Thirty Nine: Pengingat Soal Teman Baik yang Pernah Ada

Rabu, April 06, 2022

Kemarin, aku baru saja menonton episode 10 drama Korea Thirty Nine. Drama ini bercerita soal pertemanan tiga perempuan yang sudah berusia 39 tahun dan bagaimana mereka ingin menghabiskan tahun terakhir sebagai manusia berusia 30-an. Sayangnya, salah satu di antara mereka harus bertemu akhir cerita hidupnya lebih cepat karena kanker pankreas yang diderita. Akhirnya, tiga sekawan ini pun berusaha memaksimalkan waktu yang tersisa dengan saling hadir satu sama lain di berbagai kondisi, terutama bagi Chanyoung yang umurnya tidak lama lagi. Mereka berusaha untuk menghabiskan waktu dengan bersenang-senang meskipun sebenarnya tidak mudah dan ada perasaan sedih yang kadang melanda.




Cerita tiga sekawan, Chanyoung, Mijo dan Joohee ini mengingatkanku tentang pertemananku dengan seorang kawan. Dia adalah salah satu teman terbaik dan terdekat yang pernah aku punya. Kami sangat dekat bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Kami adalah dua orang yang dipertemukan karena bersekolah di tempat yang sama dan kebetulan berada di kelas yang sama saat SMA. Dia orang yang menyelamatkanku dari keterasingan saat aku baru saja pindah ke Belitung.

Kami berteman sejak SMA sampai awal pandemi tahun 2020. Pertemanan kami berakhir, sebenarnya, karena hal yang tidak perlu: insecurity.

Di awal pandemi, aku satu kali lagi mengalami masa sulit dalam hidup. Aku diberhentikan secara sepihak oleh kantorku kala itu. Sementara, aku baru saja sembuh dari efek samping toxic relationship yang aku alami satu tahun sebelumnya. Ditambah lagi, pandemi memaksa aku dan banyak orang lainnya untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Aku tidak bisa kemana-mana, aku tidak bisa bertemu siapa-siapa atau sekadar untuk berlari di sekitaran rumah sebagai upaya melepas kepenatan.

Seperti banyak orang lainnya, kala itu kondisi mentalku tidak cukup baik. Selain kondisi pandemi yang tidak familiar dan memaksa beradaptasi, tekanan untuk kembali memiliki pekerjaan dan keinginan memulai kisah cinta baru yang lebih sehat pun membebaniku. Ada banyak hal yang ingin dicapai tapi kondisi tidak memungkinkan. 

Mendadak menjadi pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan selama berbulan-bulan di kala pandemi tidaklah mudah. Tuntutan untuk terus maju juga tidak serta-merta hilang begitu saja. Tentu saja, aku merasa tertekan.

Sialnya, tekanan yang kualami membuatku menjadi orang yang menyebalkan. Overthinking membuatku hobi membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain yang berujung dengan munculnya perasaan tidak adil dan ingin menyalahkan seisi dunia. Teman baikku ini salah satu korbannya.

Keretakan hubungan kami sebenarnya berawal dari masalah laki-laki. Bukan karena kami sama-sama menyukai orang yang sama, hanya saja aku yang tidak mengerti dan cukup kecewa dengan tindakan yang dipilih temanku. Apa yang ia lakukan pada laki-laki itu adalah apa yang aku lakukan dulu kepada salah satu seniorku di kampus. Suatu tindakan yang menurutku, saat sudah sadar seperti sekarang, adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan alias memalukan.

Aku dan temanku ini sangat dekat, tentu saja aku pernah menceritakan kebodohanku yang satu itu kepadanya. Aku pikir, ceritaku itu sudah cukup menjadi pedoman baginya agar tidak bertindak sama. Sayangnya, tidak demikian.

Aku kecewa pun dengan pilihannya karena sebenarnya aku percaya dia lebih dari aku: lebih pintar, lebih bijaksana dan lebih pandai memilih. Namun, mungkin dalam hal ini aku salah atau sederhananya tidak sesuai dengan ekspektasiku.

Percakapan kami pun melebar, entah bagaimana berujung pada aku yang memproyeksikan perasaan insecure-ku yang berisi praduga bahkan iri-dengki. Inilah yang sebenarnya menjadi alasan utama kami tidak lagi saling menyapa satu sama lain.

Kondisiku yang tidak baik-baik saja dan kenyataan yang tidak sesuai dengan bayangan di kepala membuatku menjadi orang yang sangat berbahaya. Kata-kata yang aku keluarkan, yang aku anggap sebuah kejujuran dan mungkin diterima dengan lapang dada, ternyata bisa menyakiti hati orang lain dengan mudahnya. Bahkan, aku lupa, saat itu bukan hanya aku yang sedang tidak baik-baik saja. Temanku pun mungkin sebenarnya tidak baik-baik saja. Hanya saja aku tidak bertanya soal itu kepadanya. 

Sejak saat itu, hubungan kami tidak pernah kembali baik-baik saja meski ia berkata bahwa ia baik-baik saja saat mendengarkan pengakuanku. Kami tidak lagi saling menyapa, kami tidak saling berhubungan. Permintaan maafku pun tidak ditanggapi olehnya. Kami pun tidak lagi terhubung di media sosial mana pun. Ia menghapusku dalam daftar pertemanannya. Ya, semua berakhir dengan sempurna hanya karena perasaan insecure. 

Dua tahun berlalu, penyesalan yang sama masih ada di benakku. Aku tidak bisa menghapusnya begitu saja. Aku bahkan mengkonsultasikan hal ini beberapa kali dengan psikolog yang aku temui. Aku pun menceritakan hal ini kepada teman-temanku. Namun, tetap tidak ada yang berubah dari hubungan kami. 

Saat aku menikah Oktober tahun lalu pun aku enggan mengundangnya. Bukan karena aku tidak mau tapi lebih karena aku tidak yakin dia akan menanggapinya dan akan datang. Aku takut sakit hati karena ekspektasi yang aku buat sendiri. 

Jadi, sampai hari ini aku pun tidak terhubung dengannya sama sekali. Padahal, ingin sekali rasanya kembali berbagi cerita, tawa atau sekadar mengeluh bersama seperti yang biasa kami lakukan di hari-hari dulu. Aku pun ingin sekali berbagi kebahagiaan soal kehamilan yang kujalani saat ini. Pasti ia pun merasa senang, sebagaimana teman-temanku yang lain. Terlebih, temanku yang satu ini pun memang bercita-cita memiliki anak bahkan ketika aku tidak berpikir soal itu karena takut. 

Lebaran nanti, aku dan suamiku berencana untuk pulang kampung ke rumah nenek-kakekku di Belitung. Niat utamanya memang untuk berkenalan dengan keluarga besarku yang ada di sana karena sejak menikah kami belum sempat ke sana dan keluarga dari Belitung pun tidak bisa datang ke pernikahanku tahun lalu. Namun, terbesit niat lainnya untuk mengunjungi kediaman teman dekatku ini. Meski aku tidak yakin akan bertemu dengannya nanti, setidaknya aku bisa bertemu dengan keluarganya yang memang sudah terasa seperti keluargaku sendiri. Setidaknya, aku bisa menitipkan salam dan permohonan maafku kepadanya. 

Besar harapanku kalau kami bisa kembali baik-baik saja seperti dulu. Akan tetapi, aku tahu betul, gelas yang pecah tidak akan pernah kembali sama meski telah diperbaiki sepenuh tenaga. Jadi, ekspektasiku pun aku turunkan. Setidaknya mendapatkan maaf darinya lebih dari cukup untukku. Setidaknya bisa kembali terhubung dan sesekali menyapanya pun sudah membuatku cukup baik-baik saja. 


Cerita pertamananku mungkin tidak seindah pertemanan Chanyoung,  Mijo dan Joohee tapi aku dan temanku ini pernah membuat memori indah bersama. Setidaknya, dulu kami melakukan fangilring bersama meski orang yang kami idolakan berbeda. Kemudian, kami rela kabur dari sekolah sebelum waktunya hanya karena ingin menonton Music Bank di Indonesia padahal saat itu sedang hujan gerimis dan kami harus berjalan kaki. Belum lagi soal berbagi begitu banyak cerita yang kalau ditulis satu per satu pun tidak tahu di mana ujungnya. Kami pun pernah tinggal bersama di sebuah kosan. Intinya, kami pernah mengalami bahagia dan sedih bersama dan dia menjadi salah satu pendengar terbaik yang aku punya. Tentu saja, aku merasa begitu kehilangan dan menyesal melihat hubunganku dengannya seperti sekarang ini. 

Entahlah kapan kondisi akan membaik, kapan pula aku bisa benar-benar merelakan ketidakhadiran temanku yang satu ini. Tiap mengingatnya aku masih begitu menyesal dan sedih. Aku berharap masih ada kesempatan kedua untuk kami berteman lagi. Semoga hari itu akan datang suatu hari nanti. 

You Might Also Like

0 komentar