Ave Maryam di Bawah Tekanan

Sabtu, April 20, 2019

Berada dalam kondisi yang benar-benar tidak baik-baik saja. Tekanan yang menghimpit dari segala arah yang sebenarnya pun gue gak tahu itu apa. Merasa aneh dengan diri sendiri. Gue asing dengan diri gue sendiri. Gue mulai menyadari kalau ada yang salah. Gue mungkin gak cukup bahagia dan gak menikmati hidup beberapa waktu terakhir ini. Akhirnya, memutuskan untuk melakukan sesuatu, menghibur diri. Salah satu caranya adalah dengan pergi ke bioskop sendiri.

Sudah cukup lama gue gak pergi ke bioskop sendiri untuk menikmati apa yang namanya me time. Selama gue bersama lelaki yang selalu menempel dan ditempeli oleh gue kalau ke bioksop. Cukup lama sampai gue lupa apa itu sendiri dan bagaimana menikmati waktu sendiri.

Dua hari berturut-turut gue melakukan me time di bioskop. Yang pertama hari Kamis, saat gue libur dan akhirnya menonton film yang sudah lama tayang di bioskop dan sudah lama juga gue pengen tonton baru kesampaian, The Stupid Boss 2. Yang gue lanjutkan besoknya dengam Ave Maryam. Sebuah film yang di awal-awal penayangannya gue mendengar kalau ini adalah film bagus dari teman-teman liputan, begitu juga dengan teman SD yang mengajak gue ketemu tapi gagal karena ibunya sakit.

Ave Maryam adalah salah satu film yang masuk daftar cukup menarik minat gue untuk nonton setelah Mantan Manten tersisa hanya di Plaza Senayan dan itu terlalu mahal untuk gue yang masih berjuang untuk melunaskan ini-itu. Beruntungnya, hari Jumat yang banyak bilang orang sebut sebagai Jumat Barokah, kali ini memberikan berkat yang membantu gue untuk bisa lebih bahagia dengan adanya promo 50% via TIX ID. Yeay! Dan lebih memberi berkat karena gue dapet kupon potongan Rp. 10.000 karena baru saja meningkatkan akun gue menjadi premium yang juga menyelamatkan gue dari kekurangan 1.000 untuk tiket itu. He he he.

Bermodalkan asumsi gue bisa pulang sangat cepat hari itu karena kegabutan menunggu Monas yang tak kunjung juga kedatangan pasukan nomor cantik. Akhirnya gue pun nekat untuk membeli tiket bioskop untuk jam 19.00. Semacam keputusan gila dan sangat beresiko di kala gue biasa pulang paling cepat jam 18.30 atau setelah Maghrib.

Sialnya, sore itu gue ada agenda jam 17.00 yang merupakan agenda tersore gue selama kerja, sejauh ini. Dan itu di daerah Kramat yang artinya cukup jauh dan butuh usaha lebih untuk sampai di Blok M tepat waktu. Lebih sial lagi karena agenda itu baru mulai jam 17.30 yang artinya mendekati Maghrib dan itu membuat gue sangat cemas, takut gak bisa sampai sana tepat waktu dan akhirnya Rp. 18.000 gue hangus secara sia-sia.

Mengandalkan segala teknologi yang ada yang akhirnya gue miliki dan bisa gue pakai, gue pun mempercepat kerja gue untuk selesai secepat mungkin. Cukup cepat gue sudah selesai. Sayangnya, awan tidak berpihak sama gue malam itu, dia hujan deras, sangat deras, cukup deras sampai bikin lo malas untuk kemana-mana dan lebih enak di kasur sambil makan mie instan.

Selesai solat, gue pun berlari bak anak kecil ke parkiran motor dan siap memacu motor Beat hitam kebanggaan gue sepanjang jalan. Dengan jas hujan plastik harga Rp. 15.000 gue berubah menjadi Rossi versi perempuan muslim Indonesia. Gue mencoba memacu motor ini secepat mungkin namun tetap seaman mungkin karena gue masih takut sama yang namanya kematian.

Hujan sangat deras, cukup deras sampai cukup perih ketika bersentuhan dengan wajah cukup indah ini. Bermodalkan helm tanpa kaca pelindung, gue menerabas jalanan ibukota dengan gaya ala MotoGP. Serius! Bukan karena mau gaya-gayaan tapi karena emang rintik hujannya begitu menyakitkan wajah ini sampai gue harus melindunginya dengan cara itu.

Dramatis memang perjalanan untuk sebuah film berdurasi satu jam ini. Iya, durasinya hanya satu jam. Sangat singkat. Itulah mengapa gue sangat takut ketinggalan menit-menit awal film itu. Namun, beruntungnya gue jam 19.00 sudah memasuki wilayah Blok M. Dan jam 19.11 gue sudah ada di studio bioksop setelah berlarian dengan baju, celana dan sepatu yang basah bagai kucing tercebut got.

Gue mencari tempat duduk gue di baris terfavorit, A untuk 9. Posisi yang biasa gue dan Wahyu pilih kapan pun dan dimana pun kita menonton film. Tapi bangku itu tidak kosong, ada yang menduduki. Gue mintai tolong lah dia dan dia pun bergeser ke bangku sebelahnya.

Sembari sibuk membenahi diri yang basah kuyup ini, gue bertanya kepada Mbak di sebelah, "Baru mulai, kan?" memastikan ucapan penyobekan tiket di depan.

"Baru mulai kok", jawabnya.

Beruntungnya gue! Usaha tidak akan mengkhianati emang ya? Coba gue seniat dan sebergairah ini untuk semua sisi kehidupan gue pasti, gak mungkin nggak, gue bakal jadi lebih besar, produktif dan membanggakan dari ini.

Dengan hati riang, gue duduk manis dengan kaki telanjang karena gue lepas kaos kakinya yang basah menerjang hujan. Gue yang gak tahu apa-apa soal film ini cukup kaget dengan adegan awal dimana itu adalah di gereja dan banyak sekali suster di sana. Ini film apa sebenarnya?, pikir gue begitu. Gue salah milih film apa, ya?, pikir gue lagi.

Sibuk dengan pikiran gue yang mulai berisik, gue pun memperhatikan sekitar. Mencari apakah ada orang lain yang memakai kerudung selain gue. Sejauh mata memandang, sepengelihatan gue, gak ada. Sepertinya hanya gue yang menutup kepala ini dengan sebuah kain.

Gue mulai cemas, apakah film ini kental dengan religiusitas agama lain yang gue gak tahu ajarannya apa? Gue mulai khawatir dengan pandangan orang sekitar terhadap gue yang Muslim ini. Gue mulai takut kalau gue dianggap seorang murtad potensial yang sedang belajar agama lain yang ingin dia anut di kemudian hari.

Sangat berisik kepala ini tapi gue kembali ingat sinopsis film ini. Ia menceritakan soal romansa yang terjalin antara seorang Suster dan Pastor di gereja. Itu yang membuat gue mau menonton film ini. Perkara romansa, percintaan, sebuah kebucinan.

Hanya saja di awal-awal film ini, gue merasa ini tidak sesuai ekspektasi. Gue kembali cemas. Bukan karena asumsi orang lain tapi karena uang dan waktu yang gue korbankan untuk ini. Sebanding kah?

Terlalu sunyi untuk gue yang sangat berisik dan tidak bisa berdamai dengan sunyi sepi. Terlalu kaku percakapannya untuk gue yang terlalu urakan dan semaunya dalam berkomunikasi. Benar-benar bukan gaya gue. Tapi gue mencoba untuk bertahan.

Sampai di puncak alur cerita film ini, gue pun mendapatkan sisi menariknya, sisi yang menarik gue duduk di bangku itu, malam itu. Hubungan antar hati manusia berlawan jenis yang kemudian berani menampakkan dirinya di siang hari. Mereka yang pergi ke sebuah pantai dengan mobil warna telur asin serta sebuah kue ulang tahun yang dikeluarkan oleh Yosef dari bagasi belakang mobil untuk Maryam.

Setelah lilin berangka 4 dan 0 ditiup oleh Maryam, keduanya duduk di tepi pantai. Bagian ini adalah kesukaan gue yang cukup menggelitik sisi lain diri ini. Maryam yang sepanjang cerita kedekatannya dengan Yosef enggan untuk melakukan kontak fisik dalam bentuk apapun, hari itu saat ia genap berusia 40 tahun mendorong Yosef untuk mengajaknya ke tepi pantai. Sebuah gestur kecil yang membahagiakan ratu drama macam gue ini. Maryam membuka hatinya, pikir gue begitu.



Hanya saja, adegan beberapa detik sebelumnya memiliki daya kejut jantung yang lebih besar. Sebuah adegan yang gak terduga dan gue gak kepikiran sampai situ. Iya, Maryam membuka dirinya, bukan cuma hatinya tapi dalam arti harfiah.

Sayangnya, setelah itu ia sadar dan meratapi nasibnya. Mengutuki apa yang dilakukannya di dalam mobil dengan kalung salib yang menggantung di kaca spionnya. Sepasang manusia ini pulang dalam diam dimana keadaan semakin keruh setelahnya.

Dari titik itu sampai akhir cerita terasa begitu cepat. Kebalikan dari setengah perjalanan film ini di awal yang terasa sangat lambat dan menyiksa. Dari titik ini juga gue mulai melihat film ini sebagai sebuah karya seni dan mencoba memahaminya.

Sebuah karya seni, film yang ditampilkan berbeda dengan cara yang juga berbeda dari film kebanyakan yang gue sebut sebagai film komersil, sangat komersil. Film ini menampilkan keindahannya dengan gaya yang berbeda, jauh dari kebanyakan film Indonesia yang tayang di bioskop dan sempat gue tonton.

Dengan sinematografi yang memilih untuk membiarkan kamera di tempatnya, statis memberikan perspektif sendiri dan membiarkan penonton melihat pergerakan dari aktor dan aktris yang berada dalam layar. Membiarkan mereka yang mendekati penonton sampai melewati kamera yang ada. Dengan cara ini pula keindahan lokasi yang digunakan, tempat-tempat kuno nan tua itu terlihat lebih jelas dan menawan.

Belum lagi kesunyian yang ditonjolkan sepanjang film ini. Tidak seperti kebanyakan film yang banyak menggunakan OST dan efek suara untuk adegan-adegan tertentu, lagu yang digunakan untuk film ini bisa dihitung dengan jari. Sisanya, mereka menggunakan instrumental dan itu lebih menenangkan, setidaknya buat gue.

Kesunyian ini juga diperkuat dengan tidak banyaknya percakapan yang ada dalam film ini. Sekali pun ada, itu terlalu indah untuk menjadi percakapan sehari-hari kita orang awam. Gue kurang tahu apakah para pelayan Tuhan hari ini pun masih bergaya bahasa seperti Maryam dan para Suster tua di sana.

Kalimat-kalimat yang mereka sampaikan terlalu indah. Entahlah karena mereka adalah penggiat Al-Kitab atau memang pada saat itu manusia-manusia Indonesia sepuitis itu. Awalnya memang gue gak mengerti dengan semua ini sampai akhirnya hati gue terkait oleh sebuah kalimat yang indah.

"Siapa yang sibuk mengurusi takdir orang lain, ia tidak akan menemukan takdirnya sendiri", kata Yosef saat diingatkan oleh Suster Monik yang gue curigai adalah Suster yang merawat Yosef sejak kecil.

Juga saat Suster Monik yang akhirnya bicara kepada Maryam yang kebasahan oleh hujan serta air mata. Sambil memeluk erat Maryam, ia berkata "Jika surga belum pasti untukku. Buat apa aku mengurusi nerakamu".

Dari kalimat ini gue mulai tersadar kalau selama ini gue cukup sibuk dengan urusan orang lain dan lupa akan diri sendiri. Gue menganggap yang lain pendosa seakan gue ini maha sempurna. Gue terlalu lupa diri, terlalu jauh melampaui batas. Padahal gue jauh dari sempurna. Padahal apa yang gue katakan kepada orang lain sebenarnya untuk diri sendiri. Tapi gue gak sadar.

Ditilik lebih lanjut, film ini memiliki makna yang mendalam dan mampu menyentuh relung hati. Adegan-adegan terakhir penuh tangis dari kedua manusia yang terjebak dalam cinta menyadarkan gue untuk kembali ke Allah, selalu kembali ke Allah. Selain itu juga, dari Maryam gue belajar untuk berdoa dengan baik, berdoa dengan tulus, berdoa dengan penuh harap, berdoa dengan kerendahan hati dan berdoa dengan indah. Sungguh, Allah itu senang sekali dipuji. Sungguh, akan lebih mudah untuk-Nya mengabulkan doa ketika kita memuji-Nya. Di sini gue benar-benar belajar untuk menurunkan apa itu yang namanya ego, untuk menghilangkan apa itu yang disebut sebagai kesombongan.

Dalam adegan ini juga, akhirnya, gue melihat dan menikmati kemampuan akting Chiko Jerrico yang penuh dengan usaha dan gue yakin menguras energi. Sebuah pembuktian bahwa akting adalah olah raga, olah jiwa. Bagaimana memainkan tidak hanya ekspresi tapi juga emosi. Menangis dalam diam, mencoba tegar, berusaha untuk menguatkan orang lain yang terjatuh saat kita sendiri sedang bermasalah, sedang lemah, sedang tak mampu bukanlah perkara mudah.

Di awal, gue berpikir kalau film ini tayang berkenaan dengan momen Paskah tapi gue tidak melihat korelasi Paskah dan cerita film ini. Gue yang gak lihat atau memang gue gak tahu. Entahlah. Tapi setidaknya, buat gue sendiri, gue menonton film ini di waktu yang tepat. Tepat ketika diri ini kering, tepat ketika diri ini kosong, tepat ketika diri ini lemah, tepat ketika diri ini lupa. Film ini melalui Maryam mengingat gue untuk kembali dan pulih.

Buat lo yang suka film Indonesia, ini patut ditonton. Ini bukan film ecek-ecek. Jangan bandingkan durasinya dengan durasi Avengers yang sampai 3 jam. Ini sebuah karya seni yang sayang sekali untuk dilewatkan. Sebuah karya seni yang menurut gue, perlu kejelian selama menontonnya karena film ini bagaikan puzzle yang harus dilihat bagian-bagiannya baru disatukan secara hati-hati. Cocok buat lo yang suka mikir, sama kayak gue.

Selamat menonton! Gue tunggu komentarnya di bawah ya! Cheers!

You Might Also Like

0 komentar