Liputan Rasa Fangirling

Sabtu, Juni 22, 2019

Di malam minggu yang ramai di sekitar Kawasan Bundaran HI, gue dilempar ke Mahkamah Konstitusi, sendirian, setelah seharian berjaga di Bundaran HI memantau kondisi panggung, jalanan maupun masyarakat yang mulai berdatangan. Sayang sekali, niatan untuk bersenang-senang dan bersantai gagal karena pertukaran posisi ini. Lebih disayangkan lagi, ternyata tidak ada hakim yang di MK malam ini. Mereka sudah pulang saat gue, mungkin, salat Maghrib atau duduk di depan menunggu kejelasan atas apa yang akan gue lakukan di sini. 

Oke, sebuah awalan yang terlalu panjang dan sangat curhat. Maafkan, ini kebiasaan. 

Cuma, di sini gue yang baru-baru ini selesai menonton drama Her Private Life yang sangat cocok dengan selera gue, yang penuh dengan kebucinan, drama, romansa serta ilusi dan halusinasi. Ditambah dengan ceritanya sebagai seorang fangirl yang sukses dari sebuah band ternama di Korea, ceritanya begitu. Gue teringat dengan sebuah kejadian yang gue alami beberapa bulan sebelum sidang MK ramai disiarkan di TV atau momen-momen lucu yang tersebar di thread-thread di twitter. 

Sebuah momen ketika gue untuk pertama kalinya harus meliput kegiatan salah satu calon wakil presiden dari nomor urut 02, yang saat ini sedang mengajukan gugatan sengketa di gedung yang sedang gue duduki malam ini. Ini adalah sebuah doa yang terjawab. Karena gue, sejujurnya, selalu iri dengan teman-teman atau senior yang meliput Sandiaga Salahuddin Uno, papa online yang tampan rupawan serta sangat sehat. Gue menyebutnya, ikon sehat Indonesia 2019 karena kemana-mana selalu bawa infused water dan selalu olahraga.

Jadi, kejadian ini terjadi ketika Sandi berkunjung ke GOR Senen. Gue dan teman-teman media lain sudah sampai lebih dong, pasti dan kita bersiap untuk ambil posisi terbaik untuk foto. Gue pun begitu. Cuma kan ya, pasti tahu bagaimana riuhnya kalau tokoh-tokoh yang bertarung dalam Pilpres ini datang ke lokasi-lokasi tertentu. Pasti massa pendukungnya ramai dan repot berebut mau berswafoto atau bersalaman. 

Gue yang sering kikuk ini pun seperti tersesat dan canggung serta bingung mau kemana dan menghindar, menepi dari mereka yang menyerobot ke arah Sandiaga Uno. Gue pun mundur dan mencari ruang yang lebih lenggang. Sandiaga yang tadinya bersalam-salaman dengan para pendukung maupun petugas yang melakukan perhitungan suara tingkat kecamatan pun lambat laun mendekat ke arah gue. Gue pun tetap mundur karena merasa menghalangi beliau dengan pendukungnya. Hanya saja, yang terjadi berbeda. Sandiaga mendekati gue, tersenyum dan menjabat salam gue. Seketika si culun penuh drama ini terkejut. 



Sandi bilang, "Oh, hi! We meet again!" sambil senyum. Ya Allah, maaf-maaf nih ya. Ini gak ada hubungannya sama afiliasi, orientasi dan arah politik gue. Cuma, yang namanya orang ganteng mah kan susah buat ditolak ya. Gue mendadak tidak bisa merespon dengan baik dan gagu serta grogi. Gue menjawab, "Ah! You remember me?" Gak percaya. Sumpah, gak percaya dia mengingat gue. Gue selalu dan selalu merasa aneh kalau ada orang yang gue kagumi mengingat siapa gue. Iya, seculun itu memang gue. Selalu merasa kecil, kurang dan semacamnya. Merasa kalau dirinya bukan siapa-siapa dan belum melakukan apa-apa. 

Setelah momen itu, Sandi pun berjalan masuk ke dalam GOR untuk melihat proses perhitungan di sana. Gue bersama dengan teman-teman wartawan yang lain mengikuti di belakang. Hanya saja, gue dengan jiwa-jiwa fangirl ini jalan sambil cengar-cengir dan jingkrak-jingkrak. Sereceh itu memang. 

Jadi begini, kenapa Sandiaga Salahuddin Uno bisa mengenal dan mengingat anak kecil ini? Sebab gue pernah meliput dia, pertama kalinya, di Masjid Sunda Kelapa tempat dia sering salat berjamaah entah Dzuhur, Asar, Maghrib, Isya, apapun. Saat itu, gak banyak wartawan yang mengikuti dia. Hanya gue sendiri, awalnya dan ada satu orang lagi, reporter dari Liputan 6 dotcom. Hanya kita berdua yang mewawancari Sandi sesaat sebelum hari pemungutan suara, 17 April. 

Itu momen, keberhasilan sebagai fangirl, yang bisa gue banggakan. Bahkan, gue cerita ke orang rumah, Mama-Papa gue soal ini. Saking senangnya. 

Setelah momen kedatangan sebelum memasuki GOR, ada lagi yang membuat hati ini dag-dig-dug cenat-cenut saat aku melihatmu. Saat dimana setelah cek kondisi perhitungan suara, kita bersama-sama mewawancarai Sandi. Pembicaraannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan di pagi hari. Hanya saja, selama wawancara berlangsung, entah mengapa, mungkin ini kepercayaan diri yang berlebihan atau ilusi dan halusinasi, gue merasa kalau dia melihat ke arah repoter anak bawang ini. Gue yang canggung karenanya pun mencoba untuk menatap ke arah lain. Namun, tak begitu berhasil karena dia adalah narasumber gue. Gue harus memperhatikan apa yang terucap dari bibirnya yang senantiasa merah muda, sangat sehat dan segar. 

Momen-momen yang mungkin kalau kalian baca menjijikan ini tidak berakhir di situ. Sebelum meninggalkan lokasi, kembali, Sandiaga menjabat tangan gue. Gue gak minta. Sumpah. Gue cuma diem, melongo, kikuk, mencari ruang untuk menghindar atau ambil foto yang bagus. 

Di lobi GOR, mobil Sandiaga sudah bersiap. Dia cukup buru-buru karena mau mengejar agenda lainnya. Pintu mobilnya sudah terbuka. Gue memang gak begitu jauh dari pintu tersebut. Bukan bermaksud menghalangi, hanya saja menghindari dari keriuhan mereka yang minta bersalaman dengan Sandi. Gue mengalah. Tapi kembali, sebelum masuk ke mobilnya, Sandi menyalami gue lagi, mengucapkan terima kasih. "Makasih ya!," katanya begitu. Tak lupa senyum terpatut di wajahnya. 


Ditinggal Sandi meluncur ke agenda selanjutnya, gue pun segera berangkat dengan menggunakan mobil kantor bersama beberapa pewarta lain yang menumpang. Sambil mentranskrip ucapan Sandi yang panjang-lebar tapi tidak semuanya penting dan menarik, gue cukup bahagia dan masih senyum-senyum sendiri selama perjalanan meski cukup pusing karena semua harus diselesaikan dengan cepat.

Ya, begitulah pekerjaan ini. Kalau lagi beruntung, gue bisa sesenang itu. Kalau lagi apes, ya ngedumelnya bisa pake sepenuh jiwa dan raga. 

Dan setelah gue menonton drama Her Private Life, gue menyadari bahwa pekerjaan gue ini agak mirip dengan menjadi seorang fangirl yang menjalankan fansite atau seorang paparazi. Di drama tersebut, Park Min-young yang berperan sebagai Sung Deok-mi, seorang kurator di galeri seni yang juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya sebagai manajer fansite ternama. Ia yang selalu mengenakan setelan khusus ketika menjalankan misinya untuk mengambil foto dari Cha Si-an, penyanyi favoritnya. Ia mengenakan jaket dan training berwarna hitam, tidak lupa dengan topi dan masker yang menutup wajahnya dengan warna serupa. Belum lagi dengan tas punggung cukup besar yang berisi perlengkapan fangirlingnya, kamera, lensa, juga buku catatan yang berisi jadwal dari idolanya. 

Tiap gue berkaca sebelum berangkat liputan, gue menyadari kalau penampakan gue cukup mirip dengan Sung Deok-mi. Selalu mengenakan celana jins, apapun warnanya, dengan atasan kaos atau kemeja kalau sedang tidak malas dan tidak panas atau berniat untuk tampil lebih rapi dengan suasana hati yang cukup bagus. Gue juga selalu mengenakan topi kenang-kenangan yang gue dapat dari peraih medali emas atlet renang Korea Selatan yang kemarin gue bantu selama Asian Para Games 2018. Juga sepatu olahraga yang entah dari jaman kapan tak kunjung diganti karena masih layak pakai. Gak lupa tas punggung yang lebih besar dan cukup berat untuk membebani tubuh kecil ringkih ini. Isinya beraneka ragam, mulai dari botol minum tupperware yang gue klaim secara sepihak dari abang gue, perlengkapan wajib liputan yang berupa dua buah power bank serta kabel-kabelnya, juga mukenah untuk berjaga-jaga kalau liputan di tempat-tempat yang tidak menyediakan mukenah atau harus bererebut mukenah saat salat maghrib, belum lagi soal pengganjal lapar seperti malkis atau yang lainnya agar perut dengan penyakit maag ini tidak berteriak-teriak. Cukup penuh untuk dibawa kemana pun selama sekitar 10 jam setiap harinya. 

Sadar akan hal ini, gue kembali teringat bahwa gue pernah punya cita-cita dan berdoa untuk menjadi seorang fangirl yang sukses yang melalang buana dan dikenal oleh idolanya. Di titik ini gue menyadari bahwa doa-doa selama ini memang dijawab dari Yang Maha Kuasa. Tapi semua akan terkabul pada saatnya. Gak semua doa akan dijawab dengan cepat, saat itu juga. Gue berkali-kali merasakan kalau memang doa gue terjawab bahkan setelah gue lupa kalau gue pernah berdoa untuk hal itu. 

Pemikiran ini untungnya datang di saat yang tepat. Di saat, akhir-akhir ini gue meratapi hidup gue ini karena ada beberapa hal yang gak berjalan sesuai harapan, keinginan, maupun ekspektasi gue yang kemudian gue menganggap bahwa hidup gue sesampah itu. Gak berguna, gak bermanfaat, gak membahagiakan. 

Gue lupa atas kebaikan yang diberikan-Nya ke gue sampai detik ini. Gue yang hari ini sudah bisa bekerja dengan pekerjaan yang gue inginkan, terkait dengan menulis, tidak membosankan, bertemu dengan orang banyak. Bukan sekadar orang biasa, gue bisa bertemu para pejabat yang banyak orang cuma bisa lihat dari layar kaca, entah TV atau ponselnya. Sampai gue bisa diingat oleh seorang Sandiaga Salahuddin Uno. Sesungguuhnya itu sesuatu yang besar tapi gue lupa, gue kufur. 

Dibandingkan teman-teman yang lulus bersamaan dengan gue, gak sedikit dari mereka yang masih mencari pekerjaan. Mungkin di antaranya juga ada yang sedang mengalami masa sulit untuk menerima kenyataan seperti itu, sama seperti gue hanya saja beda kasusnya. Tidak sedikit juga dari teman-teman gue yang akhirnya memilih pekerjaan yang mereka jalani sekarang karena merasa tidak ada pilihan lain sehingga pekerjaan yang mereka geluti saat ini bukanlah pekerjaan yang ada hubungannya dengan studi saat kuliah dulu. 

Beda halnya dengan gue. Mungkin gak sedikit juga orang yang bertanya-tanya, mengapa, gue yang notabene seorang sarjana dari ilmu hubungan internasional yang biasanya identik dengan Kementerian Luar Negeri atau diplomat, akhirnya menjadi seorang jurnalis, wartawan, reporter apa pun itu istilahnya. Setidaknya, gue masih bisa menjawab pertanyaan itu dengan cukup baik. Latar belakang gue masih ada kaitannya dengan pekerjaan ini, setidaknya dari sisi politiknya. Walaupun berbeda cakupannya tapi masih bisa gue mengert. Terlebih, gue diberikan kepercayaan dari atasan gue untuk memantau isu-isu yang ada di Kemlu. Sebuah keberuntungan kan ya?

Iya, makanya, terima kasih atas kesempatan ini. Dimana gue mengetik semua ini mengalir begitu saja. Entah rencana awalnya membahas sampai titik mana tapi akhirnya berakhir pada kesimpulan seperti ini. Sebuah jawaban dan petunjuk dari apa yang gue pertanyakan akhir-akhir ini. 

Dengan kelemahan dan ketidakberdayaan ini, gue berharap dan berdoa agar gue bisa kembali baik-baik saja dalam waktu cepat. Gue juga berharap hal yang sama bagi teman-teman yang lain supaya selalu baik-baik saja atas segala yang terjadi dalam hidupnya. Semoga yang selama ini diusahakan dan didoakan akan terkabul dan terjawab. Semoga kita bisa berbahagia dan membahagiakan diri sendiri dan orang lain. 

CHEERS!

You Might Also Like

0 komentar