Ketakutan Atas Kesetaraan Yang Selama Ini Dituntut
Selasa, Maret 12, 2019
Gue yang menyebut diri sendiri sebagai feminis. Gue yang selalu ingin disetarakan dengan lelaki. Gue yang gak mau dianggap lemah. Menemui ketakutannya saat benar-benar dipertemukan dengan apa yang selama ini gue tuntut.
Suatu Kamis di bulan Februari lalu, ketika Monas kembali diputihkan oleh segelintir orang yang katanya ingin bermunajat dan berdoa untuk kebaikan negeri ini. Sebuah kegiatan yang diberi nama Munajat 212. Iya, 212 yang ikonik itu. 212 yang berhasil memutihkan Jakarta dan menurunkan Ahok. 212 yang buat gue secara pribadi punya imej negatif. Walaupun Papa gue merupakan salah satu orang yang mendukung ini.
212 kali itu bertepatan dengan hari Kamis. Tepat juga dengan kondisi dimana gak banyak yang bisa gue lakukan hari itu. Sampai munculnya sebuah perbincangan dengan seorang staf humas Kemenko Polhukam yang biasa gue temui. Ia yang melihat gue standby dan gak sesibuk wartawan yang lain yang biasa ia lihat menyarankan gue untuk pindah ke Monas meliput acara 212 itu.
“Ke Monas sana gih! Biar ada berita.”, sarannya begitu.
Hanya saja kekuasaannya bukan di gue. Jadi, gak bisa. Sayang sekali. Jadi ya gue tetep di Kemenko Polkukam dan kala itu juga, sejujurnya yang gue pikirkan cuma gimana nanti gue pulang. Karena jalan di depan Kemenko Polhukam itu akan ditutup dan dialihkan sejak sore. Sementara gue biasa pulang setelah maghrib. Terlebih, di hari itu gue punya janji dengan seorang pemarah. Jadi, kalau telat pasti gue habis dimarahi sama dia.
Agak sore, gue digeser ke Kemlu untuk ketemu senior gue, senior yang beda beberapa bulan dari gue. Seperti biasa, gue disuruh belajar sama Korlip gue. Gimana kalau liputan, gimana mengatur waktu, gimana soal laporan dan lain sebagainya.
Sebenarnya di Kemenlu sehabis Maghrib juga ada agenda hanya saja karena satu dan lain hal yang tidak disebutkan, batal lah agenda itu. Gue, senior detikNews yang beda beberapa bulan itu, senior 20detik yang pernah gue temui sebelumnya, dan dua reporter lainnya menunggu sampai dipulangkan.
Sekitar 18.30, gue dan reporter detik lainnya diperbolehkan pulang dan gak ada di antara kita yang diminta untuk ikut meliput di Munajat Cinta 212 itu. Tenang lah kita para perempuan ini. Iya, semua reporter yang gue temui hari itu di Kemenlu adalah perempuan dan gak ada satu pun dari kita yang pergi ke Monas untuk liputan Munajat 212 itu. Bersyukur lah gue dengan sangat.
Selepas liputan, gue langsung meluncur ke Kuningan dan jalanan di sekitaran Gambir-Tugu Tani gak macet sama sekali. Aman terkendali. Gue sampai di Kuningan lebih dulu. Ketemu sama Wahyu dan kita mau menonton FOXTROT SIX dengan free pass, seperti yang dia janjikan, seperti yang gue mau.
Karena jadwal ketemu kita berdua tergantung jam berapa gue selesai liputan. Biasanya itu di atas jam 19.00 yang artinya jadwal penayangan jam 19.00 pasti gak bisa kita pilih. Maka, midnight show adalah yang terbaik. Sama seperti hari itu. Kamis itu, 21 Februari 2019.
Sebelum gue dan Wahyu masuk ke studio, seperti biasa, kebiasaan yang ditanamkan oleh Korlip gue sebagai reporter detik, gue mengisi waktu luang dengan baca berita sembari iseng googling soal Munajat 212 ini. Rusuh atau enggak? Aman gak?
Dan… gue pun menemukan satu berita yang akhirnya menjawab keresahan gue. Sebuah berita dari CNN, tetangga sebelah, sama-sama anak CT. Sebuah berita awalan yang menyebutkan kalau di sana, di Munajat Cinta 212 ditemukan adanya kericuhan.
Gue menemukan berita di atas jam 21.30 sementara berita dirilis jam 21.19, ada selang 11 menit. Setelah membaca berita itu gue langsung berkabar sama teman-teman detik yang tadi gue temui di Kemlu. Gue mau cek keadaan mereka, aman atau nggak.
Untungnya, mereka aman. Malah, saat kejadian mereka lagi makan nasi goreng di Monas dan kondisi saat itu baik-baik aja katanya. Tapi, salah satu senior gue mengingatkan kalau kondisi teman-teman lain di lapangan yang sedang meliput kemungkinan gak aman.
“Sepertinya orang yang lagi liput kericuhan itu lagi gak aman deh.”, katanya begitu.
Seketika perasaan bercampur aduk. Antara bersyukur karena gue dan yang lainnya bisa pulang lebih awal dengan selamat. Tapi di sisi lain, gue khawatir dengan kondisi yang lain selagi membayangkan kalau gue di posisi mereka, gue akan jadi kayak gimana? Aman gak? Bisa gak gue survive di sana?
Kekhawatiran gue semakin meningkat karena sejauh yang gue cek saat itu, detik belum bikin berita apa pun terkait kejadian itu. Padahal, detik selalu dikenal sebagai media online tercepat dan terdepan dalam pemberitaan. Persis kayak namanya, detik, detik itu juga berita harus tayang. Bahkan, kalau bisa, sebelum media lain rilis.
Gue yang sedari tadi sibuk dengan ponsel untuk memastikan kondisi di lapangan selama Munajat ini berlangsung mendapat teguran dari Wahyu.
“Ngapain sih? Sibuk banget? Udah pulang juga.”, keluhnya.
Saat itu juga, gue langsung bercerita ke Wahyu tentang kondisi di sana. Gue yang mulai kalut ini ditanggapi dengan enteng olehnya.
“Yang penting kan kamu gak di sana. Aman.”, jawabnya.
Bukan itu yang gue maksud sebenarnya. Ini bukan tentang gue, bukan hanya tentang gue lebih tepatnya. Kondisi ini mengingatkan kembali ke percakapan yang gue punya bersama Pak Madi, humas Kemenko Polhukam kebanggaan gue dan yang lainnya. Beliau bertanya, “Kamu kalau disuruh ngeliput di tempat konflik gitu, mau?”
Gue yang hidup diselubungi kesotoyan yang sangat tebal dan membutakan ini dengan enteng menjawab, “Ya, mau, mau aja, Pak. Kalau emang ditugaskan mah, gimana? Gak bisa nolak?”.
Gue menjawab pertanyaan di atas dengan cukup datar sebenarnya. Hanya saja di dalam hati dan pikiran, gue cukup excited. Kenapa? Dengan latar belakang Ilmu Hubungan Internasional, gue belajar tentang perang dan damai, gue belajar soal konflik dan hukum humaniter internasional. Sebuah kesempatan emas dan kehormatan kalau memang suatu saat nanti gue dipercaya untuk meliput ke daerah konflik.
Benar-benar bertemu langsung dengan apa yang gue pelajari selama ini. Semua yang biasanya cuma bisa gue liat dari buku atau web atau video akan bisa gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Gue akan merasakan sensasinya di sekujur tubuh gue. Pasti bakal keren banget!, pikir gue begitu.
Hanya itu yang gue pikirkan. Gue gak memikirkan soal nyawa maupun keluarga atau orang-orang terkasih yang akan menunggu gue pulang ke rumah. Gue gak berpikir sampai ke sana. Pantas saja, Pak Madi merespon dengan wajah getir seakan tidak percaya. Anak kecil di depan matanya rela mengorbankan nyawanya di medan konflik. Gila pasti dia!, pikirnya begitu.
Di sini gue baru mulai berpikir dengan serius mengenai pekerjaan gue dan segala potensi resiko yang muncul. Terlebih, gue adalah reporter di bidang politik, hukum dan keamanan. Bisa dibilang beresiko tinggi. Bukan cuma beresiko untuk menjadi corong dari yang berkepentingan dan masuk ke dalam pusaran setan tak berujung. Tapi juga beresiko atas keselamatan diri sendiri, nyawa. Hidup dan mati.
Gue pun kemudian tertegun dengan kabar yang diberikan dari senior gue tadi. Dia bilang ada tindak kekerasan yang terjadi saat Munajat 212 di atas.
“Wartawan ada yang sempet ditarik ama orang FPI.”, ujarnya memberitahu ku.
Di sini, gue benar-benar tersadar. Kalau pekerjaan gue ini bukan bercandaan, bukan main-main. Dengan segala ketidakpastian yang ada di dalamnya, bukan hanya soal ketidakpastian jam berapa harus berangkat dari rumah, kemana dan akan kembali ke rumah jam berapa. Tapi juga soal ketidakpastian akan apa yang dihadapi di lapangan. Meliput tentang apa dan bagaimana dengan kemungkinan yang ada, mengenai keselamatan, hidup dan nyawa.
Selesainya dari menonton FOXTROT SIX gue gak melanjutkan update mengenai kejadian di atas bahkan pesan dari senior 20detik gue pun belum gue buka dan gue balas. Besok saja, pikir gue.
Paginya, Kak Tika, senior 20 detik gue itu menanyakan posisi gue hari itu, Jumat 22 Februari 2019. Dan baru lah di sini gue melanjutkan perbincangan mengenai kericuhan di atas sembari gue mengecek sendiri dengan baca-baca berita hasil googling.
Dan... gue menemukan bahwa teman sesama jurnalis detikcom jadi salah satu korban kericuhan tersebut. Lebih dari itu, dia pun mengalami tindak kekerasan oleh pihak FPI. Satria, dia dipaksa untuk menghapus video yang direkam. Ia dicekik, dicakar, bajunya pun ditarik.
Entah apes atau apa, dari sekian banyak wartawan yang ada di sana hanya dia yang diperlakukan dengan tidak sepatutnya, dia yang menjadi korban, satu-satunya. Alasannya karena dia berada di posisi paling depan di antara yang lain. Karena dia yang merekam kericuhan tersebut secara penuh, lengkap. Sebagai kerabat yang berada di bawah naungan yang sama, gue tahu cara kerja Satria sebagai reporter 20detik bagaimana.
Gue yang sedari dulu sudah tidak berkenan dengan FPI, ceramah, orasi dan apapun yang mereka lakukan semakin jengah dan ogah melihat kebarbaran yang mereka pertontonkan dalam kesombongan dan kebanggaan. Terlebih media yang menjadi korban dari tindakan mereka adalah detik, kantor gue. Yang artinya, di lapangan nanti, gue memiliki potensi bahaya dan tindak kekerasan yang sama besarnya seperti Satria. Ini yang gue ngeri.
Selain Satria, ada satu lagi korban yang juga mengalami intimidasi. Bukan dari detikcom melainkan dari suara.com, media yang pertama kali merilis berita mengenai hal ini secara detail. Dia adalah Walda. Orang yang berusaha untuk melerai kericuhan yang terjadi kala itu tapi malah kehilangan ponsel yang ia letakkan di kantong. Walda juga yang menjadi saksi dan bisa gue tanyai langsung mengenai hal ini karena beberapa waktu yang lalu gue bertemu dia di Polres Jakarta Selatan.
Ternyata, di luar dugaaan, dunia ini memang sempit kalau sering kemana-mana. Dia adalah senior gue walaupun bukan dari jurusan yang sama tapi kita tetap berasal dari almamater yang sama. Kampus Tercinta, kebanggaan Hutasuhut. Saat gue tanya mengenai kebenaran semua yang terjadi di Munajat yang katanya cinta itu, benar atau tidak, dia bilang, "Iya. Bener. Sampe disuruh jongkok gitu Si Satrianya."
"Lo dibawa ke ruangan juga? Lo liat langsung?", lanjut gue.
"Nggak. Cuma Si Satria doang yang dibawa ke kantor gitu. Sendiri dia.", jawabnya.
Masih di pagi tanggal 22 Februari, akhirnya gue dikirimkan penjelasan dari kantor mengenai kondisi Satria setelah kejadian semalam sebelumnya. Dia aman. Namun pihak kantor gak mau membiarkan begitu saja. Kita, detikcom, melapor ke pihak kepolisian. Satria ditemani oleh Wakil Pimpinan Redaksi yang kalau gue dipanggil ke kantor gue pasti ketemu beliau secara tidak sengaja. Selain itu, juga melakukan pelaporan ke Dewan Pers.
Di sini gue bener-bener ngerasa lega karena detik bertindak tegas atas apa yang terjadi kepada wartawannya. Terlebih, gue cukup terkesan dengan asistensi yang diberikan dari Bang Elvan selaku Wapimred. Gue melihat urgensi dari kantor untuk melakukan perlindungan terhadap reporternya. Di samping itu juga, kasus seperti ini gak bisa dibiarkan begitu saja, gak bisa digampangin karena nantinya bisa jadi kebiasaan dan pembatasan terhadap pers. Yang gue takut akan membawa kita kembali ke jaman kegelapan 20 tahun yang lalu.
Dari kasus di atas pula, gue belajar cukup banyak. Bukan cuma tentang resiko yang harus gue hadapi di lapangan tetapi juga mengenai cara gue harus menghadapi segala masalah yang ada. Gimana gue harus cerdik dan cekatan serta bisa berpikir kreatif sebagaimana yang dilakukan Satria kala itu. Dimana dia gak membiarkan para intimidator untuk mengambil kartu pengenal pers dia melainkan kartu tanda pelajar yang dia kasih. Samapai detik ini, gue masih gak bisa membayangkan kalau gue di posisi Satria. Gue akan jadi apa dan gimana.
Suatu Kamis di bulan Februari lalu, ketika Monas kembali diputihkan oleh segelintir orang yang katanya ingin bermunajat dan berdoa untuk kebaikan negeri ini. Sebuah kegiatan yang diberi nama Munajat 212. Iya, 212 yang ikonik itu. 212 yang berhasil memutihkan Jakarta dan menurunkan Ahok. 212 yang buat gue secara pribadi punya imej negatif. Walaupun Papa gue merupakan salah satu orang yang mendukung ini.
212 kali itu bertepatan dengan hari Kamis. Tepat juga dengan kondisi dimana gak banyak yang bisa gue lakukan hari itu. Sampai munculnya sebuah perbincangan dengan seorang staf humas Kemenko Polhukam yang biasa gue temui. Ia yang melihat gue standby dan gak sesibuk wartawan yang lain yang biasa ia lihat menyarankan gue untuk pindah ke Monas meliput acara 212 itu.
“Ke Monas sana gih! Biar ada berita.”, sarannya begitu.
Hanya saja kekuasaannya bukan di gue. Jadi, gak bisa. Sayang sekali. Jadi ya gue tetep di Kemenko Polkukam dan kala itu juga, sejujurnya yang gue pikirkan cuma gimana nanti gue pulang. Karena jalan di depan Kemenko Polhukam itu akan ditutup dan dialihkan sejak sore. Sementara gue biasa pulang setelah maghrib. Terlebih, di hari itu gue punya janji dengan seorang pemarah. Jadi, kalau telat pasti gue habis dimarahi sama dia.
Agak sore, gue digeser ke Kemlu untuk ketemu senior gue, senior yang beda beberapa bulan dari gue. Seperti biasa, gue disuruh belajar sama Korlip gue. Gimana kalau liputan, gimana mengatur waktu, gimana soal laporan dan lain sebagainya.
Sebenarnya di Kemenlu sehabis Maghrib juga ada agenda hanya saja karena satu dan lain hal yang tidak disebutkan, batal lah agenda itu. Gue, senior detikNews yang beda beberapa bulan itu, senior 20detik yang pernah gue temui sebelumnya, dan dua reporter lainnya menunggu sampai dipulangkan.
Sekitar 18.30, gue dan reporter detik lainnya diperbolehkan pulang dan gak ada di antara kita yang diminta untuk ikut meliput di Munajat Cinta 212 itu. Tenang lah kita para perempuan ini. Iya, semua reporter yang gue temui hari itu di Kemenlu adalah perempuan dan gak ada satu pun dari kita yang pergi ke Monas untuk liputan Munajat 212 itu. Bersyukur lah gue dengan sangat.
Selepas liputan, gue langsung meluncur ke Kuningan dan jalanan di sekitaran Gambir-Tugu Tani gak macet sama sekali. Aman terkendali. Gue sampai di Kuningan lebih dulu. Ketemu sama Wahyu dan kita mau menonton FOXTROT SIX dengan free pass, seperti yang dia janjikan, seperti yang gue mau.
Karena jadwal ketemu kita berdua tergantung jam berapa gue selesai liputan. Biasanya itu di atas jam 19.00 yang artinya jadwal penayangan jam 19.00 pasti gak bisa kita pilih. Maka, midnight show adalah yang terbaik. Sama seperti hari itu. Kamis itu, 21 Februari 2019.
Sebelum gue dan Wahyu masuk ke studio, seperti biasa, kebiasaan yang ditanamkan oleh Korlip gue sebagai reporter detik, gue mengisi waktu luang dengan baca berita sembari iseng googling soal Munajat 212 ini. Rusuh atau enggak? Aman gak?
Dan… gue pun menemukan satu berita yang akhirnya menjawab keresahan gue. Sebuah berita dari CNN, tetangga sebelah, sama-sama anak CT. Sebuah berita awalan yang menyebutkan kalau di sana, di Munajat Cinta 212 ditemukan adanya kericuhan.
Gue menemukan berita di atas jam 21.30 sementara berita dirilis jam 21.19, ada selang 11 menit. Setelah membaca berita itu gue langsung berkabar sama teman-teman detik yang tadi gue temui di Kemlu. Gue mau cek keadaan mereka, aman atau nggak.
Untungnya, mereka aman. Malah, saat kejadian mereka lagi makan nasi goreng di Monas dan kondisi saat itu baik-baik aja katanya. Tapi, salah satu senior gue mengingatkan kalau kondisi teman-teman lain di lapangan yang sedang meliput kemungkinan gak aman.
“Sepertinya orang yang lagi liput kericuhan itu lagi gak aman deh.”, katanya begitu.
Seketika perasaan bercampur aduk. Antara bersyukur karena gue dan yang lainnya bisa pulang lebih awal dengan selamat. Tapi di sisi lain, gue khawatir dengan kondisi yang lain selagi membayangkan kalau gue di posisi mereka, gue akan jadi kayak gimana? Aman gak? Bisa gak gue survive di sana?
Kekhawatiran gue semakin meningkat karena sejauh yang gue cek saat itu, detik belum bikin berita apa pun terkait kejadian itu. Padahal, detik selalu dikenal sebagai media online tercepat dan terdepan dalam pemberitaan. Persis kayak namanya, detik, detik itu juga berita harus tayang. Bahkan, kalau bisa, sebelum media lain rilis.
Gue yang sedari tadi sibuk dengan ponsel untuk memastikan kondisi di lapangan selama Munajat ini berlangsung mendapat teguran dari Wahyu.
“Ngapain sih? Sibuk banget? Udah pulang juga.”, keluhnya.
Saat itu juga, gue langsung bercerita ke Wahyu tentang kondisi di sana. Gue yang mulai kalut ini ditanggapi dengan enteng olehnya.
“Yang penting kan kamu gak di sana. Aman.”, jawabnya.
Bukan itu yang gue maksud sebenarnya. Ini bukan tentang gue, bukan hanya tentang gue lebih tepatnya. Kondisi ini mengingatkan kembali ke percakapan yang gue punya bersama Pak Madi, humas Kemenko Polhukam kebanggaan gue dan yang lainnya. Beliau bertanya, “Kamu kalau disuruh ngeliput di tempat konflik gitu, mau?”
Gue yang hidup diselubungi kesotoyan yang sangat tebal dan membutakan ini dengan enteng menjawab, “Ya, mau, mau aja, Pak. Kalau emang ditugaskan mah, gimana? Gak bisa nolak?”.
Gue menjawab pertanyaan di atas dengan cukup datar sebenarnya. Hanya saja di dalam hati dan pikiran, gue cukup excited. Kenapa? Dengan latar belakang Ilmu Hubungan Internasional, gue belajar tentang perang dan damai, gue belajar soal konflik dan hukum humaniter internasional. Sebuah kesempatan emas dan kehormatan kalau memang suatu saat nanti gue dipercaya untuk meliput ke daerah konflik.
Benar-benar bertemu langsung dengan apa yang gue pelajari selama ini. Semua yang biasanya cuma bisa gue liat dari buku atau web atau video akan bisa gue lihat dengan mata kepala gue sendiri. Gue akan merasakan sensasinya di sekujur tubuh gue. Pasti bakal keren banget!, pikir gue begitu.
Hanya itu yang gue pikirkan. Gue gak memikirkan soal nyawa maupun keluarga atau orang-orang terkasih yang akan menunggu gue pulang ke rumah. Gue gak berpikir sampai ke sana. Pantas saja, Pak Madi merespon dengan wajah getir seakan tidak percaya. Anak kecil di depan matanya rela mengorbankan nyawanya di medan konflik. Gila pasti dia!, pikirnya begitu.
Di sini gue baru mulai berpikir dengan serius mengenai pekerjaan gue dan segala potensi resiko yang muncul. Terlebih, gue adalah reporter di bidang politik, hukum dan keamanan. Bisa dibilang beresiko tinggi. Bukan cuma beresiko untuk menjadi corong dari yang berkepentingan dan masuk ke dalam pusaran setan tak berujung. Tapi juga beresiko atas keselamatan diri sendiri, nyawa. Hidup dan mati.
Gue pun kemudian tertegun dengan kabar yang diberikan dari senior gue tadi. Dia bilang ada tindak kekerasan yang terjadi saat Munajat 212 di atas.
“Wartawan ada yang sempet ditarik ama orang FPI.”, ujarnya memberitahu ku.
Di sini, gue benar-benar tersadar. Kalau pekerjaan gue ini bukan bercandaan, bukan main-main. Dengan segala ketidakpastian yang ada di dalamnya, bukan hanya soal ketidakpastian jam berapa harus berangkat dari rumah, kemana dan akan kembali ke rumah jam berapa. Tapi juga soal ketidakpastian akan apa yang dihadapi di lapangan. Meliput tentang apa dan bagaimana dengan kemungkinan yang ada, mengenai keselamatan, hidup dan nyawa.
Selesainya dari menonton FOXTROT SIX gue gak melanjutkan update mengenai kejadian di atas bahkan pesan dari senior 20detik gue pun belum gue buka dan gue balas. Besok saja, pikir gue.
Paginya, Kak Tika, senior 20 detik gue itu menanyakan posisi gue hari itu, Jumat 22 Februari 2019. Dan baru lah di sini gue melanjutkan perbincangan mengenai kericuhan di atas sembari gue mengecek sendiri dengan baca-baca berita hasil googling.
Dan... gue menemukan bahwa teman sesama jurnalis detikcom jadi salah satu korban kericuhan tersebut. Lebih dari itu, dia pun mengalami tindak kekerasan oleh pihak FPI. Satria, dia dipaksa untuk menghapus video yang direkam. Ia dicekik, dicakar, bajunya pun ditarik.
Entah apes atau apa, dari sekian banyak wartawan yang ada di sana hanya dia yang diperlakukan dengan tidak sepatutnya, dia yang menjadi korban, satu-satunya. Alasannya karena dia berada di posisi paling depan di antara yang lain. Karena dia yang merekam kericuhan tersebut secara penuh, lengkap. Sebagai kerabat yang berada di bawah naungan yang sama, gue tahu cara kerja Satria sebagai reporter 20detik bagaimana.
Gue yang sedari dulu sudah tidak berkenan dengan FPI, ceramah, orasi dan apapun yang mereka lakukan semakin jengah dan ogah melihat kebarbaran yang mereka pertontonkan dalam kesombongan dan kebanggaan. Terlebih media yang menjadi korban dari tindakan mereka adalah detik, kantor gue. Yang artinya, di lapangan nanti, gue memiliki potensi bahaya dan tindak kekerasan yang sama besarnya seperti Satria. Ini yang gue ngeri.
Selain Satria, ada satu lagi korban yang juga mengalami intimidasi. Bukan dari detikcom melainkan dari suara.com, media yang pertama kali merilis berita mengenai hal ini secara detail. Dia adalah Walda. Orang yang berusaha untuk melerai kericuhan yang terjadi kala itu tapi malah kehilangan ponsel yang ia letakkan di kantong. Walda juga yang menjadi saksi dan bisa gue tanyai langsung mengenai hal ini karena beberapa waktu yang lalu gue bertemu dia di Polres Jakarta Selatan.
Ternyata, di luar dugaaan, dunia ini memang sempit kalau sering kemana-mana. Dia adalah senior gue walaupun bukan dari jurusan yang sama tapi kita tetap berasal dari almamater yang sama. Kampus Tercinta, kebanggaan Hutasuhut. Saat gue tanya mengenai kebenaran semua yang terjadi di Munajat yang katanya cinta itu, benar atau tidak, dia bilang, "Iya. Bener. Sampe disuruh jongkok gitu Si Satrianya."
"Lo dibawa ke ruangan juga? Lo liat langsung?", lanjut gue.
"Nggak. Cuma Si Satria doang yang dibawa ke kantor gitu. Sendiri dia.", jawabnya.
Masih di pagi tanggal 22 Februari, akhirnya gue dikirimkan penjelasan dari kantor mengenai kondisi Satria setelah kejadian semalam sebelumnya. Dia aman. Namun pihak kantor gak mau membiarkan begitu saja. Kita, detikcom, melapor ke pihak kepolisian. Satria ditemani oleh Wakil Pimpinan Redaksi yang kalau gue dipanggil ke kantor gue pasti ketemu beliau secara tidak sengaja. Selain itu, juga melakukan pelaporan ke Dewan Pers.
Di sini gue bener-bener ngerasa lega karena detik bertindak tegas atas apa yang terjadi kepada wartawannya. Terlebih, gue cukup terkesan dengan asistensi yang diberikan dari Bang Elvan selaku Wapimred. Gue melihat urgensi dari kantor untuk melakukan perlindungan terhadap reporternya. Di samping itu juga, kasus seperti ini gak bisa dibiarkan begitu saja, gak bisa digampangin karena nantinya bisa jadi kebiasaan dan pembatasan terhadap pers. Yang gue takut akan membawa kita kembali ke jaman kegelapan 20 tahun yang lalu.
Dari kasus di atas pula, gue belajar cukup banyak. Bukan cuma tentang resiko yang harus gue hadapi di lapangan tetapi juga mengenai cara gue harus menghadapi segala masalah yang ada. Gimana gue harus cerdik dan cekatan serta bisa berpikir kreatif sebagaimana yang dilakukan Satria kala itu. Dimana dia gak membiarkan para intimidator untuk mengambil kartu pengenal pers dia melainkan kartu tanda pelajar yang dia kasih. Samapai detik ini, gue masih gak bisa membayangkan kalau gue di posisi Satria. Gue akan jadi apa dan gimana.
0 komentar