Trail Trail: Tahura 2020
Senin, Februari 24, 2020
Mencoba
peruntungan tahun baru dengan mengikuti sebuah giveaway di Instagram. Kali ini hadiahnya adalah slot Tahura Trail
Run di Bandung. Giveaway-nya cukup
mudah karena gue relate banget sama
hal ini karena berkaitan dengan filosofi dalam berlari. Buat lo yang sudah
mengikuti gue sejak beberapa waktu terakhir, mungkin tahu atau bahkan bosan
dengan pembahasan ini. Iya, masih berkutat di lari sebagai pelarian.
Namun,
karena ini giveaway dan pasti ada
jurinya, hadiahnya pun cukup menarik. Kapan lagi kan gue menang slot lari
gratisan? Ya harus dimaksimalkan makanya! Akhirnya, gue pun cukup berusaha dan
menulis filosofi itu dengan cukup baik. Sekaligus, memamerkan kemampuan menulis
gue.
Dok. GoFit |
Cukup
percaya diri dengan filosofi yang gue miliki ditambah dengan bagaimana gue
menuliskan itu, gue pun menjadi pemenang giveaway
yang mendapatkan satu slot lari Tahura 2020 untuk kategori 10K. Lumayan banget,
kan?
Sebagai
manusia yang cenderung melakukan sesuatu baru berpikir kemudian, gue pun baru
menyadari kalau Tahura itu diselenggarakan di awal tahun, tepatnya di tanggal
18 Januari 2020. Sementara giveaway-nya
sudah berlangsung sebelum akhir tahun dan gue juga nothing to lose sebenarnya. Karena memang kondisi kaki belum
memungkinkan. Masih sakit, anggap saja cidera pasca Indonesia Night Run 2019
yang membuat gue merasakan podium waktu itu.
Cukup
panik tapi gue tetap mengurus semua administrasinya. Nggak juga bilang ke admin
GoFit, sebagai penyelenggara giveaway,
kalau gue mungkin nggak akan pergi ke Bandung untuk ini. Agak bimbang. Namun,
permintaan GoFit untuk melihat update
gue saat Tahura nanti menjadi tanggung jawab tersendiri.
Sudah
punya dua slot lari untuk tahun 2020. Satunya adalah Volcano Run 2020 yang
dilaksanakan di Merapi pada bulan Maret. Satunya lagi, slot dadakan, rejeki
untuk pergi ke Bandung. Sayangnya, keduanya masih ragu untuk gue eksekusi
karena kondisi kaki.
Ketidakpercayaan
diri ini bahkan membuat gue sudah mengambil ancang-ancang untuk skenario
terburuk kalau benar-benar nggak bisa lari. Pasalnya, slot Superball gue pun
harus gue lepaskan karena memang nggak mampu untuk gue larikan sendiri. Gue
sudah memberi tahu teman-teman kemungkinan gue harus jual slot ini karena nggak
bisa lari. Sayangnya, Tuhan berkata lain.
Satu-dua
orang memang menawarkan diri untuk membeli slot Tahura gue ini. Kategori 10K
memang nggak begitu populer sih sebenarnya. Namun, masih ada juga yang mencari.
Sayangnya, Jakarta tidak cukup kondusif di awal tahun karena banjir yang
melanda. Akhirnya, orang-orang yang berminat dengan slot ini pun mengurungkan
niatnya untuk hal yang lebih penting, membenahi rumah mereka pasca banjir.
Dok. Pribadi |
Akhirnya,
dengan modal cinta terhadap Bandung, gue pun memutuskan untuk tetap berangkat.
Meski sendirian, meski nggak tahu juga harus menginap di mana.
Pengalaman
pertama trail run. Pengalaman pertama lari keluar kota dan sendirian. Nggak
mudah. Tanpa komunitas, tanpa teman yang mengurus akomodasi, gue harus mencari
semuanya sendiri. Tanya sana-sini, modal SKSD dan berani. Sayangnya, nggak ada
yang cocok dengan gue. Kategorinya beda, race
day-nya pun berbeda. Nggak bisa diandalkan, harus sendiri, independen.
Berpikir,
berpikir, berpikir. Akhirnya, gue pun mengontak salah satu teman masa SMA yang
masih tinggal di Bandung. Alhamdulillah, ada bala bantuan. Setidaknya, gue tahu
dimana harus menginap tanpa bingung lagi cari penginapan terdekat di venue.
Inda,
adik kelas gue semasa SMA, satu tingkat di bawah gue. Nggak hobi lari tapi
cukup baik karena mau menampung orang yang tiba-tiba mengontaknya karena
kebutuhan mendesak. Padahal, waktu itu dia ke Jakarta gue nggak sempat untuk
mendatanginya. Parah emang! Jangan dicontoh ya!
Lebih
enak lagi. Karena kosan Inda nggak jauh dari shuttle bus travel. Kosan gue yang
di Kebon Jeruk pun nggak jauh dari shuttle bus Baraya. Cita-cita gue ke Bandung
dengan naik kereta Parahyangan pun gagal. Terlebih, sekarang sudah ada tol
elevasi yang baru di Cikampek, rasanya naik kereta ke Bandung agak sayang aja
gitu. Biayanya pun akan sedikit lebih mahal. Dari tiket keretanya sendiri.
Ditambah dengan transportasi yang harus dikeluarkan dari dan menuju stasiun
masing-masing, baik di Jakarta maupun di Bandung nanti. Sayang, mubazir.
Berangkat
Sabtu siang dari Jakarta karena race day
gue itu hari Minggu, beda sama yang kategori full marathon atau half
marathon. Lumayan, ada waktu tidur tambahan di Sabtu pagi setelah Jumatnya
tetap latihan bersama yang lain.
Gue
yang jarang banget ke luar kota ini pun menjadi norak, menganggap apa yang gue
lakukan menuju Bandung sebagai sebuah karyawisata. Ya, nggak salah juga sih.
Karena emang konsep yang gue bawa dari Jakarta untuk Tahura 2020 ini adalah fun walk. Gue mencoba memahami kondisi
kaki gue dan nggak mau memaksakan. Terlebih, ini kan larinya di alam, gue
membayangkan kalau ini akan jadi lari yang chill
parah, bakal healing banget
karena memang gue memulai tahun ini pun tidak dengan mulus dan cukup stressful. Jadi, ya sudah, gue mau
menikmati aja. Lari dan alam yang ada di sana.
Bener-bener
ngerasa kalau perjalanan ini kayak piknik, gue pun pas di rest area, ya beneran kayak anak sekolahan aja gitu. Nyari makan
siang di Indomaret untuk sebuah Onigiri dan sosis bakar. Anak pemalas yang
nggak mau repot, akhirnya nyari yang gampang-gampang aja dan cepat. Makannya
pun mudah, nggak perlu ribet seduh-seduh kayak Pop Mie.
Habis
mengantre di Indomaret yang panjangnya lumayan juga, gue pun menikmati santap
siang seadanya itu di tempat duduk berpayung Teh Sosro yang nggak jauh dari
mini bus travel gue. Posisi yang cukup aman untuk tahu kapan harus kembali lagi
dan mendengar kalau ada yang memberi tahu.
Baru
gigitan pertama sosis bakar yang masih panas dan saosnya yang menempel di
tangan, gue pun harus kembali ke bus. Gue rapikanlah sosis bakar, onigiri,
dompet dan buku yang gue pegang. Semuanya di tangan tanpa kantong plastik, agak
repot, terlebih tangan yang lengket karena saos dan gue nggak bawa tisu sama
sekali. Usaha sekali membuka pintunya.
Bus
kembali berjalan. Perjalanan berlanjut. Begitu juga dengan sesi makan siang
gue. Sosis bakar berhasil gue habiskan dan memasukkannya ke bungkus Chitato
rasa keju yang gue bawa dari kosan. Sebuah usaha untuk membuat saos yang ada di
dalamnya nggak kemana-mana.
Lalu,
gue pun melanjutkan membaca buku yang diselingi menelepon adik gue yang di
pesantren. Hari itu jadwal dia dijenguk, sayangnya, gue nggak bisa ke sana
karena jadwal Tahura ini. Menelepon gue lakukan sebagai sogokan biar dia nggak
marah-marah. Iya, dia pemarah. Sama pemarahnya kayak gue.
Percakapan kami
pun hanya membahas novel Tere Liye. Siapa sudah baca apa dan apa saja yang
belum ada dan mau kami baca. Kami perlu melengkapi koleksi yang ada. Dua novel
tersisa yang masih absen di lemari kami dan gue berjanji untuk membelinya. Mereka
adalah ‘Pulang’ dan ‘Negeri Para Bedebah’. Sisanya, adik gue sudah memborong
dari Gramedia waktu itu. Saat jatah pulang dan liburan akhir tahun. Bapak gue
dirampok untuk ini. Rp. 500.000 sendiri untuk setumpuk novel Tere Liye itu.
Siapa yang mengajarinya? Siapa lagi kalau bukan kakaknya ini. Ha ha ha.
Sampai
di Bandung pukul 17.00 WIB. Inda sudah menunggu gue di shuttle Baraya Surapati
1. Nggak perlu usaha, jalan sedikit di gang sebelahnya, kami pun sampai di
kosannya. Kosan yang sedikit lebih besar dan lebih rapi dibandingkan kosan gue.
Nggak
banyak yang gue lakukan di sana. Sekadar bertukar cerita dan menanyakan
kondisinya. Lalu, kami membeli makan malam yang tak jauh dari kosan. Gue pun
membeli soto babat. Inda membeli dimsum, gue juga ikutan. Serta, bandrek yang
jarang banget gue temui di Jakarta. Makan malam kali ini lumayan banyak, carbo loading katanya mah. Persiapan trail run yang gue nggak tahu gimana,
yang jelas itu akan lebih berat dan lama dibandingkan road run. Jadi, ya, begitu lah.
Menghabiskan
semua itu butuh usaha. Karena makan soto babat ditambah nasi itu rupanya banyak
banget. Sotonya sendiri banyak soalnya. Berkah sekali carbo loading kali ini. Belum lagi dimsumnya. Tapi semua habis
dalam satu malam dan gue langsung tidur. Terbaik, kan?
Biasanya
gue nggak begitu. Biasanya, race ya race aja. Nggak carbo loading atau hidrasi sejak sebelumnya. Kadang juga masih
bandel karena tetap begadang meski besoknya race.
Padahal, semua itu nggak baik dan nggak menunjang performa terbaik saat race. Tapi, kondisi kaki yang nggak
maksimal bukan sebuah bercandaan. Gue nggak mau menyusahkan orang lain di sana.
Gue tetap mau bisa finish strong
meski harus jalan, makanya gue Tahura 2020 ini sebagai fun walk. Yang paling penting, gue nggak mau mempermalukan diri gue
sendiri atas ketidakmampuannya. Gue sudah menjadi bagian dari sebuah kelompok
pelari elit, anggap lah begitu. Gue sudah pernah merasakan yang namanya podium.
Kalau gue berdrama ria nanti, gue semacam menelan ludah sendiri hasil mengejek
orang lain. Nggak lucu, kan?
Tidur
lebih awal. Bangun tepat waktu tapi rasanya aneh. Karena Tahura mulai race-nya itu pukul 07.00 WIB. Pengalaman
gue selama ini mengikuti race, yang
semuanya adalah road race, kami biasa
flag off, bahkan sebelum adzan Subuh
untuk kategori full marathon. Jadi,
gue bisa bilang Tahura ini cukup siang. Punya waktu lah gue untuk mengulur-ulur
waktu dan leha-leha. Terlebih, gue sendirian, buat apa datang duluan? Aneh
rasanya.
Lebih
aneh dan panik lagi, ketika gue akan berangkat ternyata di luar hujan, gerimis.
Kekhawatiran gue meningkat karena ini berkaitan dengan keselamatan. Kaki sakit,
nggak pakai sepatu trail, hujan,
pasti treknya licin. Gue mesti banget hati-hati.
Tapi,
untungnya, saat sampai di Taman Hutan Raya Juanda yang jadi venue race, hujannya sudah reda. Lega
lah gue.
Oh
iya, sebagai orang yang nggak pernah ke Bandung, gue pun norak dengan jalan
yang gue lewati. Bukan norak yang gimana. Namun, lebih yang berpikir cukup
dalam soal bagaimana jalan itu bisa ada. Gue jadi mengingat kembali jalan-jalan
yang gue lalui ketika ke Dieng beberapa tahun yang lalu. Lalu, gue berpikir,
bagaimana bisa manusia membuat jalan di gunung? Apa yang mereka lakukan sampai
begini? Random thought.
Sampai
di venue race, anak hilang ini pun akhirnya bertemu dengan seseorang, Koh Nico.
Orang yang pertama kali gue temui di Jakarta Marathon 2019. Sebenarnya, gue
juga nggak kenal-kenal banget sama doi. Waktu di Superball kemarin pun gue
ketemu dia lagi kan, cuma agak lupa sama namanya, jadi nggak negor deh. Masalah
gue dan ingatan ini, harap dimaklumi. Gue pun bertukar sapa sama dia.
Sayangnya, dia nggak lari, di sini dia jadi fotografer aja. Kayak waktu itu di
Jakarta Marathon 2019, dia juga fotoin gue dan teman-teman lainnya yang lagi cheering.
Setelah
sedikit tersesat dan nggak tahu arah dimana drop bag untuk menaruh tas sepatu
yang gue bawa. Gue pun ke lapangan dan melakukan pemanasan, tentu saja
sendirian. Nggak lama dari itu, gue pun melihat Bang Akbar datang dari arah
tepat di depan gue. Gue pun menegurnya, lebih tepatnya, meneriakinya.
“Sendirian?”
tanyanya.
“Iya.”
jawab gue polos.
Dan
gue pun melanjutkan pemanasan gue sampai selesai, yang sebenarnya nggak
seberapa juga sih. Lalu, gue pun kembali ke arah gue datang, ke jalan yang akan
dijadikan start untuk race kali ini.
Dengan
kondisi kaki yang tidak maksimal, gue pun tidak memaksakan diri. Gue nggak
mencari posisi terbaik, di barisan paling depan. Awalnya, gue tahu diri untuk
menjadi kelompok orang yang berada di barisan belakang. Namun, makin lama gue
berjalan semakin ke depan. Cukup depan sampai gue bisa melihat timer dengan cukup jelas.
Saat
menunggu flag off, gue pun kembali
bertemu dengan Bang Akbar. Ia yang katanya menemani ‘Ibu Negara’ pun membalas
sapaan gue. Namun, kami nggak berlari bersama. Gue terus berjalan semakin ke
depan. Dia dengan kelompoknya, gue dengan diri gue sendiri, mencoba menikmati
dan mandiri.
Ada
sedikit pengarahan dari panitia. Sebagai pemula dan pelari yang pertama kali trail running, gue pun mendengarkan
dengan seksama sampai pada satu momen dimana panitia meminta para pelari untuk
membawa folded cup selama berlari
sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan plastik yang akhirnya menjadi sampah,
sekaligus untuk menjadi ramah terhadap lingkungan. Gue, si sotoy ini pun
bersyukur karena gue pada akhirnya memutuskan untuk membawa gelas tersebut.
Padahal, awalnya nggak ada niatan begitu. Dan ternyata, sepanjang race, gelas
itu sangat membantu.
Race pun dimulai. Gue berusaha lari sebaik mungkin, namun tetap menjaga
diri. Perlahan saja tapi pasti, yang penting bisa finish dan nggak malu-maluin. Di awal-awal, tentunya banyak sekali
orang yang melewati gue. Sungguh, ini momen paling menyebalkan dan nggak gue
suka sebenarnya. Karena tiap ada orang yang melewati gue, itu akan menjadi
cobaan tersendiri, untuk konsentrasi gue dan juga mentalitas gue. Masalahnya,
ini 10 km lho! Trail running! Dan gue
sendirian dengan kondisi kaki begini. Apa yang diharapkan?
Agak
berat memang di awal-awal. Agak engap. Tapi lama-kelamaan gue belajar dan berusaha
untuk menikmati. Bandung yang selama ini gue rindukan, kota yang selalu ingin
gue kunjungi, dingin yang ingin gue rasakan, akhirnya bisa gue rasakan secara
langsung.
Iya,
memang awal race agak sedikit gerimis, dingin juga. Tapi, seiring terus berlari,
nggak begitu terasa. Gue menikmati kondisi sekitar. Pemandangan hijau yang
terbentang. Kebun-kebun di gunung, pemukiman warga, jalan-jalan yang masih
berkabut, tanjakan pertama yang elevasinya bikin mulas dengan orang-orang yang
kebanyakan memilih untuk berjalan kaki pun menjadi hiburan tersendiri untuk gue
yang beberapa waktu terakhir merasa ‘kering’ ini.
Tanjakan
pertama, bahkan sebelum menyentuh kilometer pertama, yang panjangnya mungkin
bisa sampai 300-500 meter menjadi cobaan tersendiri. Untung, gue sudah
mendapatkan sedikit briefing dari Bang Afan sebelum ke sini. Beliau pun
menggambarkan rute Tahura ini dengan cukup baik sehingga gue bisa bersiap-siap.
“Kalau
tanjakan, jangan lari! Capek! Jalan aja. Power walk,” katanya waktu itu.
Oh
oke! Gue pun mengamalkan dengan baik. Nggak ada ceritanya gue lari saat
menanjak. Nggak sayang sama lutut lagi namanya kalau memaksakan diri begitu. Gue
hanya akan berlari di jalanan yang rata atau menurun, meski yang ini perlu
hati-hati agar nggak terjatuh, terpeleset dan sebagainya.
Lima
tahun setelah lulus SMA, gue menghabiskan sebagian besar waktu gue di Jakarta.
Gue merasa benar-benar sebagai seorang Jakartan, orang kota. Gue lupa dengan
kondisi dan suasana di kampung, di pedesaan, di daerah. Ke Bandung, ikut Tahura
seperti ini menjadi kebahagiaan tersendiri. Kembali bersatu dengan alam,
kembali bisa menikmatinya dengan seada-adanya. Gue pun bisa melepaskan sedikit
kepenatan ibukota. Dan gue bersyukur atas hal ini, gue bersyukur gue tetap
memilih di Tahura Trail 2020 ini.
Kombinasi
rute Tahura cukup baik dan seimbang menurut gue, ada jalan beton, aspal, mulai
memasuki perkebunan dan hutan sampai becek-becekan di jalan setapak tanah licin
bekas hujan dengan antrean yang menjalar ke belakang. Antrean ini yang kemudian
membuat gue berinteraksi dengan pelari lainnya. Sendirian, rasanya canggung
untuk memulai percakapan dengan orang-orang sekitar.
Sampai
akhirnya, ada seorang perempuan paruh baya meminta tolong gue untuk memfotokan
dirinya. Kemudian, gue pun meminta
tolong hal yang sama kepada beliau. Saling bergantian, bahkan kami pun berfoto
bersama dengan seorang bapak paruh baya lainnya, yang rupanya, beliau juga baru
pertama kali trail running, sama
seperti gue ini.
Belajar
sabar dengan mengantre di jalan setapak, berusaha untuk nggak egois dengan
menyerobot atau menyalip antrean yang ada. Gue pun beberapa kali menyahuti
komentar atau keluhan orang-orang di sekitar, salah satunya adalah bapak paruh
baya yang tadi gue sebutkan. Kesabaran gue pun kemudian diuji ketika ada
beberapa pelari yang nggak mau bersabar dan mencari jalan cepat lainnya,
menyerobot melalui sebelah kiri jalan setapak yang sudah ada, dimana mereka
sebenarnya masuk dalam kebun seseorang.
Gue
sangat tahu kalau diri gue ini tidak sabaran, gue pun ingin segera, cepat-cepat
melewati titik itu, tapi kan nggak bisa, gue pun nggak memaksa. Gue juga di
situ mencoba untuk beradab dan menghormati warga sekitar, salah satunya dengan
tidak memasuki dan menginjak kebun mereka. Nggak menginjak tanamannya sih, cuma
kan, tetap aja. Ini nggak jauh beda dengan lo masuk ke halaman orang lain tanpa
minta izin, main nyelonong masuk aja. Sopan? Gue rasa nggak.
Itu
baru satu yang memincu emosi gue. Pemicu emosi lainnya adalah ketika di titik
antrean lainnya, gue menemukan seorang perempuan yang mungkin seumuran dengan
gue, perempuan ini nggak sabar sampai akhirnya dia memotong antrean. Dan kalian
tahu apa yang terjadi selanjutnya? Dia kepeleset dong. Makin emosi lah hamba
ini.
Gue
lebih emosi lagi karena ternyata Mbak itu nggak menggunakan sepatu trail, yang
artinya, dia seharusnya nggak seburu-buru itu. Keselamatan kan nomor satu. Gue
pun nggak mengenakan sepatu trail karena memang belum punya. Tapi, gue memilih
sepatu road running gue yang paling aman, yang setidaknya, ada teksturnya, yang
bisa membantu gue di trek yang licin dan berlumpur seperti saat itu.
Nah,
Mbak itu tuh nggak. Karena, sepengelihatan gue, dia memakai sepatu yang solnya
gel dan gue sangat yakin kalau tekstur outsole
yang rata dan nggak bisa diandalkan untuk trek trail running. Tipikal sepatu road
gimana sih? Kebayang kan? Nah, kayak begitu lah sepatu Mbak itu.
Kadar
emosi jiwa gue pun semakin meninggi karena ternyata Mbak ini adalah Mbak yang
membuat gue getir di trek peralihan antara jalan menuju hutan. Dimana gue melihat
sepasang manusia yang sedang berjalan berdua, laki-laki dan perempuan, sedang
berpegangan tangan. Gue yang jomblo pada saat itu pun rasanya ingin marah. Mencemari
pemandangan gue saja! Nggak tahu apa, gue juga mau kayak begitu.
Sayang
aja, nggak ada yang bisa menemani saat lari seperti ini. Nggak ada yang
menguatkan di kala letih. Nggak ada juga yang membantu ketika tergelincir,
seperti Mbak itu yang akhirnya membuat gue dongkol dalam hati dan gue
menganggapnya drama. Iya, memang gue iri ya! Iri tanda nggak punya, emang!
Dok. Pribadi |
Sudah
lah, lupakan pasangan kekasih yang menguras emosi jiwa itu. Gue pun berhasil
melewati mereka kemudian, penuh dengan usaha. Terbebas dari trek sempit dan
becek gue pun bisa menyalip beberapa orang meski kami masih berada di dalam
hutan. Bebas lah gue dari emosi yang menguji kesabaran.
Namun,
kemudian yang menguji kesabaran bukan lagi orang lain, melainkan diri sendiri
dan ketahanan kakinya. Sampai di water
station terakhir, gue masih bisa
bertahan dengan cukup baik, maksudnya, gue masih cukup konsisten untuk menjaga
diri tetap berlari. Setelah itu, kebanyakan gue melakukan lari kecil yang
diselingi dengan sedikit jalan. Paha kanan gue mulai bereaksi, ia mulai merasa
sakit. Gue pun nggak bisa memaksakan diri lebih jauh lagi. Pelan-pelan, yang penting
bisa finish.
Oh iya,
selama race itu gue nggak berhenti untuk ke water station sama sekali berkat
gue membawa folded cup. Meski sakit,
gue tetap berambisi, nggak mau menghabiskan terlalu banyak waktu untuk
mengantre di water station. Toh, gue udah
punya dan bawa sendiri, pikir gue begitu. Gue baru ke mengisi persediaan air di
water station terakhir. Sebelumnya
gue mengambil satu potong melon di water
station yang berada di dalam hutan, sekadar untuk membasahi tenggorokan
sekaligus menjawab rasa ingin tahu, bagaimana sih rasanya lari sambil makan
melon. Konyol, ya? Rasa ingin tahu macam apa ini? Tapi, memang gue belum pernah
melakukan hal itu sebelumnya, tentu saja gue penasaran. Nggak salah, kan?
Di beberapa
kilometer terakhir, gue kerap kali berpapasan dengan pelari lain yang mulai
melambat. Sama seperti gue, mereka pun kadang berlari sedikit, lalu berjalan
sebentar. Ketika giliran gue melewati mereka yang sedang berjalan sementara gue
berlari, gue pun menyemanti. Sementara saat gue yang berjalan dan giliran
mereka yang mendahului, mereka pun memberi semangat pada gue.
Dok. Tahura Trail Running Race 2020 |
Bertemulah
gue dengan penanda KM 9, yang artinya tinggal satu kilometer terakhir, kan?
Artinya, finish sudah dekat, kan? Tapi, tak seperti yang kau bayangkan,
Saudara! Finish-nya masih jauh nggak kelihatan. Nggak udah-udah ini larinya. Mau
menyerah juga sudah tanggung parah, kan ya? Lari kan saja sampai selesai.
Sampai
gue bertemu Goa Jepang yang disebut oleh Bang Afan sebelumnya. Dari sana
jalanan sudah bagus, kembali bertemu aspal bahkan ada beberapa meter jalan yang
dikeramik karena situs wisata. Di sini, gue mulai tergiur. Gue mulai
mendambakan kasih sayang, bukan, tentu saja bukan, mulai mendambakan finish yang lebih dekat. Tapi… masih
lumayan jauh kawan-kawan. Pantas saja, di sana sepi. Itu hanya inginmu Zakia! Itu hanya inginmu!, gue merutuki diri
sendiri.
Masih
mengitari Tahura, gue pun kemudian berada di barisan teman-teman RIOT dengan
kaus hitam khasnya. Gue juga hari itu pakai kaos hitam sih, tapi 361 Runners
dan nggak yakin kalau yang lain cukup tahu soal komunitas ini. He he. Pesimis.
Mereka
yang dari RIOT ini semuanya laki-laki dan bertubuh besar. Sementara gue ini
semacam kurcaci agak merasa terintimidasi. Namun, tujuan gue cuma satu sih,
segera finish. Nggak peduli lagi sama yang lain. Bahkan ketika mengantre untuk
menaiki jalan setapak licin lainnya, ada seorang fotografer di sana, gue
berusaha untuk menampilkan senyum terbaik di antara lelaki RIOT ini. Sayangnya,
gue nggak dijepret. Kesal hati ini.
Benar-benar
semakin dekat dengan garis finish, gue mendengar riuh-reda orang-orang
menyemangati bahkan ada yang membawa senar drumnya sendiri. saat gue melewati
kerumunan orang ini, rupanya, mereka dari RIOT. Tidak heran lah gue. Mereka benar-benar
menyemangati, menawarkan diri untuk bertukar highfive. Awalnya, gue agak ragu karena… gue siapa? Gue juga nggak
yakin mereka tahu gue dari mana. Gue juga takut kalau mereka hanya menyemangati
pelari RIOT yang berada di depan gue, lalu acuh sama gue yang ada di
belakangnya. Ternyata, nggak. Mereka tetap menyemangati gue dan kami pun
bertukar tos satu per satu. Ini pun kemudian menjadi suntikan semangat terakhir
gue sebelum finish.
Mulai
kembali menapaki jalan yang tadi dilewati setelah flag off. Kini jalanan itu sudah penuh orang yang tumpah ruah di kedua
sisi jalan. Sesungguhnya, buat gue pribadi, ini agak mengganggu karena
membatasi ruang pelari yang mungkin, kayak gue, kalau di beberapa meter
terakhir akan memaksakan diri untuk mendapat waktu terbaiknya. Di meter-meter
terakhir pun biasanya ada salip-salipan yang sengit dan gue pun mengalami ini, antara
gue menyalip satu-dua orang atau mengalah dengan menepi agar pelari lain bisa
mendahului dengan aman. Namun, ada satu bapak yang menyemangati, beliau sedang
merekam dengan ponselnya dan benar-benar terasa semangatnya, gue berterima
kasih untuk beliau ini.
Dok. mr.nico.william |
Sampai
di garis finish, untuk pertama
kalinya dalam kehidupan perlarian ini gue pun berusaha bergaya saat finish. Gue mengerahkan tenaga untuk
melompat agar difoto dengan epic. Tapi,
yakin nggak yakin gitu. Mengapa? Karena setelah gue melewati garis finish
banyak orang yang menumpuk di sana dan probabilitas lensa yang memotret gue
terhalangi cukup besar. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi?
Setelah
finish, gue pun menangis. Nggak mengerti juga alasannya apa. Entahkah karena
berhasil finish setelah 12 km berlari. Iya, di Strava tercatat kalau kategori
10K Tahura Trail Run 2020 yang gue ambil ini sejauh itu. Lebih dua kilometer,
pantas saja nggak selesai-selesai ya rasanya. Entah juga karena memang benar
sedih sebab tidak ada yang menunggu di garis finish, entah pasangan atau sesama
kawan lari. Pokoknya sedih. Terasa sendiri lari sendiriannya. Benar-benar
sendiri kali ini.
Berhenti
dari tangis, gue pun ke refreshment line untuk mengambil minum. Itu yang
terpenting. Lalu, mengambil medali setelah lagi-lagi berkeliling terlebih dahulu
karena buta peta lokasi dan kemudian melakukan pendinginan. Sendiri lagi dong
tentunya, mau sama siapa lagi?
Sedang
melakukan pendinginan, gue pun memberikan laporan kepada teman-teman ‘elit’ 361
Runners. Lebih tepatnya, menjawab pertanyaan Michelle soal gue sudah finish
atau belum. Gue pun membalas dengan menyertakan foto yang memamerkan medali
Tahura Trail Run 2020 yang lucu sekali menurut gue, bentuknya angklung. Melanjutkan
pendinginan, gue pun ditanya oleh Bang Akbar dan diminta untuk merapat,
katanya, akan ditraktir makan mie, iya, Indomie. Mungkin dia kasihan sama anak
kecil yang sendirian ini. Gue iyakan.
“Nanti
habis selesai pendinginan,” kata gue menjawab.
Dok. Teh Kay |
Selesai
pendinginan, gue membersihkan sepatu yang penuh dengan lumpur. Tadi, gue sempat
tercelup ke sebuah kubangan kecil lumpur, nggak sengaja. Dan sebelum melakukan
pendinginan, gue pun melihat ada deretan keran yang disediakan untuk
membersihkan sepatu, tidak lupa dengan sikatnya. Gue pun membersihkan sepatu
dengan sangat teliti, sebersih yang gue mampu dan gue bisa. Setidaknya, saat
gue pulang ke Jakarta, gue nggak akan membawa-bawa lumpur dan tanah Bandung
ini.
Kemudian,
gue pun mengambil tas gue dan memrapikan semua barang bawaan dengan seksama,
jangan sampai ada yang tertinggal. Lalu, gue pergi untuk menemui Bang Akbar,
bukan untuk menangih traktirannya. Namun, lebih untuk menyapanya dengan baik
dan benar, sebuah bentuk kesopanan dari seorang Zakia yang… ya… begitulah.
Saat
gue datangi, dia pun sebenarnya masih sibuk dengan kelompoknya yang lain,
sedang mengobrol dan bersenda gurau. Gue nggak begitu masalah sih sebenarnya,
biasa aja.
“Duduk
dimana?” Tanya gue kaku dan canggung.
“Di
situ.” Jawabnya sambil menunjuk sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu
dengan meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan. Hanya tersisa ruang untuk
satu orang. Sayangnya, gue nggak cukup cepat sehingga perlu mencari kursi
lainnya.
Dengan
baterai ponsel yang pas-pasan, gue pun mengecek akun sosial media gue sambil
menunggu mie yang gue pesan matang, Indomie Kari pakai telur dengan cabai
rawit. Lebih sedap lagi, kalau kuahnya pakai susu full cream. Tapi jangan bertingkah, Zek! Ini aja dibayarin orang.
Pesanan
gue pun datang. Gue santaplah segera sebelum ia mendingin, seperti tingkah
lakunya hari ini. Lalu, Bang Akbar pun datang dan duduk di sebelah gue.
“Gimana?”
tanyanya, memulai pembicaraan.
“Nagih
sih, parah!” jawab gue bersemangat.
Lalu,
gue pun menceritakan sedikit soal kekesalan gue dengan Mbak yang gue sebutkan
di atas. Nggak banyak yang kita bicarakan. Ia pun undur diri.
“Ditinggal
nggak apa-apa, kan?” tanyanya sedikit khawatir.
“Nggak
apa-apa kok, Bang. Langsung balik?” tanya gue.
“Iya.
Bareng rombongan dari Bogor.” jawabnya.
Ia pun
berjalan menjauh dan gue kembali melanjutkan memakan Indomie selera dan
kebanggaanku. Sampai habis dan berjalan keluar Tahura dengan matahari yang sudah
lumayan tinggi. Mulai panas, gue pun menunggu ojek online di bawah sebuah pohon yang cukup teduh dan memiliki
bayangan, bukan masa lalu, yang bisa melindungi dari sinar matahari pekat.
Lalu,
gue pun pulang ke kosan teman gue nggak jauh dari Jalan Surapati. Berakhirlah
cerita Tahura Trail Run 2020 gue di sini. Sampai jumpa satu tahun lagi, semoga
gue sudah memiliki sepatu trail dan kondisi kaki yang prima untuk berlari.
0 komentar