untuk
mendapat perhatian orang lain. Entah untuk tujuan berbagi manfaat atau
komersil. Namun, godaan untuk menjadi terkenal dan punya power tersendiri sangatlah menggiurkan. Gue pun merasakan hal yang
sama. Tidak menampik.
Namun,
gue berusaha sekuat dan sebisa mungkin untuk tidak terbawa arus sampai akhirnya
jati diri tergerus. Gue berusaha untuk tetap otentik dengan apa yang gue
miliki. Nilai yang gue amini selalu menjadi dasar untuk beropini dan membuat
konten. Gue berusaha keras untuk tidak terbuai untuk ikut-ikutan.
Idealis,
kata orang-orang. Tapi gue rasa ini adalah hal yang dibutuhkan. Untuk tahu
siapa diri kita, apa kekuatan yang kita punya, lalu apa yang ingin kita
tunjukkan, bagikan dan sebarkan. Tetap bertahan di sana meski banyak yang
menerjang dan menghadang. Identitas. Apa yang membedakan diri sendiri dan orang
lain.
Hari
ini, gue masih membahas banyak hal di media sosial, terutama di Twitter. Gue sejujurnya
masih bingung dengan spesialisasi gue. Iya sih gue sangat cukup identik dengan
lari karena konten Instagram gue banyak memuat soal itu. Akan tetapi, ada
banyak hal yang juga ingin gue bagikan. Soal gue yang hobi membaca, soal
isu-isu yang patut diperjuangkan dan penting buat gue, misalnya kesetaraan
maupun hal-hal yang lainnya. Cakupan gue masih sangat luas dan umum.
Akhirnya,
gue mengidentifikasi diri sendiri dan memilih pencitraan gue di media sosial
dengan menonjolkan karakter yang gue punya. Zakia itu seperti apa, terlepas dari
konten yang dia buat. Gue mencitrakan diri sebagai orang yang ceria,
bersemangat dan otentik.
Ini
nggak lepas dari kontrak yang gue punya sejak beberapa tahun yang lalu. Sebuah
kontrak kepada diri sendiri yang hadir saat gue mengikuti sebuah leadership training di Kemang.
“I
am a strong, caring and authentic woman.”
Otentik
selalu menjadi kata yang gue usung dan gue hidupkan dalam hidup gue.
Menonjolkan karakter sebagaimana adanya pun menjadi sebuah implementasi dari
kontrak yang gue punya.
Dibilang
mudah, nggak juga karena gue melihat dan merasa banyak orang terkesan palsu di media sosial. Ini kemudian membuat gue bertanya atas apa yang gue lakukan, apakah dengan menjadi otentik dan mengekspos diri seperti itu sudahlah benar? Tapi kok rasanya beda? Kok nggak sama kayak orang-orang, kayak yang lain. Salah nggak sih?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya yang membuat gue semakin banyak ngobrol dengan diri sendiri. Memang, hal-hal semacam itu mengguncang hati, mempertanyaan eksistensi diri. Namun, melalui percakapan tersebut, gue pun semakin tahu atas apa yang gue lakukan dan gue yakini. Gue tahu apa dan kemana gue harus kembali.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya yang membuat gue semakin banyak ngobrol dengan diri sendiri. Memang, hal-hal semacam itu mengguncang hati, mempertanyaan eksistensi diri. Namun, melalui percakapan tersebut, gue pun semakin tahu atas apa yang gue lakukan dan gue yakini. Gue tahu apa dan kemana gue harus kembali.
Bagaimana
gue hari ini pun hasil dari semua pergulatan dengan diri sendiri yang
sering terasa sulit itu. Tapi terima kasih
untuk tetap berada di titik yang sama, untuk konsisten dan terus berkembang.
Semoga suatu hari nanti menjadi diri yang lebih baik lagi. Semoga semakin banyak orang yang tergerak untuk melakukan sesuatu yang baik setelah melihat diri ini.
Semoga suatu hari nanti menjadi diri yang lebih baik lagi. Semoga semakin banyak orang yang tergerak untuk melakukan sesuatu yang baik setelah melihat diri ini.
Jangan berkecil hati. Kamu akan menjadi sesuatu
kok suatu hari nanti.{}