Posisi Menentukan Prestasi, Bener Nggak Sih?

Rabu, April 06, 2022

Bekerja di start-up edutech membuatku kembali teringat masa-masa sekolah dulu. Terutama di bulan-bulan sekarang, di mana banyak siswa kelas 12 yang sedang menunggu pengumuman kelulusan yang dibarengi dengan penentuan kelolosan masuk perguruan tinggi negeri (PTN), entah melalui jalur nilai rapor (SNMPTN), ujian bersama se-Indonesia (SBMPTN) atau ujian mandiri di masing-masing kampus.

Mengamati dan berusaha mengenal lebih dekat perilaku para siswa ini, aku pun menyadari kalau di mana kita tinggal dan bersekolah sangat menentukan bagaimana karier kita ke depannya. Nama almamater sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses rekrutmen. Pasti banyak dari kita sering melihat ketentuan lamaran kerja yang berbunyi, "Lulus dari kampus ternama" atau bahkan "Lulus dari kampus ranking 10 besar di Indonesia"

Zaman memang sudah canggih. Informasi juga makin luas. Namun, ketentuan rekrutmen seperti masih ada sampai hari ini. Tentu, buat orang-orang sepertiku yang bukan lulusan kampus ternama apalagi terbaik mengelus dada. Persaingan untuk orang-orang seperti pastilah berat, usahanya pun harus berkali-kali lipat dibandingkan teman-teman lain yang lulus dari kampus terkenal dan terpercaya.

Almamater pelancar lolos kerja di perusahaan besar 

Saat liputan di rumah Eyang Habibie

Aku termasuk yang sedikit beruntung karena di awal karier aku bisa langsung masuk ke perusahaan ternama. Pekerjaan pertamaku adalah wartawan online untuk kanal nasional. Perusahaan yang berada di Jalan Tendean ini, ternyata, dikenal dengan baik oleh banyak pembaca bahkan, ternyata, di lapangan pun kantor pertamaku ini cukup disegani. Oleh karena itu, saat liputan dulu aku kadang mendapatkan perlakuan yang agak berbeda dari para narasumber.

Sebenarnya aku pun tidak menyangka bisa lolos dan bekerja di kantor berita online yang satu ini. Namun, ternyata, almamaterku sangat berpengaruh untuk hal ini. Jurusan jurnalistik memang menjadi andalan kampusku. Nggak heran kalau banyak lulusan Kampus Tercinta ini yang menjadi korban wartawan di berbagai media. Bahkan, atasanku pun lulusan kampus yang sama.

Kesamaan latar belakang ini yang mempermudah jalanku menjadi seorang jurnalis online. Selain, ya aku memang memiliki seorang abang yang sudah lebih akrab dengan dunia ini. Ia memang berkuliah di jurusan Jurnalistik, di kampus yang sama denganku, dan telah menjadi wartawan lebih dulu, hanya saja di topik yang berbeda. Ia memilih topik hiburan sementara aku, yang lulusan jurusan Hubungan Internasional, terjebak dalam isu politik dalam negeri.

Sebelum menjadi jurnalis, aku memang sudah suka menulis. Blog ini adalah hasil tulisanku yang kemudian menjadi portofolio yang aku bawa saat wawancara. Jadi, sebenarnya, aku cukup memenuhi syarat untuk menjadi seorang jurnalis muda. Namun, aku juga yakin faktor almamaterku juga punya peran yang besar, sangat besar malah untuk kelolosanku dalam rekrutmen tersebut. 

Sayangnya, aku tidak bertahan lama. Kiranya hanya 6-7 bulan aktif menjadi wartawan, aku pun memilih untuk menyerah. Atasanku pun tidak berminat untuk memperpanjang kontrak, aku pun demikian. Akhirnya, berhentilah sampai di situ pengalamanku menjadi seorang reporter media online.

Pernah bekerja di perusahaan ternama memudahkan langkah karier selanjutnya 

Setelah berhenti menjadi wartawan, aku pun kembali mencari pekerjaan yang berkaitan dengan tulis-menulis. Kata kunci yang aku gunakan saat menggunakan website lowongan kerja tidak jauh-jauh dari kata "writing" dan "writer". Waktu itu, aku belum tahu kalau ternyata ada banyak sekali pekerjaan yang dilabeli sebagai penulis tapi mereka harus menerbitkan buku, yaitu, content writer, copywriter, UX writer, dan lain-lain.

Dengan pengetahuan awal ini, aku pun melamar di berbagai perusahaan untuk posisi content writer, copywriter, atau social media specialist. Aku memutuskan untuk memilih posisi-posisi tersebut tidak lain karena keyakinanku atas kemampuan yang aku miliki hanyalah di bidang-bidang ini: menulis dan menggunakan media sosial. 

Setelah beberapa bulan, akhirnya aku pun dipanggil wawancara dengan sebuah agensi media sosial di Kalideres. Wawancara berjalan dengan cukup antusias karena pewawancara suka dengan latar belakang yang aku punya: eks reporter Detik. Ia pun bercerita kalau beberapa penulis yang ada di perusahaan tersebut pun mantan wartawan di media lainnya. 

Berbekal label eks jurnalis, aku pun lolos wawancara dan diangkat menjadi karyawan kontrak. Bahkan, kadang aku ditugaskan untuk meliput acara klien untuk dijadikan konten. Ya, pengalaman dan kemampuan yang aku dapat dari menjadi seorang jurnalis di Detik tidaklah sia-sia, tetap terpakai meski tidak sepenuhnya. 

Namun, umur kerjaku di kantor ini pun tidak begitu lama. Hanya enam bulan. Aku pun diberhentikan sepihak oleh perusahaan dengan alasan penghematan dana. Ini terjadi di awal pandemi, Maret 2020.

Kenalan bisa membantu meningkatkan karier

Setelah dari agensi di Kalideres, aku pun berpindah ke sebuah agensi media sosial lainnya di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Pertemuanku dengan kantor yang satu ini cukup berbeda dengan dua pengalaman sebelumnya karena bukan hasil mencari sendiri. Alasan aku diloloskan pun bukan karena almamater maupun pengalaman bekerja di perusahaan ternama, melainkan karena kenalan yang mereferensikan aku kepada atasanku di kantor yang baru ini. 

Aku mendapatkan informasi lowongan kerja di kantor ini lewat manajerku di kantor lama. Ternyata, pemilik perusahaan yang aku lamar kali itu adalah temannya dan kebetulan memang membutuhkan social media specialist dalam waktu dekat.

Aku pun melamar dan proses rekrutmennya berlangsung begitu cepat. Tidak banyak hal yang dijadikan pertimbangan baik dari perusahaan maupun dari diriku sendiri. 

Aku bekerja di kantor ini cukup lama, lebih dari setahun. Ini adalah durasi terlama aku bekerja di sebuah perusahaan. Namun, aku tidak berniat untuk lebih lama lagi di sana dengan alasan prospek karier dan pengembangan diri. Akhirnya, aku pun mengundurkan diri di bulan keempat belas aku di sana tidak lama berselang setelah aku dikabarkan diterima di kantor yang sekarang. 

Aku bisa masuk di kantor yang sekarang pun lagi-lagi karena seorang kenalan, seorang teman dari suamiku. Ia waktu itu baru saja bergabung di kantorku ini dan ternyata memang membutuhkan satu orang social media specialist. Aku yang memang mencari kesempatan baru tidak menyia-nyiakannya dan langsung melamar. Syukurnya, diterima ✨

Lolos karena kenalan bukan berarti tidak punya kemampuan 

Saat diterima di kantor yang sekarang, jujur saya aku bertanya-tanya, apakah aku masuk karena orang dalam atau memang aku dirasa kompeten untuk mengisi posisi yang dibutuhkan. Berkali-kali aku merasa kecil hati dan minder karena melihat kolega yang lain memiliki latar belakang yang luar biasa: lulus dari universitas terkenal dan terpercaya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Aku menanyakan kegundahanku kepada teman yang merekomendasikanku untuk masuk ke kantor ini. Jawabannya sangat menenangkan hati, "Ya ngapain ngajakin orang yang nggak bisa kerja? Nambah kerjaan doang!" Ia pun menjabarkan kemampuan profesional yang ada dalam diriku sampai aku dirasa pantas untuk mengisi posisi yang ada. Aku pun bersyukur untuk itu. Aku merasa pengalaman dan kemampuanku tervalidasi meskipun sebelumnya bekerja di perusahaan-perusahaan kecil yang tidak terkenal.

Hal yang sama pun terjadi sebelumnya, ketika mantan atasanku di kantor Kalideres merekomendasikan aku ke temannya, pemilik agensi di Meruya itu. Aku pun menanyakan bagaimana pengalaman dan kesan yang ia rasakan saat bekerja denganku serta apa yang membuat ia mau merekomendasikan kepada temannya. Jawabannya kurang lebih sama, menenangkan, "Aku seneng kok kerja sama kamu. Tulisan kamu juga oke. Cuma emang perlu dipendekin lagi biar nggak panjang-panjang banget. Hehe."

Intinya, dari kedua kenalan ini tahu dan yakin bahwa jalur orang dalam tidak selalu buruk. Tidak juga seseorang bisa memasukkan kenalannya ke sebuah perusahaan kalau nggak dibekali dengan kemampuan yang dibutuhkan. Orang dalam memperlancar urusan tapi kalau kemampuan nggak sesuai juga susah, belum tentu diterima.

Lulusan kampus ternama mempercepat karier impian

Kembali ke topik awal pembahasan, soal almamater menentukan karier bahkan bisa mempercepatnya adalah sebuah kenyataan yang nggak bisa dibantah. Contohnya banyak di sekitar kita, mungkin dari orang-orang terdekat.

Contohnya suamiku. Ia motion graphics designer lulusan Binus. Saat belum lulus pun ia sudah bisa mengerjakan proyek untuk klien sekelas Danone. Kemudian, sebelum kami menikah dan akhirnya bergabung di Happy Fresh, ia pun menjadi freelance desainer untuk sebuah agensi yang cukup besar dan ternama.

Contoh lainnya, teman dekatku. Ia bisa bergabung ke e-commerce incaran banyak orang di tahun keduanya lulus. Ia pun bertahan di sana cukup lama meski akhirnya mengundurkan diri karena kultur kerja yang tidak nyaman. Ia adalah lulusan sebuah perguruan tinggi negeri di Karawang.

Kalau mau melihat teman-teman satu jurusan yang aku temui di MUN, wah... itu lebih dahsyat lagi. Beberapa di antara mereka bahkan telah menjadi diplomat yang sebenarnya. Ada juga yang jadi semacam diplomat tapi bukan untuk Kementerian Luar Negeri melainkan untuk sebuah organisasi kebijakan luar negeri. Beberapa di mereka bahkan bisa mendapatkan beasiswa di luar negeri. Salah satu temanku dari masa SMA bahkan sedang menjalankan studi PhD-nya di Australia. Mereka semua tentu saja berasal dari kampus terkenal yang bahkan punya kelas internasional. Kampusku? Mana ada 🤷🏻‍♀️

Posisi memang menentukan prestasi

Pengalaman dan kesadarku atas pentingnya jalur pendidikan yang kita tempuh terhadap masa depan membuatku berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan adikku di jalan yang benar. Jangan sampai ia harus mengalami hal yang sama seperti aku atau Abangku. 

Kebetulan, adikku yang paling bungsu baru saja lulus dari SMA. Sekarang ia sedang mempersiapkan diri untuk mendaftar ke berbagai universitas. Untungnya, adikku yang pertama punya pengetahuan yang lebih banyak dan baik dibanding aku. Jadi, adik bungsu bisa dibantu oleh abangnya yang lebih tahu dan berpengalaman. 

Adik pertamaku kebetulan pernah lolos SBMPTN sebanyak dua kali. Pertama, untuk jurusan Teknik Mesin, Universitas Brawijaya. Kedua, untuk jurusan Fisika, Universitas Indonesia. Ia berhasil lolos seperti itu pun ada faktor di mana ia bersekolah, selain karena adikku yang satu ini jauh lebih bekerja keras dibanding kami kakak-kakaknya.

Saat SMA, adik pertamaku sekolah di Jakarta yang tentunya punya lingkungan dan tingkat persaingan yang ketat. Jauh sekali berbeda dibandingkan aku yang bersekolah di Belitung waktu itu. Oleh karena itu, jiwa kompetisinya pun lebih terpacu ditambah akses yang lebih lengkap tentu saja sangat mendukung untuk belajar giat agar masuk PTN impian.

Aku dan anggota keluarga lainnya melihat adik pertamaku ini sebagai orang paling giat belajar, selain paling pintar, yang pernah kami temui. Namun, saat ia bercerita dan memberi arahan kepada adik bungsuku, ternyata ia tidak merasa begitu. Ia merasa biasa-biasa saja jika dibandingkan teman-temannya di Jakarta. Katanya, mereka jauh lebih pintar, bekerja keras, dan berambisi dibanding dirinya. Padahal, adikku ini kalau belajar bisa sampai subuh dan paginya tetap harus ke sekolah. Mirip sekali seperti yang biasa kita lihat di drama Korea. 

Dari pengalaman adikku, teman-temanku dan diriku sendiri, aku sangat mengamini kalau posisi memang menentukan prestasi. Tinggal di kota besar seperti Jakarta pasti membuat kita berkembang lebih cepat dibanding teman-teman di daerah.

Jangan lupa berstrategi meski sudah punya posisi

Namun, lokasi saja nggak cukup. Kita tetap harus pintar berstrategi. Misalnya, menentukan lingkungan yang tepat dan berteman dengan orang-orang yang tepat, yang bisa mengajak kita untuk berkembang dan memperkenalkan kepada kesempatan-kesempatan emas. Hal ini sangat diperlukan untuk membuat kita senantiasa terpacu namun selalu punya teman yang mau membantu di saat kita butuh. 

Tetap banyak sekali faktor yang menentukan keberhasilan kita di masa depan. Namun, di mana kita menempuh pendidikan masih memiliki peranan yang cukup besar karena tidak hanya soal kredibilitas tapi juga soal prestis yang menyertainya 💯

You Might Also Like

0 komentar