Terpujilah Mereka Yang Memakan Hak Orang Lain

Jumat, Maret 22, 2019

Ini cerita gue yang minggu lalu gagal untuk menulis ini karena tiba-tiba saja ditelepon untuk pindah posisi ke Kemenag. Konyolnya adalah gue selalu dicari ketika posisi gue benar-benar gak siap sama sekali. Kemarin-kemarin gue selalu ditelepon saat gue lagi wudhu untuk solat. Kali ini, gue ditelepon ketika sedang di dalam kamar mandi dan sebentar lagi selesai. Selesai juga daya di ponsel gue dan dia pun mati segera setelah gue mengangkat telepon dari kantor.

Untuk kalian yang sering membaca atau menonton berita, gue rasa kalian tahu apa yang terjadi hari itu. Sebuah kehebohan yang disebabkan oleh salah seorang politikus yang sebelum muncul dua kandidat yang sekarang sedang berkampanye telah menggembar-gemborkan dirinya untuk RI 1. Seorang politik yang menurut gue namanya cukup sulit untuk disebut maupun diketik tanpa auto-correction atau suggestion dari Google Keyboard. Dia adalah Rommy dari P3 yang sekaligus salah satu orang penting yang ada di kubu Pak Jokowi.

Entah kebetulan atau memang sudah jalannya, sepertinya ini adalah takdir Tuhan. Anjay sekali bahasa gue. Tapi beneran. Minggu lalu gue mau menuliskan pengalaman gue yang dilempar untuk liputan di tahanan KPK ketika Hari Raya Nyeri. Iya, Nyepi yang harusnya menyepi. Nyepi yang di kalender pemerintah nasional adalah tanggal merah yang artinya libur. Sayang seribu sayang, tidak ada istilah tanggal merah atau Minggu libur buat gue. Karena sejauh ini, gue selalu libur di hari kelahiran gue yaitu hari Sabtu.

Gue diarahkan untuk ke KPK karena kantor mau mencari keluarga dari salah seorang tahanan KPK yang berasal dari Bali. Pikir kantor, keluarga itu akan datang di hari Nyepi. Ternyata, nihil. Bukan keluarga yang dimaksud tapi tahanan KPK di bagian depan cukup ramai oleh segelintir pengunjung.

Para pengunjung yang entah menunggu gilirannya masuk ke dalam ruang pertemuan dengan tahan atau memang hanya menunggu di luar setelah bertemu, mereka kebanyakan telah membawa makanan masing-masing. Dimana jumlahnya tidak sedikit. Gue rasa itu cukup banyak, setidaknya untuk merayakan ulang tahun anak TK yang muridnya gak akan lebih dari 30 orang.

Titipan kantor artinya wajib dikerjakan. Entah berhasil atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting adalah melakukan, mencoba dan berani. Iya, berani. Mengetikkannya di sini sih mudah saja, melakukannya di lapangan tidak semudah itu saudara-saudara. Terlebih lagi gue belum pernah ke KPK dan hari itu tahanan KPK tidak ramai sama sekali, hanya dua-tiga media yang ada di sana. Dan gue anak baru yang masih sangat culun. Dan gue buta.

Apa yang harus gue lakukan? Gue tanya kantor dong, biar gak salah kan ya? Ajaran Korlip gue juga begitu, kalau ada apa-apa yang bilang, tanya, jangan sotoy apalagi spekulatif. Gue bertanya lah ke kantor. Jawabannya apa? "Ya, pake cara lo aja lah gimana."

Siap! Gue langsung menyalakan mode berani, ramah dan baik serta murah senyum dalam diri gue demi mendapatkan hasil. Gue pun mulai mendekati pintu keluar tahanan KPK dimana para keluarga dari tahanan berkeluaran. Gue yang selalu grogi, tegang, degdegan sampai dengan gemetaran ketika melakukan tugas di lapangan pun awalnya hanya menebar senyum dan menyapa mereka yang keluar dan berjalan melewati gue. Gue pertunjukkan senyum terbaik gue sebagai upaya untuk mengambil hati para keluarga agar mau diwawancarai. Hasilnya? Masih nihil.

Tetap berjuang dengan pola yang cukup sama tapi mulai ditambahkan dengan pertanyaan-pertanyaan basa-basi, seperti "Abis jenguk ya?" atau "Tadi jenguk siapa?". Sebagai satu-satunya media online yang ada di tempat itu, gue harus berjuang sendirian dengan cara gue. Gue yang tetap kekeuh untuk berada di dekat pintu keluar dan menyapa setiap yang lalu-lalang pun mendapatkan komentar dari salah satu camera person. "Sales ya?", candanya seperti itu.

Karena candaan itu, gue dalam hati sedikit menggerutu dan kesal karena cuma gue yang begini. Dia dan satu camera person lainnya, tinggal mengambil gambar tanpa perlu repot-repot menyapa. Namun, akhirnya gue mendapatkan hasil. Hasil yang sebenarnya tidak bisa dijadikan bahan berita. Karena yang menanggapi sapaan dan pertanyaan gue dengan pantas hanya dia, seorang anak laki-laki yang ramah dan cukup tampan.

Mungkin, kalau Wahyu melihat apa yang gue lakukan saat itu, dia akan bilang kalau gue sok manis dan sok baik. Tapi ya mau gimana? Demi hasil dari pekerjaan yang gue geluti. Gue bertanya kepada anak laki-laki tersebut.

"Habis jenguk siapa?", tanya gue.

"Papa.", jawabnya ringan.

"Oh... Papa. Tadi ketemu Papa ngapain aja?", gue mencoba mengulik lebih dalam.

"Ya ketemu, ngobrol, nanyain soal pesantren."

Oh! Anaknya masuk pesantren. Cuma kok...., gue membatin.

"Oh, kamu pesantren? Kelas berapa?"

Di bagian ini gue lupa jawabannya apa. Yang jelas dia gak sendirian karena ada dua adik perempuannya yang mengekor di belakangnya serta seorang pengasuh. Dua adiknya pun sama cantiknya.

Keluarga berada, pikir gue begitu.

Terakhir, gue menanyakan sebuah pertanyaan penting tentang identitas ayahnya, "Kalau boleh tahu, nama ayahnya siapa ya?"

Dan dia pun menjawab tanpa ragu-ragu, khawatir maupun takut. Ia adalah anak dari seorang bupati di Pulau Jawa.

Setelah menjawab pertanyaan itu, gak lama ibu dari anak-anak ini keluar dan menghampiri anak-anaknya sambil memberikan gestur untuk tidak mengatakan apapun kepada wartawan.

"Ga usah.", kata Sang Ibu.

Percakapan gue pun gak bisa berlanjut dan terpaksa harus berakhir di situ. Tapi gue tetap memberikan apresiasi kepada keluarga ini dengan mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum terbaik gue ke mereka.

Dari pengalaman Nyepi di tahanan KPK ini, gue mendapat beberapa pemikiran mendadak. Yang pertama terceplos dari mulut gue ketika melihat para keluarga yang membawa makanan banyak ke sana adalah "Kasian sih sebenarnya tapi jadinya gak simpatik soalnya kasusnya korupsi sih." Yang juga diaminkan oleh teman-teman media yang lain.

Jelas, menyedihkan dan sangat tidak enak dan nyaman rasanya ketika lo harus berpisah dengan salah satu anggota keluarga lo. Terlebih mereka masuk ke dalam penjara. Belum lagi, mereka diekspos gila-gila dari berbagai media. Hampir seluruh Indonesia akan tahu siapa dia, entah Bapak atau Ibu lo. Yang lebih miris lagi adalah lo masih bisa bertemu dengan mereka tapi dalam ruang kunjungan di dalam tahanan. Dimana Bapak atau Ibu lo itu mengenakan seragam tahan. Sedih gak lo? Gue sih sedih, jelas!

Tapi, kalau Papa gue seorang koruptor. Nauzubillahi min dzalik! Gue walaupun sedih pasti akan marah ke beliau. Gue akan murka. Mengapa? Karena itu uang rakyat, kalau misalnya korupsinya uang negara. Itu uang orang lain. Itu hak orang lain. Ngapain? Buat apa? Hidup dari hak orang lain. Kaya tapi hasil mencuri. Terlihat elegan, glamor, elit tapi hasil main belakang. Kotor.

Itu satu hal yang gak bisa gue tolelir dari tindak korupsi. Mengambil hak orang lain, mengambil uang negara yang tidak sedikit dari pajak rakyat. Mengambil jerih payah orang lain, yang kita gak tahu mereka bisa membayar pajak ke negara itu dengan usaha yang bagaimana? Siapa yang tahu kalau itu dengan jerih payah, keringat dan air mata, dengan perjuangan yang gak bisa digampangin. Siapa yang tahu mereka harus berhemat sampai tidak makan atau tidak liburan dan yang lainnya demi taat pajak. Gak ada yang tahu. Tapi para korputor itu dengan entengnya mereka mengambil hasil kerja keras dan jerih payah serta hak orang lain ini.

Yang kedua, gue tidak habis pikir dengan mereka-mereka yang korupsi. Padahal, kalau dari apa yang gue lihat saat para keluarga berkunjung, mereka itu orang-orang kaya, orang-orang mampu, orang-orang yang berkecukupan tanpa kekurangan, insyaallah. Terlihat dari apa yang mereka pakai, bagaimana dengan riasannya, belum lagi dengan kendaraan yang dinaiki. Mereka pun punya supir, punya pengasuh, punya asisten rumah tangga yang jelas menggambarkan mereka hidup dalam berkecukupan bahkan lebih karena bisa mempekerjakan orang lain.

Soal dari mana mereka bisa seperti apa yang gue lihat hari itu, kala itu gue tidak begitu memikirkan. Entah mereka memang sudah berkecukupan dan hidup dengan cara seperti itu sebelum menjadi keluarga dari tahanan KPK atau setelahnya. Yang jelas, di sini gue sangat melihat sisi tidak bersyukur dari mereka-mereka yang mendekam dalam tahanan KPK hari ini. Ini juga yang menjadi salah satu alasan gue tidak bisa respek apalagi simpati sama keluarga para tahanan.

Namun, kalau urusan anak, lain ceritanya. Untuk para anak dari tahanan KPK, gue cenderung kasihan dibandingkan simpati. Karena ulah Bapak atau Ibunya, mereka akan menanggung malu seumur hidupnya. Karena apa yang dilakukan Bapak atau Ibunya itu akan menjadi sejarah dan diingat oleh masyarakat. Terlebih kalau kasusnya kasus besar, pasti orang lain akan mudah mengetahuinya dan akan langsung bereaksi seperti, "Oh! Anaknya si X, ya? Yang tersangka KPK itu?". Bayangkan lah kalau lo kayak gitu atau anak lo nanti diperlakukan seperti itu. Nauzubillah summa nauzubillah. Jangan sampai!

Terkait dengan isu di atas, korupsi kalau jumlahnya sudah sangat amat besar, tapi kalau masih kelas bawah yang receh itu namanya mencuri, gue punya cerita. Beberapa waktu terakhir, sekitar dua minggu yang lalu, gue lagi-lagi harus merelakan ponsel gue pergi ke tangan orang lain. 

Entah gimana, yang jelas gue sering banget kehilangan ponsel. Dari dulu, dari gue SD, dari jamannya HP nokia tit-tat-tit-tut yang Abang gue sebut sebagai "HP Gangan", makanan khas Belitung karena warna layarnya kuning sama kayak kuahnya. Sampai dengan ponsel yang gue beli karena mau jadi volunteer Asian Para Games, dimana ponsel yang gue beli saat itu adalah ponsel termahal yang gue punya dan ponsel pertama yang gue usahain sendiri. Ponsel ini hilang di angkot ketika gue mau main ke rumah Wahyu. Iya, kecopetan.

Tapi kali ini beda. Ponsel gue yang gue beli karena gue dituntut untuk punya ponsel dua oleh pekerjaan gue. Gue sebelum mendapatkan gaji pertama gue dari kantor ini sudah membeli ponsel untuk mendukung gue bergerilya di lapangan. Uang hasil gue menjaga instalasi seni di Senayan City akhir tahun lalu yang berakhir dengan segala drama dan perjuangan untuk membuat itu cair. Uang gue habiskan dalam satu malam secara tunai untuk ponsel yang hilang di rumah Nenek gue ketika gue tidur dan ia terletak di sebelah gue, tidur bersama gue dan siap untuk membangunkan gue dengan alarm berlapisnya. 

Kesekian kalinya gue kehilangan ponsel di berbagai tempat dan kondisi membuat gue bisa menghadapinya dengan lebih tenang dan gak grasak-grusuk. Gue yang bangun menemukan keanehan karena ada yang hilang di antara ponsel gue yang lain, yang sekarang gue pakai dan powerbank penyelamat gue di tengah hiruk-pikuk Jakarta dan peliputan. Gue bangun dan langsung mencek semua tempat yang memungkinkan adanya ponsel itu karena gue seorang pelupa akut. Makanya, gue ga mau langsung memutuskan kalau itu hilang dan/atau diambil orang. Bisa jadi ini karena kelupaan gue. 

Tapi, beberapa kali gue cari dengan cukup teliti, gue gak menemukan hasil apapun. Gue gak menemukan ponsel baru gue yang belum ada sebulan dan belum lecet sama sekali itu dimana pun. Di sini gue mulai panik dan mulai berburuk sangka kepada yang lain karena gue tinggal di rumah itu gak sendiri. Terlebih, yang hilang hanya ponsel terbaru yang gue miliki. Ponsel lainnya masih utuh, begitu juga dengan powerback kapasitas 10.000 mAH hasil meminjam dari Giga. Uang yang ada di dompet pun tidak berkurang sama sekali lembaran maupun nominalnya. Apalagi dengan motor yang masih berada di tempat yang sama, begitu juga dengan kuncinya. 

Gue mencoba untuk tidak berburuk sangkat tapi mulai muncul kedongkolan dan amarah dalam diri gue. Ini bukan cuma tentang ponsel yang hilang tapi soal keanehan yang ada. Hanya ponsel itu yang hilang. Padahal saat jam 03.00 gue agak terbangun dari tidur karena ada hal yang memaksa gue untuk bangun pagi, gue masih benar-benar ingat dan merasakan tekstur dari ponsel ini. Namun, dua jam kemudian, jam 05.00 ponsel itu sudah tidak ada lagi. Hanya itu yang tidak ada, yang lain masih di tempat yang sama. Mana mungkin tikus yang ambil ponsel itu, pikirku begitu. 

Ini terlalu aneh untuk terjadi pada kasus pencurian di dalam rumah. Gue bukan sekali dua kali menjadi korban pencurian atas barang-barang berharga di dalam rumah. Namun, dari semua itu gak ada yang modelnya seperti ini. Kalau satu ponsel hilang, maka barang berharga lainnya yang mudah dibawa dan bernilai jual tinggi serta mudah untuk dijual kembali pun akan hilang, raib. 

Kondisi yang seperti ini kemudian memunculkan kecurigaan tersendiri bagi gue dan keluarga gue. Gue mencoba untuk tidak menyebutkan nama tapi setelah dipikir-pikir terjadi beberapa keanehan dan kehilangan yang cukup mirip sebelumnya. Tidak semahal ponsel tapi tetap saja, itu hasil dari gue, gue yang beli dan pakai uang gue sendiri. Terlebih barang-barang lain yang hilang adalah barang yang gue butuhkan dan gue suka. 

Tetapi apa yang gue dapet? Gak ada. Barang gue gak kembali. Malah, lebih menyebalkan daripada itu. Gue dan/atau keluarga gue yang bertanya dengan baik-baik ke pihak terkait bukannya mendapat jawaban yang baik dan sopan malah mendapat gerutuan, malah dapat jawaban dengan nada tinggi, malah dapat kesombongan orang itu karena ponselku nilainya tidak seberapa, malah dapat cerita ngalor-ngidul dimana ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya lebih buruk dan memang berniat mengambil milik orang lain. 

Sejujurnya, gue benar-benar gak peduli dengan semua omong kosong yang tidak bermakna yang ia gelontorkan. Gue gak butuh itu dan itu juga sebenarnya gak menjawab pertanyaan gue. Sebab pertanyaan yang gue lontarkan adalah yes/no question, jadi gue ga butuh penjelasan panjang-lebar yang juga dikeluarkan dengan waktu berhari-hari. Menurut gue, jelas, manusia ini berkelit dan gue cukup melihat potensi besar keterlibatannya. 

Lebih dari itu, gue sungguh amat marah dan dongkol atas perangainya yang kurang ajar dan tidak menghargai orang lain. Entahlah itu harga dan nilainya berapa, yang jelas gue mampu membeli itu dengan jerih payah gue sendiri, dengan hasil kerja keras gue, 14 hari kerja tanpa libur kecuali drop karena flu berat. Dia gak tahu tapi sok tahu dan juga gak peduli. Tipikal manusia yang kayak gini menurut gue sampah. 

Oleh karena itu, terpujilah dia dan orang-orang lain yang memakan hak orang lain, yang hidup dari hak orang lain dan yang meremehkan orang lain. Semoga hidupnya diberkahi dan dijauhi azab serta menjauh dari hidup gue karena gue pun lelah ada di lingkaran yang sama dengan manusia sombong tak beradab serta merasa tak berdosa macam ini. Semoga disucikan hati dan hartanya. Semoga hidup dalam damai dan cepat tobat. Jangan lagi-lagi kayak gitu, kasihan orang lain makan hati. Kasihan juga dia nanti disumpah oleh orang lain.

You Might Also Like

0 komentar