Liputan Atas Berita Emosional: Tindak Asusila Terhadap Anak
Rabu, Maret 06, 2019
Hari ini berkesempatan untuk liputan untuk sebuah
berita yang selalu berhasil bikin gue emosi tiap bacanya yaitu tentang tindak asusila orang tua terhadap anak. Dalam kesempatan ini, kasusnya adalah seorang ayah kandung yang menyetubuhi anak kandungnya yang sudah lama berpisah. Keduanya
berpisah karena ayah dan ibu dari korban telah bercerai.
Gue yang akhirnya menemui pelaku kasus semacam ini
secara langsung pun emosinya semakin menjadi. Sampai-sampai pas ada kesempatan
pelaku berbicara, menjawab pertanyaan dari polisi. Tapi dia lebih seperti
bergumam dibanding berbicara dengan jelas. Gue pun ketus menyuruhnya untuk
memperjelas omongannya itu. Bahkan sebelumnya, sebelum konferensi pers dimulai,
badan ini sudah mulai mendidih melihat kelakuan manusia yang biasa gue hujat
dengan, ‘Sakit jiwa! Gak ada otaknya!’.
Ya, benar saja lah. Mana ada orang tua yang sehat dan
waras mau menyetubuhi anak kandungnya sendiri dengan sadar tanpa pengaruh
minuman keras apa lagi obat terlarang? Jelas, hanya yang rusak pikirannya yang
begitu. Pemikiran gue sama seperti salah satu penyidik kasus di atas. “Kalau dibilang gila sih gila. Cuma bukan yang secara psikologis gitu lho, Mbak.”, ujar
penyidik.
Saat berbincang dengan penyidik pun gue bertanya
mengenai pencegahan tindak asusila terhadap anak. Karena beberapa waktu
terakhir ini sering banget gue baca soal kasus serupa. Dimana pelakunya adalah
orang terdekat, bahkan mereka yang menjadi awal kehidupan dari anak, orang
tua, ayah bahkan ibu kandung. Cukup mengecewakan karena dari pihak kepolisian
pun sejauh ini belum menemukan pencegahan untuk kasus ini. Mereka cuma bilang
kalau biasanya kasus ini biasanya terjadi di keluarga dengan latar belakang
ekonomi dan pendidikan rendah.
Ya bayangkan saja, untuk kasus di atas saja ayah
korban berumur 37 tahun sementara anak berumur 13 tahun 10 bulan, hamper 14
tahun. Artinya, ayahnya menikah di usia 24 tahun. Dimana menurut gue itu adalah
usia yang cukup muda untuk seorang lelaki menikahi perempuan dan memutuskan
untuk hidup bersama serta bertanggung jawab atasnya. Terlebih, saat ini
pekerjaan sang ayah sendiri hanyalah seorang buruh bangunan yang bisa dibilang
pekerjaan yang gak tentu. Kalau lagi ada ya ada, kalau lagi gak ada
pembangunan, gimana? Bener, kan? Selain itu juga, alamat yang disertakan oleh
pihak kepolisian untuk rilis media pun menyebutkan kalau sang ayah ini bisa
tinggal dimana saja. Sangat linear dengan apa yang dikatakan oleh penyidik.
Tingkat ekonomi dan edukasi seseorang dalam hidupnya,
menurut gue, berjalan beriringan. Entah mana yang lebih dulu, entah ekonomi
atau pendidikan, menurut gue itu sama saja, penting gak penting. Sama persis
kayak pertanyaan, ‘Mana yang lebih dulu, ayam atau telur?’. Sampai pusing kayak
gimana pun, gue tetep gak mengerti. Tapi yang jelas, dengan pendidikan yang
baik, seseorang akan mampu mengembangkan dirinya dan mengetahui potensinya
sehingga bisa bekerja dengan baik pula dan menghasilkan kondisi yang baik untuk
keluarganya. Sama halnya dengan kondisi ekonomi sebuah keluarga, mereka yang
stabil dan baik akan mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik
menurut mereka agar anaknya terdidik dan jadi pribadi yang baik untuk
masyarakat. Terus begitu siklusnya.
Dan gue adalah seorang manusia yang cukup sensitif
dengan pendidikan atau konten edukasi, entah formal atau informal. Sensitif di
sini, gue bisa mengklaim diri gue bisa sangat gak nyantai kalau melihat orang
lain atau teman yang bisa menganggap remeh proses belajar-mengajar atau proses
edukasi yang lainnya. Kadang mereka yang seperti itu, gue gak paham, mereka itu
ingat atau nggak sama kerja keras, jerih payah orang tua mereka untuk
nyekolahin mereka dan bikin mereka pintar. Padahal, disekolahkan, dibuat jadi
pintar itu bukan buat siapa-siapa, buat diri sendiri dan masa depannya. Sisanya,
itu tanda terima kasih ke orang tua saja, bakti kepada orang tua, dan menurut
gue itu wajib. Segimana pun, sekecil apa pun. Yang penting ada, selagi bisa,
selagi mampu.
Oke, ini melebar kemana-mana, jadi balik lagi ke
perbincangan gue dengan penyidik kasus asusila di atas. Gue yang juga selalu
gemas dengan kasus pelecehan seksual yang sering terjadi di angkutan umum, khususnya
KRL arah Bogor atau sebaliknya pun menanyakan hal ini ke penyidik, berharap
akan mendapatkan pencerahan. Tapi jawabannya apa? Gak jauh berbeda dengan jawab
orang awam yang sering gue baca di sosial media. “Ya gimana ya? Kalau gitu
susah juga. Soalnya gak ada buktinya. Paling teriak aja atau injek kakinya atau
sikut aja. Kalau nggak, bawa aja peniti kecil gitu terus tusuk.”, jawab
penyidik.
Jujur saja, pas penyidik yang notabene adalah seorang
perempuan juga, sama kayak gue dan yang lainnya yang pernah menjadi korban
kasus semacam ini tapi mati kutu gak bisa ngapa-ngapain dan langsung ciut, bilang
kayak gitu gue sangat getir di dalam hati. Terlebih, penyidik ini ngomongnya sambal
agak sedikit senyum gitu, gue gak ngerti kenapa begitu, entah canggung atau
gimana. Yang jelas gue cukup terganggu dengan gesturnya dan menurut gue gak semestinya.
Lagi-lagi, perempuan yang ada di ruang publik harus
mampu untuk melindungi dirinya sendiri karena gak akan ada orang lain yang akan
melindungi kalau bukan dari diri sendiri. Kejam gak sih? Gue kadang berpikir
kalau dunia emang sekejam itu. Benar-benar sebuah self-help system. Realis banget. Sama kayak pernyataan yang sering
gue dan atau orang lain sering ulang-ulang, ‘Kalau bukan diri sendiri yang
berjuang, gak akan ada orang lain yang memperjuangkan hal itu buat lo.’ Sebuah konsep
tanggung jawab yang gue mengerti dengan cukup baik. Tapi dalam implementasinya
tidak sesederhana itu. Tidak semudah itu, khususnya ketika kondisi sedang tidak
baik dan membutuhkan orang lain untuk dijadikan sandaran.
Perempuan yang selalu menjadi korban dan sering
tereksploitasi karena kasus kekerasan seksual yang dialaminya, terus-menerus
diingatkan untuk memperhatikan bagaimana ia membawa dirinya di lingkungan
sekitar. Sama seperti gue yang bertanya dengan adanya fenomena begal payudara
yang cukup marak pemberitaannya sejak akhir tahun lalu. Jujur, gue pun baru
tahu istilah ini dan cukup kaget dengan modus baru kebrengsekan lelaki bejat di
luar sana.
Mirip kayak begal yang sering jadi pemberitaan dengan
mengincar harta benda dari target atau melakukan begal hanya untuk menunjukkan
jati diri demi pengakuan dari teman-teman sebaya. Tapi begal ini yang diincar
bukan harta benda material, uang atau ponsel, bukan. Yang diincar adalah
payudara dari para korban. Di Yogyakarta, yang menjadi korban adalah turis
asing sedang berjalan di malam hari bersama temannya. Lain lagi dengan di Jombang, yang menjadi korban saat menggendarai motor sepulang dari kondangan
bersama teman.
Saat ditanya mengenai kasus ini, sampai hari ini
Polsek Jakarta Selatan belum mendapatkan laporan. Namun untuk melakukan
tindakan pencegahan, lagi-lagi, perempuan diarahkan untuk tidak keluar rumah
pada malam hari dan menggunakan pakaian yang tidak terbuka. Meskipun penyidik
pun tahu kalau itu adalah hak setiap orang untuk memilih baju yang dikenakan
olehnya. Dalam hati, gue jengah dengan semua ini.
Gue lelah dengan semua narasi yang ditujukan kepada
perempuan untuk mengatur dirinya sedemikian rupa agar tidak menjadi korban
pelecehan seksual dalam bentuk apapun. Mau sampai kapan perempuan diperlakukan
seperti itu? Padahal yang bejat dan tidak bertanggung jawab adalah para pelaku.
Mau dengar cerita gue? Sebuah cerita yang hanya
segelintir orang yang tahu, bahkan keluarga. Orang tua gue pun gak tahu soal
ini sampai sekarang. Tapi, gak bakal diceritain sekarang. Nanti aja.
0 komentar