Hampir Tertinggal di Jogja
Minggu, Maret 22, 2020
Kembali ke Jogja setelah sekian lama. Kali ini
bukan untuk kegiatan yang mendukung CV building yang selalu gue agung-agungkan
sejak sekolah dulu, melainkan untuk kegiatan yang mendukung kesehatan gue,
lahir dan batin. Sisi lahir yang terpenuhi melalui kegiatan lari yang gue pilih
sejak akhir tahun lalu. Sisi batin yang akan terisi melalui liburan singkat di
kota yang katanya istimewa ini.
Namun, benar adanya, kota ini istimewa karena
berhasil membuat gue pulang dengan sebuah jawaban atas pertanyaan yang telah
lama terpendam. Jogja pun kembali mempertemukan gue dengan cerita masa kecil
yang lebih dari sepuluh tahun tak berjumpa. Jogja yang sedikit banyak membuat
gue merasa spesial sama seperti dirinya.
Senin, 9 Maret 2020 adalah hari terakhir gue di
Jogja setelah event lari di Merapi di hari sebelumnya. Memilih untuk berkelana
sendiri, mengandalkan teman-teman yang berada di kota ini, satu sudah berhasil
gue temui di malam sebelumnya, sisa satu lagi yang bersedia menyisihkan waktu
untuk bertemu satu sama lain.
Teman yang satu ini cukup menguji emosi sebab
sejak gue belum sampai di Jogja pun kami sudah sering berkontak satu sama lain.
Ia menanyakan kabar dan rencana gue selama di Jogja. Minggu malam pun ia
menawarkan diri untuk bertemu tetapi gue memilih untuk menghabiskan malam
dengan teman lainnya, yang pernah menyelamatkan kehidupan gue di Jogja dengan
tumpangan kosannya, sembari berkelakar tentang kehidupan manusia yang menuju
dewasa ini. Tidak jadi bertemu di akhir pekan, ia pun punya waktu luang di hari
Senin. Syukurlah, setidaknya gue bisa bertemu orang ini di Jogja, pikir gue
begitu.
Punya rencana sendiri untuk menghabiskan satu
hari penuh untuk berkeliling sesuka hati. Gue tetap kalah dengan tubuh yang
terus minta rebahan. Tidak ada realisasi dari keinginan pergi ke Gereja Ayam
agar seperti Cinta dan Rangga, gue terlalu malas untuk bangkit dari ranjang,
begitu juga kemalasan yang sama besarnya untuk pergi sendirian dan mengendari
motor dengan jarak yang lumayan. Akhirnya, gue baru keluar rumah setelah waktu
makan siang dan tujuannya sederhana dan hanya satu, Museum Affandi.
Sejak terakhir gue pergi ke Museum Mandiri di
Kota Tua untuk melihat pameran reproduksi karya-karya dari Leonardo da Vinci,
gue merasa ketertarikan gue atas seni semakin meninggi. Gue pun terdorong untuk
belajar lebih lagi soal seni dan nggak cuma soal karya tulis. Gue merasa butuh
untuk eksplorasi dan memahami seni lebih dari saat ini.
Pergilah gue ke Museum Affandi seorang diri.
Sebuah waktu sendiri yang cukup gue nikmati, melihat lukisan Affandi satu per
satu dan mencoba mengerti dan menghayatinya. Tak ada yang mengganggu dan
membuat gue terburu-buru. Gue pun berusaha meresapi setiap goresan, warna dan
makna dari karya yang dibuat Affandi sampai satu lelaki paruh baya mendekat dan
menjelaskan tentang lukisan-lukisan yang dipajang, begitu juga dengan
ceritanya. Seketika, gue nggak lagi sendirian.
Cukup lama gue mendengarkan dari si Bapak -
yang sampai detik ini gue nggak tahu namanya siapa karena nggak bertanya, gue
pun mendapat pesan dari kawan yang berencana untuk bertemu hari itu. Pertanyaan
yang ia tanyakan tidak jauh berbeda dari sebelumnya, menanyakan dimana posisi
gue, apa masih di Museum Affandi atau nggak, apakah gue ke sana sendirian atau ditemani.
Jawabannya jelas, sendirilah!
“Keras banget lo nih emang,” reaksinya begitu.
Sampai beberapa lama gue masih di Museum
Affandi, berkeliling menikmati tiap-tiap lukisan atau sketsa yang ada. Sampai
cukup sore, hujan tidak lagi berjatuhan, ia pun masih belum datang ke tempat
itu. Sampai satu botol Tebs yang gue pilih sebagai jatah gratis yang diberikan
dari karcis masuk pun habis. Sampai gue akhirnya memilih untuk berbincang dan
menanyakan beberapa pertanyaan soal seni dan lukisan serta kegundahan hati gue
bersama seorang pelukis yang ada di Studio Gajah Wong masih di dalam kawasan
Museum Affandi.
Terlalu asik dengan percakapan yang ada, gue
pun menelantarkan teman gue cukup lama, mungkin 5-10 menit. Biarlah, tadi dia
juga lama, pikir gue begitu. Pertanyaan pribadi gue, kegelisahan, ketakutan dan
ketidakpercayaan diri gue untuk berkarya pun terjawab, gue punya pekerjaan
rumah yang harus banyak dilakukan dan latih. Kemudian, gue pun berpamitan dan
berlari kecil menuju parkiran untuk mengambil motor sewaan dan bertemu dengan
teman masa sekolah dasar dulu.
Di depan gerbang museum sedang duduklah seorang
lelaki dengan pakaian serba hitam semua dari atas kepala sampai kaki. Gue menyapa
dengan riang, layaknya gue biasa dalam keseharian. Sebuah upaya untuk melebur
kecanggungan dua manusia yang telah lama sekali berjumpa sekaligus menghapus
kekikukkan yang timbul karena gue membuatnya menunggu cukup lama.
Basa-basi soal seberapa lama ia menunggu gue di
sana, kami pun pergi dari museum ke tempat lain. Katanya sih, ia berniat untuk
menemani gue membeli bakpia sebagai oleh-oleh. Namun, ke mana kami pada
akhirnya melipir?
“Land, lo udah pernah ke sini?”, tanyanya saat
kami di jalan yang memutar-mutar di daerah alun-alun dan tidak jauh dari
kompleks Keraton.
“Hm, belum. Ngapain? Di sini nggak ada apa-apa.
Makanan yang Jogja banget juga nggak ada kayaknya. Temen gue juga nyaranin buat
ke sini sih. Tapi, cuma ada sepeda yang pake lampu warna-warni itu. Ngapain?”,
jawaban panjang dari gue untuk sebuah pertanyaan singkat.
Ia tidak banyak membalas kecuali tertawa karena
sepeda warna-warni yang gue bahas atau setuju kalau di alun-alun nggak ada
makanan yang Jogja banget. Sementara, ia pun bingung makanan yang Jogja banget
itu apa.
Dan… tiba-tiba motor yang ia kendari dan gue
tumpangi berhenti di parkiran tepat di pintu Keraton. Gue pun bingung. Kan gue nggak minta dibawa ke sini lalu
ngapain berhenti?
Turun dari motor dan melepas helmet, gue tetap
nggak bertanya kenapa kami berhenti di sini, untuk apa, padahal tujuan utamanya
adalah beli bakpia. Di alun-alun dan Keraton nggak ada yang jual bakpia sejauh
yang gue lihat.
Tanpa banyak bicara dan mendebat soal mengapa
kami di sini. Gue pun mengikuti langkah kakinya. Lalu kami berjalan kaki mengelililngi alun-alun sambil bertanya soal
hidup masing-masing; kesibukan apa yang sedang dijalani, pekerjaan, pandangan
kami soal hubungan dan pernikahan bahkan budaya patriarki di kalangan
masyarakat Jawa.
“Parah, Land.” responnya saat gue tanya soal
seberapa partriarkis orang-orang Jawa.
Mungkin ini rasis. Tetapi gue selalu punya
stereotip sendiri soal budaya Jawa dan bagaimana mereka melihat dan
memperlakukan perempuan. Bukan terlahir dan tumbuh-kembang di keluarga Jawa,
gue jauh dari paham soal kepercayaan bahwa perempuan haruslah ayu, lemah-lembut
seperti Putri Keraton. Belum lagi, peran perempuan yang ditanamkan di
masyarakat hanya untuk sektor domestik, masak dan di rumah. Sesuatu yang bukan
gue dan nggak bisa gue terima.
Selain pohon beringin kembar yang berada di
tengah alun-alun, nggak ada lagi lainnya yang gue tahu. Bahkan gue baru tahu kalau
jalan berbatu tepat di depan Keraton yang rasanya cukup nyaman untuk dijadikan
tempat lari.
“Susah ya anak lari. Semua tempat bawaannya
buat lari,” katanya menanggapi ocehan gue.
Gue hanya tertawa sambil menceritakan cerita
lari lainnya. Ketika gue pulang ke Belitung untuk liburun, liburan sambil lari.
Nggak peduli apakah harus ke tempat-tempat wisata, tujuan gue saat kembali ke
sana hanya satu, merasakan lari di pantai, juga lari mengelilingi kota kecil
itu. Lari memang menjadi alasan tersendiri buat gue bisa keluar dari ibukota
dan mencari kesegaran di tempat lain.
Terus berbincang, tak terasa kami telah
menghabiskan satu putaran mengelilingi alun-alun di bawah senja Jogja yang
berawan dan lembap pasca hujan barusan. Gue pikir kami akan melanjutkan
beberapa putaran lagi layaknya berlari sebenarnya yang biasa gue lakukan
sehari-hari. Ternyata, ia memilih untuk melipir dan kami pun kembali ke
parkiran. Toh, gue juga lapar. Sejak tadi sebelumnya, sebelum keluar dari Museum
Affandi gue sudah mulai lapar namun masih ditahan.
“De, lo laper nggak? Gue laper nih. Makan yuk!”
gue melapor untuk diajak ke tempat makan enak, tentunya sesuai harapan gue,
yang Jogja banget.
Lagi, ia nggak banyak menanggapi dan langsung
mengambil helmet masing-masing lalu pergi dari alun-alun. Entah lewat jalan Jogja
yang sebelah mana, yang jelas gue nggak tahu dan nggak familiar dengan itu.
Bukan jalan yang pernah gue lalui sebelumnya.
Ia pun meminggirkan motor dan menaikkannya ke sebuah trotoar. Ada satu toko kue yang gue yakin kami nggak akan makan di sana. Gue pun nggak akan kenyang hanya makan kue. Nasi adalah keharusan tak terbantah.
Ia pun meminggirkan motor dan menaikkannya ke sebuah trotoar. Ada satu toko kue yang gue yakin kami nggak akan makan di sana. Gue pun nggak akan kenyang hanya makan kue. Nasi adalah keharusan tak terbantah.
Kami berjalan sedikit ke sebuah warung tepat di
persimpangan jalan. Lumayan ramai namun bukan menjual makanan khas Jogja
seperti yang gue damba. Dapur yang terbuka bisa terlihat jelas oleh kami para
pelanggan yang akan makan di sana. Asap mengebul dari panci-panci yang memasak
sup.
Jadi, ini adalah warung sup ayam. Sebelum makan
dan mencari tempat duduk kami harus memilih terlebih dahulu apa yang ingin kami
makan, daging ayam bagian mana, dada, paha atau yang lainnya. Pisahkan. Lalu,
ibu-ibu yang berada di dapur akan memasaknya. Satu potong daging untuk satu
mangkuk sup. Baru ini gue merasakan pengalaman makan semacam ini. Terasa sekali
kalau gue mainnya kurang jauh, ya?
Setelah menentukan paha
bawah tung-tung sebagai menu malam itu, gue yang amatir ini pun memberitahu ibu yang bertanggung jawab
atas pemesanan mengenai minuman apa yang akan gue pesan. Sayangnya, gue salah. Itu bukan lagi bagian dari 'ibu pemesanan' melainkan urusan orang lain lagi.
Gue kemudian melipirlah gue ke dalam warung tersebut bersama kawan gue itu. Kami agak bingung mau duduk di sebelah mana karena setiap meja sudah terisi oleh orang-orang yang datang lebih dulu. Mau nggak mau kami pun harus bergabung dengan yang lain. Sebuah meja yang di pojoknya masih kosong menjadi pilihan kami. Gue pun permisi dan melewati sepasang manusia yang ada di sisi ujung meja lainnya.
Gue kemudian melipirlah gue ke dalam warung tersebut bersama kawan gue itu. Kami agak bingung mau duduk di sebelah mana karena setiap meja sudah terisi oleh orang-orang yang datang lebih dulu. Mau nggak mau kami pun harus bergabung dengan yang lain. Sebuah meja yang di pojoknya masih kosong menjadi pilihan kami. Gue pun permisi dan melewati sepasang manusia yang ada di sisi ujung meja lainnya.
“Ini tuh apa ya, De?” tanya gue kepadanya
segera setelah kami duduk di bangku masing-masing.
Sup Merah namanya dan itu nampak jelas di dari
baju kaos seragam yang dipakai oleh tiap-tiap ibu yang melayani pesanan kami.
Gue baru menyadarinya sambil tertawa. Lalu, kami pun membuka perbincangan
lainnya sambil menunggu.
Cukup banyak yang kami bahas. Gue rasa apa pun
yang bisa kami bahas dan diskusikan akan kami bahas. Pertemuan dengan teman
lama yang gue rasa cukup cocok dengan cara berpikirnya. Kami cukup nyambung
satu sama lain, nggak heran pembicaraan kami cukup terjaga.
Salah satu yang kami bahas pun soal hubungannya
dengan teman-teman SD yang lain. Sebelum berangkat ke Jogja, gue memang
berbincang dengan satu teman SD lainnya, menanyakan apakah dia kerap berhubungan
dengan teman yang satu ini. Ternyata nggak. Gue pun menanyakan hal ini
kepadanya. Mengapa.
Di sini gue baru mengetahui kalau dia seorang
introver dan pemilih dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sedikit banyak,
ini pun menjawab pertanyaan terpendam gue saat dulu. Nggak banyak yang tetap
berinteraksi dengan dia sampai hari ini sejak kami lulus SD dulu. Selain gue, ada
satu teman lagi yang masih mengontaknya, satu orang yang cukup menjadi temannya
saat ia kembali ke tempat kami.
Gue memang bukan seorang introver namun semakin usia
bertambah, gue pun semakin memilih interaksi yang gue lakukan dan dengan siapa.
Jujur saja, kalau kami berdua tidak memilih jurusan yang sama saat kuliah
mungkin hari itu nggak akan ada. Gue nggak akan makan malam bersama dia di
tengah Jogja yang diguyur hujan deras. Gue nggak akan menikmati Jogja dengan ‘kearifan’-nya.
Gue nggak akan menikmati perbincangan kami sambil menunggu hujan reda sementara
gue harus pulang ke Jakarta malam itu juga.
Interaksi gue dengan kawan ini bermula ketika
pertama kali gue ke Jogja untuk mengikuti sebuah simulasi pertemuan organisasi
internsional atau kerap dikenal dengan Model United Nations (MUN). Sebuah
kegiatan yang terkesan wajib untuk diikuti oleh mahasiswa jurusan hubungan
internasional seperti gue ini. Berlagak seperti diplomat mewakili negaranya dan
berdiplomasi untuk mencapai kepentingan nasional, seperti itulah kira-kira yang
dilakukan.
MUN yang gue ikuti itu diselenggarakan oleh
kampus kawan gue ini. Nggak sedikit juga peserta yang mengikuti kegiatan ini
berasal dari kampusnya sendiri. Setelah acara tersebut selesai, gue mengunggah momen yang gue habiskan pada kegiatan itu di Instagram bersama orang-orang yang
gue temui di sana. Teman gue ini kemudian mengenali salah
satu orang yang berada di foto yang gue unggah barusan.
“Kayak temen gue, Lan.” Katanya pada kolom
komentar unggahan Instagram gue.
Dari situ gue baru mengetahui kalau kami satu
jurusan. Dari situ juga kami mulai berkomunikasi lagi setelah bertahun-tahun
tidak. Mungkin, terakhir saat kami perpisahan?
“Kapan ya terakhir kali gue ketemu Joseph? Pas
ambil rapor deh kayaknya, kalau nggak salah.” Jawabnya saat gue tanya kapan
terakhir kali bertemu dengan teman-teman SD kelompoknya yang nakal itu.
“Iya. Bener. Pas ambil rapor. Lo juga sama. Terakhir
pas ngambil rapor kayaknya. Itu udah berapa tahun ya?” Sambungnya.
Lalu, kami berdua mulai berhitung sudah berapa
lama kami tidak bertemu satu sama lain. Jika ditotal, tiga tahun SMP, tiga
tahun SMA dengan empat tahun masa kuliah dan satu tahun lagi setelah mendapatkan gelar sarjana,
kira-kira sebelas tahun. Lama juga rupanya.
Masih membahas soal sisi introvernya yang
sebenarnya ia juga nggak begitu mengerti. Ia pun nggak mau melabeli dirinya
sebagai seorang introver. Jelas yang ia tahu dan rasakan adalah lelah untuk
berinteraksi dengan manusia dalam bentuk apapun, bahkan untuk chatting sekali pun.
Lagi-lagi, gue tertegun. Lagi-lagi gue tidak
mengerti jenis manusia seperti ini karena gue adalah kebalikannya. Ia pun
menambahkan, ia pun enggan untuk pergi keluar dari kosannya atau
berjalan-jalan, nongkrong layaknya pemuda kebanyakan, kecuali jika ia diajak
oleh temannya yang memang sedang bertemu dengannya secara langsung. Gue pun
tiba-tiba merasa tersanjung. Lelaki ini ada di depan gue saat itu meskipun ia
benci berinteraksi dengan orang lain.
“Terus, kok lo mau ketemu gue sekarang?” Tanya
gue antara penasaran dan iseng.
Sejenak ia mengambil waktu sebelum menjawab
pertanyaan gue. “Ya, kalau kayak gini gue nyaman. Gue ngobrol nih berdua sama
lo. Gue menikmati tapi nanti pas gue balik, pasti gue ngerasa capek.”
Gue berdeham sambil mengangguk-angguk tanda gue
mengerti.
“Ya… karena gue percaya. Gue cuma akan jalan
sama orang-orang yang gue percaya.” Sambungnya ringan.
Ringan, nggak ada emosi yang berlebihan layaknya gue berbincang dengan lelaki kebanyakan. Namun, dia nggak paham kalau
dampak dari apa yang dia bicarakan itu bisa membuat dada gue mengembang.
“Oh, jadi gue perlu berbangga nih berhasil
membuat lo keluar dari kosan hari ini?” Gue menanggapinya bercanda, mencoba
biasa saja seakan gue baik-baik saja.
“Oh iya, jelas! Lo segilintir kecil manusia di
planet ini yang bisa membuat gue keluar.” Sahutnya dengan sama bercandanya, tentunya diikuti dengan sebuah tawa yang renyah.
Pembicaraan kami terus berlanjut tak ada
habisnya. Lebih tepatnya, gue nggak membiarkan itu berhenti sesebentar apa pun.
Lho, mumpung ketemu. Kapan lagi?
Sampai salah dia menyadari kalau gue pulang malam
itu dan menanyakan jam berapa keberangkatan kereta gue nanti.
“Kereta lo jam berapa, Lan?” Tanyanya.
“Hm. Jam setengah 10. 21.45, De. Bengawan.” Jawab
gue santai bahkan tanpa melihat jam.
Perbincangan tetap berlanjut meski topik
pembahasan mulai berkurang, meski sudah beberapa kali lampu mati di warung itu.
Gelap menyelimuti tiap-tiap dari kami pengunjung di sana. Namun, tidak ada dari
kami yang beranjak. Jogja masih deras diguyus hujan.
Merasa nggak nyaman dengan gelap gulita, gue
menyalakan senter dari ponsel. Gue letakkan ponsel di ujung meja dekat dengan
dinding membiarkan cahaya berpantul di sana. Setidaknya, ada sedikit cahaya
dimana kami bisa melihat wajah satu sama lain. Tidak juga memposisikan senter
sampai menyilaukan mata kami berdua.
Hujan tak kunjung reda. Ade pun bertanya pada
gue mengenai bagaimana ia harus mengantar gue pulang dan membeli bakpia.
“Lan, mau nunggu reda atau tetep jalan?” Tanya
ragu.
“Ya, jalan aja, De. Ini juga deres. Di motor
ada jas ujan kok, dua.” Jawab gue santai.
“Lagi juga ini udah jam delapan.” Sambung gue.
Nggak lama, kami pun bangkit dari bangku
masing-masing. Tentunya, kondisi warung sudah terang benderang. Gue membuka
resleting tas gue untuk mengeluarkan dompet berniat membayar apa yang telah
kami makan. Anggap saja, terima kasih gue,
pikir gue begitu.
Kembali ke titik kami datang di warung ini,
kami bertanya berapa yang harus dibayar. Nggak begitu mahal kalau dibandingkan
dengan Jakarta. Jelas ini sangat murah untuk sup ayam yang lumayan enak atau
bahkan enak banget? Gue cekatan mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari
dompet berbahan kanvas.
“Gue aja.” Gue pun memberikan uang tersebut
kepada ibu yang tadi melayani kami saat datang.
Seketika Ade juga mengeluarkan uangnya.
Katanya, “Nggak usah.” Kemudian mengambil uang gue dari tangan ibunya dan
mengembalikannya kepada gue.
Gue pun mengeluh. Niatnya kan gue mau baik,
setidaknya terima kasih atas waktu dan dia yang mau menemani gue serta menyetir
motor berkeliling Jogja hari itu. Dengan apa yang dia lakukan waktu itu, gue
pun merasa nggak enak kepadanya.
Ibu warung sup merah pun mengolok-olok gue. “Nggak
usah, Mbak. Udah sama, Masnya. Kapan lagi, kan? Udah simpen aja uangnya.”
“Iya, Bu. Ini mau pulang ke Jakarta dia.” Ade
menanggapi.
Si Ibu pun mengaduh. “Tuh, kan.”
Adegan membayar sup pun selesai. Kami berdua
pun berjalan ke parkiran motor di bawah rintik hujan. Gue kemudian melakukan protes
kepada Ade.
“Ih, jangan gitu apa, De. Nggak enak gue.”
“Nggak apa-apa. Sekali-kali ini. Lo ada power
bank nggak?” Dia malah menanyakan hal yang lain. Masalah itu pun nggak lagi
dibahas.
“Lo ada kabelnya?” Tanya gue balik memastikan
karena tipe ponsel kami berdua berbeda. Dia tim Apple, gue Android aja udah.
“Ada.”
Gue pun mengubek-ubuk tas gue dan mencari pouch yang berisi kabel dan peralatan
elektronik lainnya. Cukup sulit karena berada di dasar tas Nike berwarna oranye
stabilo yang mungkin menyakitkan pandangan.
“Ada nggak?” Tanya Ade memastikan.
“Ada kok, ada. Sebentar.” Gue memintanya menunggu sambil membuka resleting tas lebih besar agar bisa mengoreknya lebih dalam.
Nggak lama, keluarlah pouch kain katun putih yang gue
dapat dari membeli Gelang Harapan. Kini ia sudah berganti fungsi, memberi
harapan lain, saat gue kehabisan baterai.
Kami berdua mengenakan jas hujan yang
sebenarnya modelnya sangat gue benci karena tetap membuat kami kebasahan, nggak
berguna juga dipakai atau nggaknya. Lalu pergi meninggalkan warung sup merah ke
suatu tempat yang gue nggak tau. Iya, lagi-lagi kami tidak cukup baik
berkomunikasi atas tujuan perjalanan ini.
Melewati jalan yang gue nggak kenali sama
sekali di tengah hujan. Gue nggak banyak ekspektasi hanya berharap bisa naik
kereta tepat waktu sebab waktunya sudah mepet sekali. Namun, tahu kemana Ade
membawa gue pergi kali ini?
Gue mengaduh dalam hati. Ade tetap membawa gue
ke toko bakpia untuk oleh-oleh orang Jakarta, keluarga, teman kantor, bapak
kosan bahkan teman lari. Toko bakpia dengan merek yang direkomendasikan
orang-orang, Bude gue dan Teya, Bakpia Pathok 25.
Gue berusaha menyelesaikan transaksi secepat
mungkin. Selain nggak enak karena Ade menunggu gue, gue juga harus punya
kalkulasi yang akurat agar nggak ketinggalan kereta. Gue langsung bertanya
kepada pramuniaga yang ada soal jenis-jenis bakpia yang ada.
Akhirnya, gue memilih dua jenis yang berbeda.
Bakpia kering yang satu kardusnya terdiri dari bermacam rasa untuk oleh-oleh
selain orang rumah, teman lari, bapak kosan maupun orang kantor. Sementara,
untuk orang rumah gue memilih bakpia basah dengan kualitas medium dan rasa
cokelat dan keju.
Selesai. Gue pun menuju anteran di kasir.
Melihat ada wingko babat, gue pun mengambil satu bungkus untuk oleh-oleh
lainnya. Lalu, semua belanjaan gue dimasukkan ke dalam kardus. Gue pun siap
kembali ke rumah Bude gue untuk pulang ke Jakarta.
Buru-buru mengejar waktu dada gue penuh
rasanya, gue mulai tidak bisa bernapas dengan normal, napas gue
tersengal-sengal. Bagaimana tidak? Semakin mepet dengan jadwal keberangkatan
kereta ditambah gue belum selesai packing
semua peralatan yang gue bawa ke Jogja. Intinya, gue harus secepat mungkin
sampai ke rumah.
“De, secepat yang lo bisa dan lo mampu, ya.” Gue
meminta tolong masih dengan senyum cengengesan, sebuah usaha untuk mencairkan
kecanggungan di antara kami yang sama-sama deg-degan.
Nggak banyak bicara, Ade kembali mengendarai
motor sewaan gue. Di jalan ia bertanya sesuatu tapi gue nggak begitu jelas
mendengarnya. Gue pun menjawab sekenanya, “Ya, kalau lo mau, nggak apa-apa.”
Beberapa lama kemudian, gue baru paham kalau
dia bertanya soal motor yang gue sewa ini, mau dikembalikan dimana, kapan, jam
berapa. Gue pun menjelaskan kalau motor ini akan gue kembalikan di Stasiun
Lempuyangan sewaktu gue sampai sana. Jadi, ya, nggak begitu repot juga.
Namun, muncul lagi satu pertanyaan lainnya. “Gue harus nganterin lo juga nih?” Tanya ragu.
Namun, gue menangkap ada nada keberatan darinya di sana.
Lagi-lagi gue menjawab dengan pernyataan yang
sama, “Ya… kalo lo mau sih, nggak apa.” Jawab gue basa-basi, menggantung, nggak
pasti.
Padahal, di kepala gue berisik soal kalkulasi
waktu yang ada. Gue membayangkan skema yang akan terjadi, jam berapa menit keberapa gue akan sampai di rumah Bude gue. Kalau Ade nggak mengantarkan gue ke
stasiun dan ia harus langsung berangkat ke kantornya, berapa lama waktu yang ia
butuhkan untuk memesan ojek online dan gue harus menunggunya. Kemudian, berapa
lama gue akan menyelesaikan packing gue
yang terbengkalai karena terlena oleh obrolan kawan lama. Belum lagi soal
seberapa cepat gue harus memacu motor untuk bisa sampai di Stasiun Lempuyangan
tepat waktu. Oh! Jangan lupa juga soal mengembalikan motor kepada penyewanya.
Kepala gue sakit sebenarnya tapi berlagak
baik-baik saja. Sudah berada nggak jauh dari rumah Bude gue, Ade bertanya, “Lo
tahu kan rumahnya yang mana?”
Gue pun mengutuk diri gue sendiri dalam hati. “Tahu
kok.” Jawab gue sok yakin padahal nggak yakin-yakin amat.
Sifat pelupa gue ini tuh lumayan kebangetan, terutama soal visual kayak gini, arah tuh kelemahan gue. Gue buta arah. Kemudian, mencari aman, gue pun menyalakan GPS agar tahu lokasi tepatnya dimana.
Sifat pelupa gue ini tuh lumayan kebangetan, terutama soal visual kayak gini, arah tuh kelemahan gue. Gue buta arah. Kemudian, mencari aman, gue pun menyalakan GPS agar tahu lokasi tepatnya dimana.
Sayang, meski sudah dibantu peta tercanggih pun
gue tetap salah. Salah soal rumah yang mana, gang yang mana. Gue cuma ingat
kalau rumah itu berada di ujung jalan tepat di simpang. Masalahnya, gangnya
banyak dan gue nggak hapal. Terbaik!
Akhirnya, gue pun membawa Ade berkeliling
sebentar dalam kebingungan yang gue buat sendiri dan membuat ia bertanya lagi, “Lo
tahu kan rumahnya, Lan?”
“Tahu kok. Tapi emang guenya aja lupaan. Gue
buta jalan, De.” Jawab gue jujur.
Nggak usahlah dalam kondisi panik seperti itu.
Malam sebelumnya, ketika gue pulang tengah malam setelah bertemu Teya, gue tetap tersesat. Bingung rumah Bude gue sendiri yang mana. Payah memang!
Kembali melihat peta, memastikan posisi rumah
yang gue tuju. Akhirnya, gue menemukannya.
“Itu, De! Itu!” Gue memberi tahu sambil
menunjuk rumah tingkat di ujung jalan sana.
Sampai di rumah gue langsung dengan cekatan
membuka gerbang rumah dan meminta Ade memasukkan motor ke dalam garasi agar ia juga
nggak kebasahan. Selain itu, kembali meminta pertolongannya.
“De, kayaknya lo harus nganterin gue ke stasiun
deh.” Kata gue ragu.
Dia diam.
Gue pun melanjutkan, “Kalo nggak gitu nggak
kekejar.”
“Lo packing berapa lama?” Tanyanya.
“Secepat yang gue bisa.” Jawab gue tegas.
“Berapa lama?” Ade mengulang pertanyaan yang
sama.
“Gue akan bikin nggak lebih dari 10 menit.”
Jawab gue setelah memilih angka yang tepat. Iya, gue lebih suka main aman
dengan menjanjikan orang waktu yang lebih lama agar gue nggak dibilang lambat
atau terlambat. Tricky.
“Ya udah kalau gitu. Buruan. Gue tunggu.”
Katanya sambil membuka jas hujan.
Gue pun yang kalut ini memintanya untuk masuk
ke rumah. Nggak sopan juga gue membiarkan dia begitu saja meskipun di tengah
kepanikan. Nggak tahu diri namanya.
Belum sempat gue membuka pintu, kakak sepupu
tertua gue membuka pintu.
“Haduh!!!” Serunya.
Bude gue pun mengekor di belakangnya, juga
bertanya, “Kehujanan?”
“Pakai jas hujan, Bude.” Jawab gue singkat,
buru-buru sambil menunggu Ade yang ada di belakang gue.
“Ayo masuk dulu, De.” Kata gue sambil melepas
sepatu yang nggak pernah gue ikat agar lebih mudah.
Ade mengiyakan sambil mulai membuka ikatan tali
sepatu Converse hitam model tinggi yang sudah kebasahan. Cukup lama untuk
kondisi yang tengah kalut seperti ini. Namun, gue masih menunggunya.
Mbak Farah, kakak sepupu gue itu mengingatkan gue untuk packing segera,
“Kamu belum packing, kan? Packing dulu sana.”
Nggak lama Ade pun selesai berurusan dengan
sepatunya dan masuk ke dalam rumah. Ia dipersilakan oleh kakak sepupu gue. Gue
kemudian langsung ngacir ke lantai atas, ke kamar untuk membenahi perbendaharaan gue yang masih tercecer dimana-mana.
Gue langsung menyatroni gantungan baju di ruang
atas, mencari pakaian yang gue jemur karena basah kehujaan saat ke Merapi.
Nggak ada. Bude gue yang rupanya mengikuti gue pun memberi tahu kalau baju
tersebut sudah dipisahkan. Gue bersyukur dalam hati.
Masuk ke dalam kamar gue langsung berlutut di
tumpukan benda-benda gue, berbagai tas dan isinya. Tanpa banyak pikir gue pun
memasukan semua yang ada secara sembarangan. Masukin aja dulu. Gampang nanti
bisa diberesin, pikir gue. Bude gue pun mengatakan hal yang sama sambil nggak
berhenti mengingatkan apakah ada barang yang tertinggal.
Nggak sampai lima menit, gue sudah selesai
berkemas dan turun ke bawah, siap berangkat. Gembolan di
sana-sini gue menuruni tangga dan mengambil satu tas tambahan lainnya,
oleh-oleh dari Mbak Farah untuk orang rumah, makin banyak saja bawaan gue ini.
Tanpa buang banyak waktu, gue segera pamit dan menyalami tangan
mereka satu per satu, kakak sepupu gue, Bude dan Pakde. Menyebalkannya, Pakde
gue ini masih sempat-sempatnya mau mengulik latar belakang Ade. Penasaran.
Sebelumnya, memang gue mendapat nasihat soal mempersiapkan pernikahan
dari Bude-Pakde gue. Sambil mendengarkan, waktu itu gue menghela napas
dalam hati. Mereka menganggap usia gue ini sudah cocok untuk menikah.
Sementara, gue masih memikirkan soal keluarga dan bertanggung jawab untuk
mereka. Belum lagi soal patah hati yang baru saja kering lukanya. Gue butuh
waktu sendiri dan ingin membahagiakan diri sendiri lebih dulu.
Berusaha untuk menghindar dari segala pertanyaan itu, ternyata gue nggak
mampu. Hari itu, hari pertama gue datang ke rumah itu, Pakde gue
bertanya apakah gue sedang dekat dengan seseorang. Setidaknya dekat, nggak
perlulah yang langsung mengajak menikah.
Awalnya gue nggak mengerti, gue jawab saja belum karena memang nggak
ada, belum. Belum ada yang mengajak gue menikah dan serius untuk saat ini.
Namun, kalau yang dekat, ya ada, pacar, ya ada. Tetapi kami sama-sama nggak ada
rencana untuk menikah dalam waktu dekat.
Waktu itu, Senna bertanya sama gue, “Za, lo mau nikah kapan?”
Terkejut. Pertanyaan macam apa
ini? rutuk gue dalam hati walaupun sebenarnya pertanyaan semacam ini wajar
ditanyakan orang yang berada dalam hubungan terlebih di usia segini.
Gue kemudian menjawab ringan, “Hm? Nggak tahu. Belum kepikiran.”
Gue menampik pertanyaanya, Pakde gue ini tetap nggak percaya. Katanya, gue
berusaha mengakali dia.
"Kamu mau ngakalin Pakde, ya?" Katanya curiga.
Padahal gue hanya salah menangkap saja pertanyaan beliau dan mengklarifikasinya dengan bilang ada. Mungkin, saat Ade ke rumah buat antar-jemput gue ke stasiun, beliau ini menganggap yang gue bicarakan waktu itu adalah Ade. Padahal, bukan. Mereka dua orang yang berbeda.
"Kamu mau ngakalin Pakde, ya?" Katanya curiga.
Padahal gue hanya salah menangkap saja pertanyaan beliau dan mengklarifikasinya dengan bilang ada. Mungkin, saat Ade ke rumah buat antar-jemput gue ke stasiun, beliau ini menganggap yang gue bicarakan waktu itu adalah Ade. Padahal, bukan. Mereka dua orang yang berbeda.
Saking salah pahamnya, Pakde gue ini tetap bersikeras menanyai Ade soal
bagaimana bisa teman SD masih berkontak sampai hari ini, belum lagi tinggal
dimana, asli mana dan lain sebagainya. Pertanyaan introgatif bibit, bebet,
bobot orang Jawa. Padahal, saat itu Ade sedang mengenakan sepatunya. Kami, gue,
Mbak Farah dan Bude, pun memprotes Pakde gue ini.
“Pakde!!! Atung!!!” Kami berseru.
Ade selesai mengenakan sepatunya dengan sempurna, gue pun kembali
berpamitan. Begitu juga dengan Ade. Kami berangkat menuju Stasiun
Lempuyangan, masih menerjang hujan yang sama. Bedanya, kali ini gembolan yang
gue bawa lebih banyak. Tangan kanan dan kiri penuh dengan tas besar.
Menyadari bahwa gue sangat tidak efektif sebab banyak sekali
tas yang bergelantung di tangan dan pundak gue, gue pun mencari cara dan waktu
yang tepat untuk sedikit mengemasinya. Motor yang kami kendarai pun berhenti di
persimpangan lampu merah, saatnya gue memaksimalkan ruang yang ada.
Beruntung gue dulu memutuskan untuk membeli tas belanja Decathlon yang
ukurannya kayak karung beras, gue selalu bisa menjadikannya tas penyelamat di
saat gue keluar kota dengan bawaan yang banyak di luar perkiraan. Begitu juga dengan saat itu di
Jogja.
Berhasil mengeluarkan tas belanja putih tersebut, gue mulai
memasukkan satu per satu tas yang lebih kecil, yaitu tas sepatu dan tas belanja
lainnya yang berisi oleh-oleh dari kakak sepupu gue. Tersisa satu PR lagi,
kardus bakpia. Gue merasa ia masih bisa gue masukkan ke tas Decathlon ini. Tapi
nanti, nggak sekarang. Nggak bisa juga karena dia posisinya di depan.
Dengan kemampuan terbaiknya, Ade pun memacu motor secepat mungkin
sambil menampilkan sedikit kebarbaran orang Jogja dalam berkendara. Barbar
karena memotong dan melawan arus sesukanya.
Meski dalam kepanikan, gue masih bisa bercanda, “Oh, ini barbarnya orang
Jogja tuh begini ya, De?”
“Iya, Lan. Bukan orang Jakarta doang yang suka ngelanggar.” Sahutnya.
Padahal, sebelumnya gue berpikir bahwa orang Jogja atau orang Jawa
kebanyakan adalah orang yang patuh dan sabar. Setidaknya, stereotip gue terhadap
mereka di tanah Jawa itu begini; nggak akan buru-buru dan heboh memencet
klakson ketika lampu berubah dari oranye ke hijau. Tidak juga, kebut-kebutan atau selap-selip seenaknya.
Namun, semuanya nggak benar sepenuhnya. Setidaknya poin pertama yang
gue sebutkan di atas sudah gue alami sebelumnya, bahkan sebelum Ade melakukan
kebarbarannya barusan.
Sampai di Stasiun Lempuyangan, motor dimasukkan ke parkiran. Gue pun
memilih posisi yang cukup ke ujung dari parkiran, menyesuaikan dengan lokasi
pengambilan motor waktu itu. Namun, kali itu gue memilih yang berada di bawah
kanopi biar nggak kehujanan.
Turun dari motor, Ade bertanya apakah gue sudah janjian dengan penyewa
motor untuk mengembalikannya saat itu juga. Gue jawab belum. Bagaimana bisa? Sepanjang
jalan ponsel gue taruh di dalam tas agar nggak kehujanan atau takut terjatuh di
jalan.
Menurunkan tas dan kardus dari motor setelah melepas jas hujan, gue langsung menghubungi penyewa motor melalui WhatsApp. Awalnya hanya mengirimkan
pesan karena lama membalas gue pun meneleponnya. Lewat telepon, si penyewa pun meminta gue
menunggu sebentar untuk mendatangi gue.
“Masih lama nggak?” Tanya Ade.
“Sebentar katanya. Dia lagi jalan ke sini.” Jawab gue santai.
Jam masih menunjukkan pukul 21.23. Masih
ada beberapa menit lagi, pikir gue.
Sayangnya, di kondisi itu hanya gue yang santai, Ade nggak. Ia pun
berinisiatif meminta gue untuk ke dalam stasiun terlebih dahulu untuk mencetak
tiket online sembari menunggu penyewa motor datang.
“Mending lo ke dalem dulu deh. Print tiket.” Katanya mengingatkan.
Gue pun langsung berjalan menuju gedung stasiun sambil membawa semua
bawaan gue, dibantu Ade juga mencari-cari tempat mencetak tiket keberangkatan.
“Dimana, De?” Tanya gue.
“Ini?” Gue menunjuk sebuah loket.
“Bukan.” Jawabnya.
Kami pun terus berjalan sampai bertemu dengan meja yang berisi komputer
berjajar. Gue langsung mendekati salah satunya sambil menitip barang bawaan
kepada Ade, mencetak tiket keberangkatan. Nggak lama, nggak sampai dua menit
malahan.
Gue kembali menghampiri Ade dengan membawa tiket yang telah
dicetak. Ia kembali bertanya soal penyewa motor, apa sudah kembali memberi
kabar. Belum, jawab gue. Ia pun bertanya lagi. Kali ini soal nama kereta yang
akan gue tumpangi.
“Bengawan, De.” Jawab gue masih santai.
Nggak lama, kami mendengar pengumuman bahwa kereta akan segera
berangkat. Gue pun melihat layar televisi yang menampilkan jadwal keberangkatan
kereta dan Bengawan ada di barisan paling atas. Gue harus segera.
“Ya udah kalau gitu mending lo masuk dulu deh. Nanti motor gue yang
urusin.” Katanya menyuruh gue untuk bergegas.
“Ya udah, nanti gue kasih kontak lo ke masnya.” Jawab gue buru-buru dan
agak panik.
Sebenarnya, di kondisi itu gue agak jengkel karena jadwal keberangkatan
beberapa menit lebih awal, sekitar lima menit. Makanya, gue masih bisa
tenang-tenang saja dan bersantai seakan kereta akan menunggu gue.
Meski menggurutu dalam hati, gue tetap melakukan check in seperti yang
diarahkan oleh Ade. Ia mengantar gue sampai ke meja pemeriksaan tiket, gue pun
menunjukkan tiket dan KTP gue yang telat dipindahkan di lanyard bersama
kartu-kartu gue lainnya.
Selesai diperiksa, gue melihat bahwa kereta akan segera berangkat. Peron
sudah sepi oleh penumpang. Hanya tersisa satu petugas yang nampak di pandangan
gue. Seluruh pintu kereta sudah tertutup. Bodohnya, gue masih bisa melakukan
seremoni perpisahan dengan Ade.
“Dah, De! Makasih ya!” Seru gue kepada Ade setelah melewati petugas
sambil berlarian kecil dengan gembolan di sana-sini.
Dalam hati, gue kembali merutuk. Gue nggak sempat berfoto sama sekali
dengan Ade. Nggak ada waktu tersisa di stasiun untuk mengabadikan momen kami
bertemu kembali.
Masih berlari secepat mungkin, semampu gue, gue mendengar ada
pengumuman lainnya dari pengeras suara. Sebuah peringatan bagi masinis untuk
menahan sebentar keberangkatan.
“Iya... Masinis, tunggu sebentar. Masih ada satu orang tertinggal.”
Kata lelaki dari pengeras suara.
Peringatan itu selesai, gue telah sampai di depan pintu kereta ditemani
satu petugas. Sayangnya, pintu itu tertutup rapat dan tidak ada petugas lain di
dalamnya. Petugas yang bersama gue pun mengetuk-ngetuk kaca pintu kereta
berharap ada seseorang membukakannya untuk gue. Dari kejauhan, gue juga masih
bisa melihat Ade menunggu gue benar-benar masuk ke dalam kereta, memastikan gue
aman.
Dalam kepanikan, rasanya cukup lama sampai satu orang penumpang yang
duduk di dekat pintu membukakan pintu. Padahal, sedari tadi ia melihat kami
berada di depan pintu dan mengetuknya. Entah apa yang ia tunggu tapi gue berterima
kasih banyak padanya.
Dengan napas yang masih terengah-engah karena berlari, gue berhasil
masuk ke dalam kereta. Tidak lupa dengan semua bawaan yang gue punya dan
meletakkannya sebentar di lantai kereta, sekenanya.
“Bu, ini gerbong berapa ya?” Tanya gue kepada seorang ibu yang duduk
bersama dengan perempuan yang tadi membukakan gue pintu.
“Delapan.” Jawabnya singkat.
“Gerbong berapa? Delapan ya?” Tanya gue ulang namun kali ini lebih seperti
bertanya kepada diri sendiri.
Ibu itu tidak menjawab. Gue pun memeriksanya sendiri dengan melihat
angka yang tertera pada dinding kereta di dekat pintu. Benar, gerbong delapan.
Beruntungnya gue nggak perlu berjalan untuk pindah ke gerbong lainnya.
Gue melangkah masuk ke dalam gerbong dan mencari tempat duduk gue
sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Untungnya, tidak jauh dan masih
sepi. 7D, nomor kursi yang gue cari, tepat berada di ujung lorong.
Tanpa banyak menunggu, gue langsung meletakkan semua barang bawaan gue
di lantai, melepaskan ransel Fila berwarna cokelat yang sudah usang ke kursi.
Kemudian dengan cekatan menarik tas Decathlon dan kardus bakpia gue ke satu
kursi lainnya di belakang untuk gue naikkan ke rak di atas.
Masih sepi, gue merasa memiliki cukup banyak waktu untuk mengemasi isi
tas yang nggak karuan itu. Gue pun berbalik ke kursi di belakang sambil
mengemasi isinya agar lebih baik. Juga, memisahkan baju atau benda yang
sekiranya gue butuhkan selama perjalanan nanti, seperti boneka Kaka, maskot
Asian Games 2018, untuk bantal maupun camilan.
Bangku di belakang gue, nomor 5 dan 6 masih kosong sama sekali, belum
ada yang menduduki. Gue leluasa dalam mengatur segala perlengkapan. Ada
satu bapak juga yang duduk di kursi seberang gue, ia sedang mengisi daya
ponselnya. Kesempatan lain untuk beliau agar tidak berebut dengan yang lainnya.
Selesai berkemas, gue pun ingin mengganti pakaian yang basah agar tidak
masuk angin dan menitipkan tas gue yang belum gue tutup resletingnya.
“Pak, titip ya!” Pinta gue basa-basi dan mencoba percaya. Lalu,
berjalan ke kamar mandi kereta.
Isu virus Corona atau COVID-19, yang sudah menjadi pembicaraan hangat di
kalangan masyarakat Indonesia saat itu, menjadi derita sendiri buat gue yang
harus ke kamar mandi. Tanpa Corona pun gue nggak sudi sebenarnya untuk memakai
kamar mandi itu. Kalian tahulah alasannya apa.
Berjuang keras untuk meminimalisir kontak dengan pegangan yang ada di
kamar mandi maupun melihat lubang yang jauh dari kata bersih, gue berusaha
mengganti baju secepat mungkin. Tidak lupa untuk membersihkan tangan setelahnya
dan membuka pintu tanpa memegang gagangnya. Keluar dari sana, gue sedikit
merasa lega dan kembali bisa bernapas normal.
Namun, perjuangan belum selesai. Gue masih harus membersihkan wajah
yang hari itu, tumben-tumbennya gue mau merias wajah dan menggunakan eyeliners
kebanggaan gue tetapi sudah mulai terhapus karena terguyur hujan di sana-sini. Gue harus menghapusnya
dengan sempurna agar tidak malu jika dilihat orang. Belum lagi harus berganti
sepatu dan membersihkan kaki. Banyak sekali yang harus dikerjakan. Untungnya,
gue membawa tisu bawah yang cukup untuk memfasilitasi semua ini.
Semuanya sudah selesai. Wajah, kaki bahkan ponsel pun gue bersihkan.
Baterai sudah cukup untuk sepanjang perjalanan sampai ke Jakarta. Saatnya gue
memberikan kabar kepada yang lainnya, seperti kakak sepupu gue maupun keluarga
gue di rumah.
Soal Ade, jelas sudah duluan, pertama malahan. Mengapa dia pertama? Karena
motor sewaan gue dia yang mengembalikan.
“De.” Gue panggil via WhatsApp.
Sebuah kebiasaan yang nggak sedikit orang kesal karenanya. Hal ini disebabkan gue mengirimkan
pesan satu baris untuk satu kalimat. Kesukaan gue adalah memanggil nama orang
yang diketik hanya dalam beberapa huruf dan memisahkannya tersendiri, paling
awal, hanya satu baris. Seperti ini misalnya.
Kemudian, gue mengirimkan kontak penyewa motor kepadanya. Sebelumnya,
gue sudah mengontak penyewa rental dan memberitahunya bahwa gue sudah naik
kereta dan motor akan dikembalikan oleh teman gue.
“Ini kontak orang rental.”
“Gue udah kasih tau sih.”
“Kalian kontakan saja coba ya.”
“Tolooooong.” Gue memohon tidak lupa dengan emoticon menangis seperti air terjun di ujungnya.
Ade malah bertanya balik, “Tinggal ngasih doang ya?”
Gue mengiyakan dan memberitahunya bahwa nanti si penyewa akan mengembalikan kartu
BPJS Kesehatan gue yang berharga kepadanya. Gue pun memintanya untuk menjaga
kartu tersebut, sumber kehidupan dan kekuatan gue, pelarian ketika gue sedang
lemah-lemahnya, meminta pertolongan kepada yang berwenang, tenaga kesehatan
maksudnya.
Setelah cukup tenang karena semua persoalan di Jogja sudah selesai. Gue
pun berterima kasih padanya, benar-benar berterima kasih. Bukan hanya soal
waktu dan tenaganya, lebih dari itu, ini soal dia yang mengingatkan gue terus
agar nggak ketinggalan kereta. Dia menyelamatkan gue.
“Anw, terima kasih telah menyelamakan gue fufu. Jangan kapok yaa!” Oceh gue dalam WhatsApp.
“Okay. Anytime ya.” Jawabnya diikuti dengan tawa khas manusia Indonesia,
wkwkwkwk.
“My savior~” Sahut gue lagi.
Lalu, ia pun berkeluh soal kelakuan gue ini, “Lo yang mau pulang, gue
yang deg-degan.”
Dalam hati gue berkata, oh...
bukan hanya Anda. Satu rumah tadi pun panik dengan kelakuan gue ini. Bahkan,
diri gue sendiri pun panik dengan kebodohan gue ini.
Namun, gue membalas WhatsApp-nya santai dan masih bercanda, “Untung lo
pembalap dan tahu jalan. Selamatlah gue.”
Nggak ngerti lagi sama Zakia ini. Sepertinya dia itu anak pantai
sekali, hidupnya santai sekali. Padahal, tinggal di Belitung hanya tiga tahun
itu pun ke pantainya jarang. Bikin teori sendiri anak ini. Pasti!
“Lo kalau tadi ketinggalan kereta mau kek mana, nggak mungkin ngejar
pake motor kan kita.” Masih saja orang ini memprotes gue. Tidak lupa dengan
emoticon wajah yang ditekuk. Sebal!
“Padahal perkiraan gue cuma sepuluh menit nyampe stasiun, ternyata
lebih” Lanjutnya.
Gue pun menggodanya soal, siapa tahu ia ingin kembali ke sini dengan
mengendarai motor? Kan bisa saja. Lalu, gue pun bercerita soal kekesalan gue
karena kereta yang cheating lima
menit berangkat lebih cepat. Kemudian, gue yang dimarahi. Gue yang salah.
“Lo tuh ya, udahlah nggak tahu cetak tiket dimana, keretanya apa,
berangkatnya jam berapa.”
Tapi, gue tetap membahas soal dia yang ternyata pernah kepikiran untuk
pulang ke sini dengan mengendarai motor.
Ia bilang, “Dulu sempet kepikiran gini sih.”
Gue menanggapi dengan antusias, tidak merasa bersalah atas kelakuan gue
yang mepet-mepet barusan, “Kan... siapa tahu gue bisa makes your dream comes
true” yang diikuti dengan emoticon
tertawa tiga buah.
“Ya udah, besok dah kalau lo kesini lagi.” Katanya.
Lalu, percakapan kami terus berlanjut. Selain, soal bercandaan ini gue
pun menemukan alasan lain untuk kembali ke Jogja, untuk lari di depan Keraton
di jalan berbatu yang kami lewati saat mengobrol sore itu.
“Bagus! Lari di Keraton buat foto adalah alasan yang cukup baik untuk
balik ke Jogja sih.” Balas gue.
Lalu, ia pun mengingatkan gue bahwa belum tentu saat gue kembali ke
sana titik foto yang gue maksud masih berbatu. Siapa tahu ia telah ditumbuhi
rumput.
“Nggak bisa lihat track banget ya lo ini orangnya. Berdoa aja ya nggak
ditanemin rumput depan Keraton.” Ia berusaha menggoda gue.
Gue menyanggahnya, meski telah dirumputi, trek itu masih bisa buat
lari. Namun, ia bilang, mungkin nggak akan semenggoda itu dan semenarik saat
itu, katanya.
Baiklah, gue tidak kehilangan akal. Gue pun menitipkan pesan padanya
kepada keluarga Keraton untuk tidak menanamkan rumput di titik itu, setidaknya
sampai gue kembali ke sana dan membuat konten lari di sana.
“Jangan dirumputinlah kalo gitu. Bilang sama orang Keraton, jangan
dirumputin sampe gue ke sana lagi gitu, De.”
Ia pun menolak karena merasa bukan bagian dari keluarga Keraton. Gue
nggak peduli dan memaksa dia untuk tetap mengamankan bahan konten lari gue di
masa depan.
“Tolong Anda bergaul dengan orang Keraton demi mengamankan lahan konten
saya.” Paksa gue.
Dan... setelah itu kontak kami terputus sementara.
Rupanya, ponselnya bermasalah, mati total tidak dibisa digunakan sama sekali. Sampai beberapa hari lalu, ia kembali mengontak gue dan memberi tahu kondisinya serta menanyakan percakapan terakhir kami sampai mana.
Rupanya, ponselnya bermasalah, mati total tidak dibisa digunakan sama sekali. Sampai beberapa hari lalu, ia kembali mengontak gue dan memberi tahu kondisinya serta menanyakan percakapan terakhir kami sampai mana.
Melihat kepribadiannya, gue tidak mau ambil pusing atau membebani. Gue jawab
kalau yang terakhir kami bahas bukanlah apa-apa dan nggak penting-penting amat,
nggak dilanjutkan pun nggak apa, nggak masalah. Namun, ia tetap bertanya dan
mencoba mengingat-ingat. Gue menyerah dan memberi tahunya.
Percakapan pun bersambung. Kami membahas lagi soal pertemanan karena
saat ini ia menggunakan ponsel dari temannya, meminta bantuan. Di titik ini ia nggak
mengerti mengapa temannya masih mau membantunya, padahal ia berpikir bahwa ia
ini teman yang menyebalkan, how suck i am
as a friend, katanya.
Gue mengamini yang dia katakan karena gue juga merasa tipe manusia
yang menyebalkan dan banyak orang nggak suka. Namun gue mengingatkan dia,
setidaknya segimana pun kita di mata orang lain, ketika orang itu mau membantu
kita saat kita butuh artinya kita cukup berarti di hidup mereka, kita punya
nilai di hidup mereka.
Sebagaimana gue merasa cukup berarti dan bernilai ketika dia mau
meluangkan waktunya di tengah jadwal kerja shift
yang gue tahu itu melelahkan. Sebagaimana gue merasa bersyukur punya teman
seperti dia yang mau keluar kosan untuk menemui gue, mengobrol bersama gue
nggak ada habisnya sampai berhujan ria mengantarkan gue ke stasiun penuh
kepanikan ditambah dengan Pakde gue yang bertanya macam-macam lagi. Gue nggak
ngerti harus gimana lagi.
Dia yang menyelamatkan gue dari ketertinggalan kereta dan tertinggal di
Jogja. Namun, di sisi lain, gue merasa tetap tertinggal di Jogja yang katanya
istimewa. Jogja yang benar membuat gue merasa istimewa di kali kedua gue
mengunjunginya. Terima kasih atas ceritanya, Jogja dan orang yang berada di sana.
0 komentar