Trail Trail: Tahura 2020

Senin, Februari 24, 2020

Mencoba peruntungan tahun baru dengan mengikuti sebuah giveaway di Instagram. Kali ini hadiahnya adalah slot Tahura Trail Run di Bandung. Giveaway-nya cukup mudah karena gue relate banget sama hal ini karena berkaitan dengan filosofi dalam berlari. Buat lo yang sudah mengikuti gue sejak beberapa waktu terakhir, mungkin tahu atau bahkan bosan dengan pembahasan ini. Iya, masih berkutat di lari sebagai pelarian.

Namun, karena ini giveaway dan pasti ada jurinya, hadiahnya pun cukup menarik. Kapan lagi kan gue menang slot lari gratisan? Ya harus dimaksimalkan makanya! Akhirnya, gue pun cukup berusaha dan menulis filosofi itu dengan cukup baik. Sekaligus, memamerkan kemampuan menulis gue.

Dok. GoFit
Cukup percaya diri dengan filosofi yang gue miliki ditambah dengan bagaimana gue menuliskan itu, gue pun menjadi pemenang giveaway yang mendapatkan satu slot lari Tahura 2020 untuk kategori 10K. Lumayan banget, kan?

Sebagai manusia yang cenderung melakukan sesuatu baru berpikir kemudian, gue pun baru menyadari kalau Tahura itu diselenggarakan di awal tahun, tepatnya di tanggal 18 Januari 2020. Sementara giveaway-nya sudah berlangsung sebelum akhir tahun dan gue juga nothing to lose sebenarnya. Karena memang kondisi kaki belum memungkinkan. Masih sakit, anggap saja cidera pasca Indonesia Night Run 2019 yang membuat gue merasakan podium waktu itu.

Cukup panik tapi gue tetap mengurus semua administrasinya. Nggak juga bilang ke admin GoFit, sebagai penyelenggara giveaway, kalau gue mungkin nggak akan pergi ke Bandung untuk ini. Agak bimbang. Namun, permintaan GoFit untuk melihat update gue saat Tahura nanti menjadi tanggung jawab tersendiri.

Sudah punya dua slot lari untuk tahun 2020. Satunya adalah Volcano Run 2020 yang dilaksanakan di Merapi pada bulan Maret. Satunya lagi, slot dadakan, rejeki untuk pergi ke Bandung. Sayangnya, keduanya masih ragu untuk gue eksekusi karena kondisi kaki.

Ketidakpercayaan diri ini bahkan membuat gue sudah mengambil ancang-ancang untuk skenario terburuk kalau benar-benar nggak bisa lari. Pasalnya, slot Superball gue pun harus gue lepaskan karena memang nggak mampu untuk gue larikan sendiri. Gue sudah memberi tahu teman-teman kemungkinan gue harus jual slot ini karena nggak bisa lari. Sayangnya, Tuhan berkata lain.

Satu-dua orang memang menawarkan diri untuk membeli slot Tahura gue ini. Kategori 10K memang nggak begitu populer sih sebenarnya. Namun, masih ada juga yang mencari. Sayangnya, Jakarta tidak cukup kondusif di awal tahun karena banjir yang melanda. Akhirnya, orang-orang yang berminat dengan slot ini pun mengurungkan niatnya untuk hal yang lebih penting, membenahi rumah mereka pasca banjir.

Dok. Pribadi
Namun, sejujurnya, gue juga setengah hati untuk melepas slot Tahura 2020 ini. Bagaimana nggak? Ini akan menjadi pengalaman pertama trail run gue. Tahun baru, awal yang baru dengan pengalaman baru. Sayang banget untuk dilewatkan. Terlebih, ini Bandung. Kota yang selalu ingin gue kunjungi. Kota yang punya imajinasi dan tempat tersendiri buat gue.

Akhirnya, dengan modal cinta terhadap Bandung, gue pun memutuskan untuk tetap berangkat. Meski sendirian, meski nggak tahu juga harus menginap di mana.

Pengalaman pertama trail run. Pengalaman pertama lari keluar kota dan sendirian. Nggak mudah. Tanpa komunitas, tanpa teman yang mengurus akomodasi, gue harus mencari semuanya sendiri. Tanya sana-sini, modal SKSD dan berani. Sayangnya, nggak ada yang cocok dengan gue. Kategorinya beda, race day-nya pun berbeda. Nggak bisa diandalkan, harus sendiri, independen.

Berpikir, berpikir, berpikir. Akhirnya, gue pun mengontak salah satu teman masa SMA yang masih tinggal di Bandung. Alhamdulillah, ada bala bantuan. Setidaknya, gue tahu dimana harus menginap tanpa bingung lagi cari penginapan terdekat di venue.

Inda, adik kelas gue semasa SMA, satu tingkat di bawah gue. Nggak hobi lari tapi cukup baik karena mau menampung orang yang tiba-tiba mengontaknya karena kebutuhan mendesak. Padahal, waktu itu dia ke Jakarta gue nggak sempat untuk mendatanginya. Parah emang! Jangan dicontoh ya!

Lebih enak lagi. Karena kosan Inda nggak jauh dari shuttle bus travel. Kosan gue yang di Kebon Jeruk pun nggak jauh dari shuttle bus Baraya. Cita-cita gue ke Bandung dengan naik kereta Parahyangan pun gagal. Terlebih, sekarang sudah ada tol elevasi yang baru di Cikampek, rasanya naik kereta ke Bandung agak sayang aja gitu. Biayanya pun akan sedikit lebih mahal. Dari tiket keretanya sendiri. Ditambah dengan transportasi yang harus dikeluarkan dari dan menuju stasiun masing-masing, baik di Jakarta maupun di Bandung nanti. Sayang, mubazir.

Berangkat Sabtu siang dari Jakarta karena race day gue itu hari Minggu, beda sama yang kategori full marathon atau half marathon. Lumayan, ada waktu tidur tambahan di Sabtu pagi setelah Jumatnya tetap latihan bersama yang lain.

Gue yang jarang banget ke luar kota ini pun menjadi norak, menganggap apa yang gue lakukan menuju Bandung sebagai sebuah karyawisata. Ya, nggak salah juga sih. Karena emang konsep yang gue bawa dari Jakarta untuk Tahura 2020 ini adalah fun walk. Gue mencoba memahami kondisi kaki gue dan nggak mau memaksakan. Terlebih, ini kan larinya di alam, gue membayangkan kalau ini akan jadi lari yang chill parah, bakal healing banget karena memang gue memulai tahun ini pun tidak dengan mulus dan cukup stressful. Jadi, ya sudah, gue mau menikmati aja. Lari dan alam yang ada di sana.

Bener-bener ngerasa kalau perjalanan ini kayak piknik, gue pun pas di rest area, ya beneran kayak anak sekolahan aja gitu. Nyari makan siang di Indomaret untuk sebuah Onigiri dan sosis bakar. Anak pemalas yang nggak mau repot, akhirnya nyari yang gampang-gampang aja dan cepat. Makannya pun mudah, nggak perlu ribet seduh-seduh kayak Pop Mie.

Habis mengantre di Indomaret yang panjangnya lumayan juga, gue pun menikmati santap siang seadanya itu di tempat duduk berpayung Teh Sosro yang nggak jauh dari mini bus travel gue. Posisi yang cukup aman untuk tahu kapan harus kembali lagi dan mendengar kalau ada yang memberi tahu.

Baru gigitan pertama sosis bakar yang masih panas dan saosnya yang menempel di tangan, gue pun harus kembali ke bus. Gue rapikanlah sosis bakar, onigiri, dompet dan buku yang gue pegang. Semuanya di tangan tanpa kantong plastik, agak repot, terlebih tangan yang lengket karena saos dan gue nggak bawa tisu sama sekali. Usaha sekali membuka pintunya.

Bus kembali berjalan. Perjalanan berlanjut. Begitu juga dengan sesi makan siang gue. Sosis bakar berhasil gue habiskan dan memasukkannya ke bungkus Chitato rasa keju yang gue bawa dari kosan. Sebuah usaha untuk membuat saos yang ada di dalamnya nggak kemana-mana.

Lalu, gue pun melanjutkan membaca buku yang diselingi menelepon adik gue yang di pesantren. Hari itu jadwal dia dijenguk, sayangnya, gue nggak bisa ke sana karena jadwal Tahura ini. Menelepon gue lakukan sebagai sogokan biar dia nggak marah-marah. Iya, dia pemarah. Sama pemarahnya kayak gue. 

Dok. Pribadi
Percakapan kami pun hanya membahas novel Tere Liye. Siapa sudah baca apa dan apa saja yang belum ada dan mau kami baca. Kami perlu melengkapi koleksi yang ada. Dua novel tersisa yang masih absen di lemari kami dan gue berjanji untuk membelinya. Mereka adalah ‘Pulang’ dan ‘Negeri Para Bedebah’. Sisanya, adik gue sudah memborong dari Gramedia waktu itu. Saat jatah pulang dan liburan akhir tahun. Bapak gue dirampok untuk ini. Rp. 500.000 sendiri untuk setumpuk novel Tere Liye itu. Siapa yang mengajarinya? Siapa lagi kalau bukan kakaknya ini. Ha ha ha.

Sampai di Bandung pukul 17.00 WIB. Inda sudah menunggu gue di shuttle Baraya Surapati 1. Nggak perlu usaha, jalan sedikit di gang sebelahnya, kami pun sampai di kosannya. Kosan yang sedikit lebih besar dan lebih rapi dibandingkan kosan gue.

Nggak banyak yang gue lakukan di sana. Sekadar bertukar cerita dan menanyakan kondisinya. Lalu, kami membeli makan malam yang tak jauh dari kosan. Gue pun membeli soto babat. Inda membeli dimsum, gue juga ikutan. Serta, bandrek yang jarang banget gue temui di Jakarta. Makan malam kali ini lumayan banyak, carbo loading katanya mah. Persiapan trail run yang gue nggak tahu gimana, yang jelas itu akan lebih berat dan lama dibandingkan road run. Jadi, ya, begitu lah.

Menghabiskan semua itu butuh usaha. Karena makan soto babat ditambah nasi itu rupanya banyak banget. Sotonya sendiri banyak soalnya. Berkah sekali carbo loading kali ini. Belum lagi dimsumnya. Tapi semua habis dalam satu malam dan gue langsung tidur. Terbaik, kan?

Biasanya gue nggak begitu. Biasanya, race ya race aja. Nggak carbo loading atau hidrasi sejak sebelumnya. Kadang juga masih bandel karena tetap begadang meski besoknya race. Padahal, semua itu nggak baik dan nggak menunjang performa terbaik saat race. Tapi, kondisi kaki yang nggak maksimal bukan sebuah bercandaan. Gue nggak mau menyusahkan orang lain di sana. Gue tetap mau bisa finish strong meski harus jalan, makanya gue Tahura 2020 ini sebagai fun walk. Yang paling penting, gue nggak mau mempermalukan diri gue sendiri atas ketidakmampuannya. Gue sudah menjadi bagian dari sebuah kelompok pelari elit, anggap lah begitu. Gue sudah pernah merasakan yang namanya podium. Kalau gue berdrama ria nanti, gue semacam menelan ludah sendiri hasil mengejek orang lain. Nggak lucu, kan?

Tidur lebih awal. Bangun tepat waktu tapi rasanya aneh. Karena Tahura mulai race-nya itu pukul 07.00 WIB. Pengalaman gue selama ini mengikuti race, yang semuanya adalah road race, kami biasa flag off, bahkan sebelum adzan Subuh untuk kategori full marathon. Jadi, gue bisa bilang Tahura ini cukup siang. Punya waktu lah gue untuk mengulur-ulur waktu dan leha-leha. Terlebih, gue sendirian, buat apa datang duluan? Aneh rasanya.

Lebih aneh dan panik lagi, ketika gue akan berangkat ternyata di luar hujan, gerimis. Kekhawatiran gue meningkat karena ini berkaitan dengan keselamatan. Kaki sakit, nggak pakai sepatu trail, hujan, pasti treknya licin. Gue mesti banget hati-hati.

Tapi, untungnya, saat sampai di Taman Hutan Raya Juanda yang jadi venue race, hujannya sudah reda. Lega lah gue.

Oh iya, sebagai orang yang nggak pernah ke Bandung, gue pun norak dengan jalan yang gue lewati. Bukan norak yang gimana. Namun, lebih yang berpikir cukup dalam soal bagaimana jalan itu bisa ada. Gue jadi mengingat kembali jalan-jalan yang gue lalui ketika ke Dieng beberapa tahun yang lalu. Lalu, gue berpikir, bagaimana bisa manusia membuat jalan di gunung? Apa yang mereka lakukan sampai begini? Random thought.

Sampai di venue race, anak hilang ini pun akhirnya bertemu dengan seseorang, Koh Nico. Orang yang pertama kali gue temui di Jakarta Marathon 2019. Sebenarnya, gue juga nggak kenal-kenal banget sama doi. Waktu di Superball kemarin pun gue ketemu dia lagi kan, cuma agak lupa sama namanya, jadi nggak negor deh. Masalah gue dan ingatan ini, harap dimaklumi. Gue pun bertukar sapa sama dia. Sayangnya, dia nggak lari, di sini dia jadi fotografer aja. Kayak waktu itu di Jakarta Marathon 2019, dia juga fotoin gue dan teman-teman lainnya yang lagi cheering.

Setelah sedikit tersesat dan nggak tahu arah dimana drop bag untuk menaruh tas sepatu yang gue bawa. Gue pun ke lapangan dan melakukan pemanasan, tentu saja sendirian. Nggak lama dari itu, gue pun melihat Bang Akbar datang dari arah tepat di depan gue. Gue pun menegurnya, lebih tepatnya, meneriakinya.

“Sendirian?” tanyanya.
“Iya.” jawab gue polos.

Dan gue pun melanjutkan pemanasan gue sampai selesai, yang sebenarnya nggak seberapa juga sih. Lalu, gue pun kembali ke arah gue datang, ke jalan yang akan dijadikan start untuk race kali ini.

Dok. Pribadi
Dengan kondisi kaki yang tidak maksimal, gue pun tidak memaksakan diri. Gue nggak mencari posisi terbaik, di barisan paling depan. Awalnya, gue tahu diri untuk menjadi kelompok orang yang berada di barisan belakang. Namun, makin lama gue berjalan semakin ke depan. Cukup depan sampai gue bisa melihat timer dengan cukup jelas.

Saat menunggu flag off, gue pun kembali bertemu dengan Bang Akbar. Ia yang katanya menemani ‘Ibu Negara’ pun membalas sapaan gue. Namun, kami nggak berlari bersama. Gue terus berjalan semakin ke depan. Dia dengan kelompoknya, gue dengan diri gue sendiri, mencoba menikmati dan mandiri.

Ada sedikit pengarahan dari panitia. Sebagai pemula dan pelari yang pertama kali trail running, gue pun mendengarkan dengan seksama sampai pada satu momen dimana panitia meminta para pelari untuk membawa folded cup selama berlari sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan plastik yang akhirnya menjadi sampah, sekaligus untuk menjadi ramah terhadap lingkungan. Gue, si sotoy ini pun bersyukur karena gue pada akhirnya memutuskan untuk membawa gelas tersebut. Padahal, awalnya nggak ada niatan begitu. Dan ternyata, sepanjang race, gelas itu sangat membantu.

Race pun dimulai. Gue berusaha lari sebaik mungkin, namun tetap menjaga diri. Perlahan saja tapi pasti, yang penting bisa finish dan nggak malu-maluin. Di awal-awal, tentunya banyak sekali orang yang melewati gue. Sungguh, ini momen paling menyebalkan dan nggak gue suka sebenarnya. Karena tiap ada orang yang melewati gue, itu akan menjadi cobaan tersendiri, untuk konsentrasi gue dan juga mentalitas gue. Masalahnya, ini 10 km lho! Trail running! Dan gue sendirian dengan kondisi kaki begini. Apa yang diharapkan?

Agak berat memang di awal-awal. Agak engap. Tapi lama-kelamaan gue belajar dan berusaha untuk menikmati. Bandung yang selama ini gue rindukan, kota yang selalu ingin gue kunjungi, dingin yang ingin gue rasakan, akhirnya bisa gue rasakan secara langsung.

Dok. Pribadi
Iya, memang awal race agak sedikit gerimis, dingin juga. Tapi, seiring terus berlari, nggak begitu terasa. Gue menikmati kondisi sekitar. Pemandangan hijau yang terbentang. Kebun-kebun di gunung, pemukiman warga, jalan-jalan yang masih berkabut, tanjakan pertama yang elevasinya bikin mulas dengan orang-orang yang kebanyakan memilih untuk berjalan kaki pun menjadi hiburan tersendiri untuk gue yang beberapa waktu terakhir merasa ‘kering’ ini.

Tanjakan pertama, bahkan sebelum menyentuh kilometer pertama, yang panjangnya mungkin bisa sampai 300-500 meter menjadi cobaan tersendiri. Untung, gue sudah mendapatkan sedikit briefing dari Bang Afan sebelum ke sini. Beliau pun menggambarkan rute Tahura ini dengan cukup baik sehingga gue bisa bersiap-siap.

“Kalau tanjakan, jangan lari! Capek! Jalan aja. Power walk,” katanya waktu itu.

Oh oke! Gue pun mengamalkan dengan baik. Nggak ada ceritanya gue lari saat menanjak. Nggak sayang sama lutut lagi namanya kalau memaksakan diri begitu. Gue hanya akan berlari di jalanan yang rata atau menurun, meski yang ini perlu hati-hati agar nggak terjatuh, terpeleset dan sebagainya.

Lima tahun setelah lulus SMA, gue menghabiskan sebagian besar waktu gue di Jakarta. Gue merasa benar-benar sebagai seorang Jakartan, orang kota. Gue lupa dengan kondisi dan suasana di kampung, di pedesaan, di daerah. Ke Bandung, ikut Tahura seperti ini menjadi kebahagiaan tersendiri. Kembali bersatu dengan alam, kembali bisa menikmatinya dengan seada-adanya. Gue pun bisa melepaskan sedikit kepenatan ibukota. Dan gue bersyukur atas hal ini, gue bersyukur gue tetap memilih di Tahura Trail 2020 ini.

Kombinasi rute Tahura cukup baik dan seimbang menurut gue, ada jalan beton, aspal, mulai memasuki perkebunan dan hutan sampai becek-becekan di jalan setapak tanah licin bekas hujan dengan antrean yang menjalar ke belakang. Antrean ini yang kemudian membuat gue berinteraksi dengan pelari lainnya. Sendirian, rasanya canggung untuk memulai percakapan dengan orang-orang sekitar.

Dok. Pribadi

Dok. Pribadi
Sampai akhirnya, ada seorang perempuan paruh baya meminta tolong gue untuk memfotokan dirinya. Kemudian, gue pun meminta tolong hal yang sama kepada beliau. Saling bergantian, bahkan kami pun berfoto bersama dengan seorang bapak paruh baya lainnya, yang rupanya, beliau juga baru pertama kali trail running, sama seperti gue ini.

Belajar sabar dengan mengantre di jalan setapak, berusaha untuk nggak egois dengan menyerobot atau menyalip antrean yang ada. Gue pun beberapa kali menyahuti komentar atau keluhan orang-orang di sekitar, salah satunya adalah bapak paruh baya yang tadi gue sebutkan. Kesabaran gue pun kemudian diuji ketika ada beberapa pelari yang nggak mau bersabar dan mencari jalan cepat lainnya, menyerobot melalui sebelah kiri jalan setapak yang sudah ada, dimana mereka sebenarnya masuk dalam kebun seseorang.

Gue sangat tahu kalau diri gue ini tidak sabaran, gue pun ingin segera, cepat-cepat melewati titik itu, tapi kan nggak bisa, gue pun nggak memaksa. Gue juga di situ mencoba untuk beradab dan menghormati warga sekitar, salah satunya dengan tidak memasuki dan menginjak kebun mereka. Nggak menginjak tanamannya sih, cuma kan, tetap aja. Ini nggak jauh beda dengan lo masuk ke halaman orang lain tanpa minta izin, main nyelonong masuk aja. Sopan? Gue rasa nggak.

Itu baru satu yang memincu emosi gue. Pemicu emosi lainnya adalah ketika di titik antrean lainnya, gue menemukan seorang perempuan yang mungkin seumuran dengan gue, perempuan ini nggak sabar sampai akhirnya dia memotong antrean. Dan kalian tahu apa yang terjadi selanjutnya? Dia kepeleset dong. Makin emosi lah hamba ini.

Gue lebih emosi lagi karena ternyata Mbak itu nggak menggunakan sepatu trail, yang artinya, dia seharusnya nggak seburu-buru itu. Keselamatan kan nomor satu. Gue pun nggak mengenakan sepatu trail karena memang belum punya. Tapi, gue memilih sepatu road running gue yang paling aman, yang setidaknya, ada teksturnya, yang bisa membantu gue di trek yang licin dan berlumpur seperti saat itu.

Nah, Mbak itu tuh nggak. Karena, sepengelihatan gue, dia memakai sepatu yang solnya gel dan gue sangat yakin kalau tekstur outsole yang rata dan nggak bisa diandalkan untuk trek trail running. Tipikal sepatu road gimana sih? Kebayang kan? Nah, kayak begitu lah sepatu Mbak itu.

Dok. Pribadi
Kadar emosi jiwa gue pun semakin meninggi karena ternyata Mbak ini adalah Mbak yang membuat gue getir di trek peralihan antara jalan menuju hutan. Dimana gue melihat sepasang manusia yang sedang berjalan berdua, laki-laki dan perempuan, sedang berpegangan tangan. Gue yang jomblo pada saat itu pun rasanya ingin marah. Mencemari pemandangan gue saja! Nggak tahu apa, gue juga mau kayak begitu.

Sayang aja, nggak ada yang bisa menemani saat lari seperti ini. Nggak ada yang menguatkan di kala letih. Nggak ada juga yang membantu ketika tergelincir, seperti Mbak itu yang akhirnya membuat gue dongkol dalam hati dan gue menganggapnya drama. Iya, memang gue iri ya! Iri tanda nggak punya, emang!

Dok. Pribadi
Namun, emosi gue dengan Mbak ini belum berakhir. Karena, trek jalan setapak yang licin dan agak rumit untuk dilewati ini pun masih cukup panjang dan lama. Menyebalkannya, mereka, two love birds itu ada di depan gue dan gue nggak bisa mendahului karena keterbatasan ruang. Di titik ini, gue sebal bukan karena drama mereka yang bermesraan ya, bukan. Gue kesal tuh karena si Mbak ini tuh terkesan buru-buru dan ingin cepat-cepat tapi gerakannya lambat dan takut kotor gitu. Gue jadi menghakimi kan jadinya. Tapi, apa sih yang diharapkan dari lari trail kayak begini? Finish dengan keadaan bersih seperti berangkat dari rumah? Menurut gue sih, nggak mungkin.

Sudah lah, lupakan pasangan kekasih yang menguras emosi jiwa itu. Gue pun berhasil melewati mereka kemudian, penuh dengan usaha. Terbebas dari trek sempit dan becek gue pun bisa menyalip beberapa orang meski kami masih berada di dalam hutan. Bebas lah gue dari emosi yang menguji kesabaran.

Namun, kemudian yang menguji kesabaran bukan lagi orang lain, melainkan diri sendiri dan ketahanan kakinya. Sampai di water station terakhir,  gue masih bisa bertahan dengan cukup baik, maksudnya, gue masih cukup konsisten untuk menjaga diri tetap berlari. Setelah itu, kebanyakan gue melakukan lari kecil yang diselingi dengan sedikit jalan. Paha kanan gue mulai bereaksi, ia mulai merasa sakit. Gue pun nggak bisa memaksakan diri lebih jauh lagi. Pelan-pelan, yang penting bisa finish.

Oh iya, selama race itu gue nggak berhenti untuk ke water station sama sekali berkat gue membawa folded cup. Meski sakit, gue tetap berambisi, nggak mau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengantre di water station. Toh, gue udah punya dan bawa sendiri, pikir gue begitu. Gue baru ke mengisi persediaan air di water station terakhir. Sebelumnya gue mengambil satu potong melon di water station yang berada di dalam hutan, sekadar untuk membasahi tenggorokan sekaligus menjawab rasa ingin tahu, bagaimana sih rasanya lari sambil makan melon. Konyol, ya? Rasa ingin tahu macam apa ini? Tapi, memang gue belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, tentu saja gue penasaran. Nggak salah, kan?

Di beberapa kilometer terakhir, gue kerap kali berpapasan dengan pelari lain yang mulai melambat. Sama seperti gue, mereka pun kadang berlari sedikit, lalu berjalan sebentar. Ketika giliran gue melewati mereka yang sedang berjalan sementara gue berlari, gue pun menyemanti. Sementara saat gue yang berjalan dan giliran mereka yang mendahului, mereka pun memberi semangat pada gue.

Dok. Tahura Trail Running Race 2020

Dok. Tahura Trail Running Race 2020
Sebenarnya, gue melakukan semua itu untuk memberi semangat ke diri gue sendiri sih. Semangat buat diri sendiri yang didapatkan dari menyemangati orang lain. Sama, seperti gue menyapa tiap-tiap panitia yang gue temui di jalan. Gue menyapa mereka, entah kenal atau nggak, entah mereka peduli atau nggak, entah mereka sibuk atau nggak. Tujuannya apa? Gue mendapatkan tenaga dan semangat untuk tetap berlari. Seorang ekstrover ini merasa sangat sepi dan ‘kering’ ketika nggak ada satu pun orang yang bisa diajak berinteraksi, ditambah, ia pun nggak menemukan orang lain yang ia kenal. Kasihan sekali. Untungnya, gue punya strategi.

Bertemulah gue dengan penanda KM 9, yang artinya tinggal satu kilometer terakhir, kan? Artinya, finish sudah dekat, kan? Tapi, tak seperti yang kau bayangkan, Saudara! Finish-nya masih jauh nggak kelihatan. Nggak udah-udah ini larinya. Mau menyerah juga sudah tanggung parah, kan ya? Lari kan saja sampai selesai.

Sampai gue bertemu Goa Jepang yang disebut oleh Bang Afan sebelumnya. Dari sana jalanan sudah bagus, kembali bertemu aspal bahkan ada beberapa meter jalan yang dikeramik karena situs wisata. Di sini, gue mulai tergiur. Gue mulai mendambakan kasih sayang, bukan, tentu saja bukan, mulai mendambakan finish yang lebih dekat. Tapi… masih lumayan jauh kawan-kawan. Pantas saja, di sana sepi. Itu hanya inginmu Zakia! Itu hanya inginmu!, gue merutuki diri sendiri.

Masih mengitari Tahura, gue pun kemudian berada di barisan teman-teman RIOT dengan kaus hitam khasnya. Gue juga hari itu pakai kaos hitam sih, tapi 361 Runners dan nggak yakin kalau yang lain cukup tahu soal komunitas ini. He he. Pesimis.

Mereka yang dari RIOT ini semuanya laki-laki dan bertubuh besar. Sementara gue ini semacam kurcaci agak merasa terintimidasi. Namun, tujuan gue cuma satu sih, segera finish. Nggak peduli lagi sama yang lain. Bahkan ketika mengantre untuk menaiki jalan setapak licin lainnya, ada seorang fotografer di sana, gue berusaha untuk menampilkan senyum terbaik di antara lelaki RIOT ini. Sayangnya, gue nggak dijepret. Kesal hati ini.

Benar-benar semakin dekat dengan garis finish, gue mendengar riuh-reda orang-orang menyemangati bahkan ada yang membawa senar drumnya sendiri. saat gue melewati kerumunan orang ini, rupanya, mereka dari RIOT. Tidak heran lah gue. Mereka benar-benar menyemangati, menawarkan diri untuk bertukar highfive. Awalnya, gue agak ragu karena… gue siapa? Gue juga nggak yakin mereka tahu gue dari mana. Gue juga takut kalau mereka hanya menyemangati pelari RIOT yang berada di depan gue, lalu acuh sama gue yang ada di belakangnya. Ternyata, nggak. Mereka tetap menyemangati gue dan kami pun bertukar tos satu per satu. Ini pun kemudian menjadi suntikan semangat terakhir gue sebelum finish.

Mulai kembali menapaki jalan yang tadi dilewati setelah flag off. Kini jalanan itu sudah penuh orang yang tumpah ruah di kedua sisi jalan. Sesungguhnya, buat gue pribadi, ini agak mengganggu karena membatasi ruang pelari yang mungkin, kayak gue, kalau di beberapa meter terakhir akan memaksakan diri untuk mendapat waktu terbaiknya. Di meter-meter terakhir pun biasanya ada salip-salipan yang sengit dan gue pun mengalami ini, antara gue menyalip satu-dua orang atau mengalah dengan menepi agar pelari lain bisa mendahului dengan aman. Namun, ada satu bapak yang menyemangati, beliau sedang merekam dengan ponselnya dan benar-benar terasa semangatnya, gue berterima kasih untuk beliau ini.

Sampai di garis finish, untuk pertama kalinya dalam kehidupan perlarian ini gue pun berusaha bergaya saat finish. Gue mengerahkan tenaga untuk melompat agar difoto dengan epic. Tapi, yakin nggak yakin gitu. Mengapa? Karena setelah gue melewati garis finish banyak orang yang menumpuk di sana dan probabilitas lensa yang memotret gue terhalangi cukup besar. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi?

Setelah finish, gue pun menangis. Nggak mengerti juga alasannya apa. Entahkah karena berhasil finish setelah 12 km berlari. Iya, di Strava tercatat kalau kategori 10K Tahura Trail Run 2020 yang gue ambil ini sejauh itu. Lebih dua kilometer, pantas saja nggak selesai-selesai ya rasanya. Entah juga karena memang benar sedih sebab tidak ada yang menunggu di garis finish, entah pasangan atau sesama kawan lari. Pokoknya sedih. Terasa sendiri lari sendiriannya. Benar-benar sendiri kali ini.

Berhenti dari tangis, gue pun ke refreshment line untuk mengambil minum. Itu yang terpenting. Lalu, mengambil medali setelah lagi-lagi berkeliling terlebih dahulu karena buta peta lokasi dan kemudian melakukan pendinginan. Sendiri lagi dong tentunya, mau sama siapa lagi?

Dok. Pribadi
Sedang melakukan pendinginan, gue pun memberikan laporan kepada teman-teman ‘elit’ 361 Runners. Lebih tepatnya, menjawab pertanyaan Michelle soal gue sudah finish atau belum. Gue pun membalas dengan menyertakan foto yang memamerkan medali Tahura Trail Run 2020 yang lucu sekali menurut gue, bentuknya angklung. Melanjutkan pendinginan, gue pun ditanya oleh Bang Akbar dan diminta untuk merapat, katanya, akan ditraktir makan mie, iya, Indomie. Mungkin dia kasihan sama anak kecil yang sendirian ini. Gue iyakan.

“Nanti habis selesai pendinginan,” kata gue menjawab.

Dok. Teh Kay
Masih dalam posisi pendinginan, gue pun bertemu dengan Teh Kay. Rupanya ia ikut Tahura juga tapi untuk kategori 17K. Ia pun meminta gue untuk bangkit dari posisi pendinginan gue untuk berfoto bersama, selfie tentunya, untuk laporan di grup besar.

Selesai pendinginan, gue membersihkan sepatu yang penuh dengan lumpur. Tadi, gue sempat tercelup ke sebuah kubangan kecil lumpur, nggak sengaja. Dan sebelum melakukan pendinginan, gue pun melihat ada deretan keran yang disediakan untuk membersihkan sepatu, tidak lupa dengan sikatnya. Gue pun membersihkan sepatu dengan sangat teliti, sebersih yang gue mampu dan gue bisa. Setidaknya, saat gue pulang ke Jakarta, gue nggak akan membawa-bawa lumpur dan tanah Bandung ini.

Kemudian, gue pun mengambil tas gue dan memrapikan semua barang bawaan dengan seksama, jangan sampai ada yang tertinggal. Lalu, gue pergi untuk menemui Bang Akbar, bukan untuk menangih traktirannya. Namun, lebih untuk menyapanya dengan baik dan benar, sebuah bentuk kesopanan dari seorang Zakia yang… ya… begitulah.

Saat gue datangi, dia pun sebenarnya masih sibuk dengan kelompoknya yang lain, sedang mengobrol dan bersenda gurau. Gue nggak begitu masalah sih sebenarnya, biasa aja.

“Duduk dimana?” Tanya gue kaku dan canggung.
“Di situ.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu dengan meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan. Hanya tersisa ruang untuk satu orang. Sayangnya, gue nggak cukup cepat sehingga perlu mencari kursi lainnya.

Dengan baterai ponsel yang pas-pasan, gue pun mengecek akun sosial media gue sambil menunggu mie yang gue pesan matang, Indomie Kari pakai telur dengan cabai rawit. Lebih sedap lagi, kalau kuahnya pakai susu full cream. Tapi jangan bertingkah, Zek! Ini aja dibayarin orang.

Pesanan gue pun datang. Gue santaplah segera sebelum ia mendingin, seperti tingkah lakunya hari ini. Lalu, Bang Akbar pun datang dan duduk di sebelah gue.

“Gimana?” tanyanya, memulai pembicaraan.
“Nagih sih, parah!” jawab gue bersemangat.

Lalu, gue pun menceritakan sedikit soal kekesalan gue dengan Mbak yang gue sebutkan di atas. Nggak banyak yang kita bicarakan. Ia pun undur diri.

“Ditinggal nggak apa-apa, kan?” tanyanya sedikit khawatir.
“Nggak apa-apa kok, Bang. Langsung balik?” tanya gue.
“Iya. Bareng rombongan dari Bogor.” jawabnya.

Ia pun berjalan menjauh dan gue kembali melanjutkan memakan Indomie selera dan kebanggaanku. Sampai habis dan berjalan keluar Tahura dengan matahari yang sudah lumayan tinggi. Mulai panas, gue pun menunggu ojek online di bawah sebuah pohon yang cukup teduh dan memiliki bayangan, bukan masa lalu, yang bisa melindungi dari sinar matahari pekat.

Lalu, gue pun pulang ke kosan teman gue nggak jauh dari Jalan Surapati. Berakhirlah cerita Tahura Trail Run 2020 gue di sini. Sampai jumpa satu tahun lagi, semoga gue sudah memiliki sepatu trail dan kondisi kaki yang prima untuk berlari.

You Might Also Like

0 komentar