In
17an,
Embrassing
17 Agustus
Rada kecewa kemarin mendengar pengumuman bahwa yang menjadi peserta untuk upacara 17an di kantor Bupati adalah anak kelas X MIPA dan Il Sos. Tapi, sayang walaupun pesertanya sudah ditentukan. Gue dan Febby, siswa yang amat sangat nasionalis ini memutuskan untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengan menjadi peserta upacara 17an juga. Semua rencana sudah disusun sedemikian. Tahan malu, anggap aja kami ini masih kelas X.
Simpang siur upacara mulai jam berapa. Ada yang nanya gue, gue pun nanya balik yang lain. Akhirnya Sabtu pagi gue udah bangun dan sarapan, berasa pengen pergi ke sekolah disaat yang lain masih bisa melanjutkan tidurnya di 17 Agustus yang cukup cerah ini. Jam 7 gue udah rapi dan cantik. Janjinya Febby mau jemput gue berhubung searah sama kantor Bupati-nya, tapi seperti biasa motor dia dipake sama nyokapnya buat ke pasar. Jadi, mau ga mau gue jemput dia ke pasar yang kalian perlu tau itu berlainan arah dan jauh banget. Gue ke rumahnya bukan jam 7 melainkan jam setengah 8 jam 8-an gitu berhubung kata dia mulai upacaranya sekitar jam segitu.
Sebenarnya sih yah gue pengen ikut upacara selain emang gue warga Indonesia yang baik dan nasionalis, padahal tahun-tahun kemarin ga pernah ikut upacara dan ini kali pertama upacara di Kabupaten Belitung Timur tercinta ini. Ya emang gue pengen ngeliat temen-temen yang jadi paskib dan ehem menghibur diri dikala ditinggal laki. Sedih yah!
Oke, balik lagi. Sampe di kompleks perkantoran Pemda, ternyata sudah penuh manusia dan mereka sudah berbaris rapi meski belum masuk lapangan upacara. Gue sama Febby rada bingung kita harus kemana berhubung anak Smansa ga keliatan benjolan kepalanya. Ketemu sama guru les matematikanya Febby, ya ngobrol dulu sedikit abis itu langsung jalan cepat mencari gerombolan Smansa dan dengan tidak punya malunya gue minta baris di depan karena amat sangat ingin melihat para paskib Kabupaten itu. Ehem! Macacapaska mau liat paska yang aslinya! Oiya, pas sebelum kami lari juga ketemu sama Yoi uhu!~ Ganteng pake banget pas pake PDU! Lope lope buat Yoi!
Setelah hampir setengah jam sampai satu jam-an kami dijemur untuk dirapikan barisannya serta belajar hormat biar pas penghormatan nanti kompak, upacara pun dimulai. Para paskib sebelumnya sudah baris berjejer rapi di jalan masuk mereka menuju lapangan, nyanyi yel-yel menghilangkan kegugupan. Ini itu dan segala macemnya. Pembacaan proklamasi dan sirinenya. Pas ini gue baru sadar kenapa upacaranya rada siang, ternyata nunggu jam 10 buat nyalain sirine. Anak bangsa yang lupa akan sejarah ini macem gue lah bentuknya ㅜㅜ
Dan... tiba saatnya dimana pasukan berbaju putih bersepatu hitam yang bisa menghasilkan suara sedemikan rupa masuk ke dalam lapangan upacara. Sang danton mulai memberi aba-aba. Sebenernya gue gatau siapa yang jadi danton, tapi Febby kenal dengan suaranya dan benar saja itu adalah Danu! Kece! Ga nyangka dia jadi danton (**)b Pas mereka masuk ke lapangan dengan lebaynya mata gue mengeluarkan butiran-butiran air mata hangat. Selain mengingatkan kepada yang di sana, gue juga miris dengan diri sendiri yang ga kesampean jadi paskib, khidmatnya upacara juga bikin terharu sih.
Sepanjang pasukan pengibar bendera pusaka ini memasuki lapangan otak gue bekerja dengan kerasnya, heran melihat topi entah peci --gatau harus bilang benda yang ada di atas kepala mereka itu apa yang dipakai Danu miring. Gue nanya sama Febby, kenapa jadi begitu bentuknya. Apa sengaja apa gimana. Dengan polos dan anehnya Febby bilang, "Sengaja mungkin, Za." Dan gue pun membenarkan perkataan Febby dan ga ambil pusing. Tapi, pas mereka berenti di depan bupati tiba-tiba ada seseorang yang seperti dugaan gue adalah Kak Kris membenahi peci Danu, tapi tetep aja bentuknya miring ga berubah.
Pas bendera pusaka sudah diberikan oleh Bupati yang hari itu amat sangat kece dengan baju entah apa namanya yang berwarna putih itu. Paskibra pun mencari tempatnya dan mulailah disebutkan nama-nama mereka yang menjadi danton, pembawa baki dan para pengibar. Sayang, yang jadi pembawa baki pagi bukan Fanny. Padahal niatnya mau liat dia. Dan padahal juga gue udah tau kalo dia jadi pembawa baki sore dari Yogi. Dan gue pas itu ga tau Fanny yang mana. Yang gue liat dan bisa diidentifikasikan cuma Danu, Yogi, Aldi serta Eca. Yang lainnya entah jadi apa pas itu, susah sekali untuk diidentifikasi.
Oke... pengibaran bendera pun selesai. Dan segala tetek-bengeknya pun sudah selesai. Balik kanan bubar jalan. Kami pun mendekati Yoi yang tadi pagi sudah janji bakalan foto bareng. Cari posisi pewe dan... inilah kebahagiaan di tengah galauin yang disana.
Pulang dari upacara kan laper tuh ceritanya si Febby berhubung paginya ga sarapan karena mamanya udah keburu ke pasar dan emang ga ada yang jualan hari itu berhubung libur. Jadi, kami berdua pergi ke depan puncak setelah keliling Manggar untuk mencari secercah nasi pengisi perut Febby. Makan mie ayam kesayangan yang paling enak di Manggar versi gue. Makannya bentar kelakarnya lama, entah apa yang dikelakari.
Pulang dari upacara kan laper tuh ceritanya si Febby berhubung paginya ga sarapan karena mamanya udah keburu ke pasar dan emang ga ada yang jualan hari itu berhubung libur. Jadi, kami berdua pergi ke depan puncak setelah keliling Manggar untuk mencari secercah nasi pengisi perut Febby. Makan mie ayam kesayangan yang paling enak di Manggar versi gue. Makannya bentar kelakarnya lama, entah apa yang dikelakari.
Dan setelah itu jam 11-an, kami memutuskan untuk singgah ke rumah Bu Dian, padahal jelas-jelas itu jauh dari tempat makan mie ayam. Abis dari rumah beliau, balik ke rumah masing-masing. Dengan memanfaatkan waktu yang sebaik-baiknya dan memilih batik sebagus-bagusnya gue pun kembali keluar rumah sekitar jam 2-an dan itu lumayan panas terik demi dateng ke kondangannya kakaknya Ferdy yang jelas gue sama Febby dan gue harus jemput dia dulu. Pas dateng sih masih rada sepi gitu. Disana banyak manusia yang kita kenal contohnya Delin dan Zainal yang ternyata jadi penerima tamu. Ada juga Winda sama entah siapa itu satu lagi wanita gue lupa. Ada Bang Azy yang sibuk foto-foto dan Ferdy sebagai yang mengundang kita. Dateng kita ga langsung makan, ngobrol-ngobrol ga jelas dulu gitu, foto-foto juga. Banyak juga di situ ketemu sama guru-guru Smansa dan sebagai murid yang baik pun kami menyapa dan menyalami beliau-beliau itu satu per satu.
Sampai akhirnya, gue dan Febby pun tergerak hatinya buat bernyanyi. Ini pasti efek dari kita berdua rajin karaoke-an gratisan malem-malem. HAHA. Kita berdua pun mulai mencari-cari lagu yang rencananya akan dibawakan duet. Akhirnya, ketemulah lagunya Dewa 19 yang Kangen. Lagu andalan gue pas karaoke. Lagu galau ditinggal laki karantina. Sudah. Kita pun minta deking dari Ferdy buat dikasih tau ke si abang tukang organnya buat sok-sokan manggil kita berdua buat nyanyi. Perut udah ga enak, kaki lemes. Tiba-tiba itu si Febby ngajakin makan coba? Gue yang udah bilang nanti aja makannya setelah kita nyanyi pun akhirnya ikut arus juga dan ngambil siomay. Ga napsu yang lain karena udah keburu nervous mau nyanyi di depan umum. Baru saja kita ngambil siomay beserta minumnya, nama kita pun dipanggil buat naik ke atas panggung. Terpaksa siomay-siomay itu harus diabaikan di bangku.
Kami berdua dengan sok malu-malu pun mendekati panggung dan naik ke atasnya. Kompromi dengan si abang pemain organnya. Sayang seribu kali sayang, ternyata lagu yang kita pilih dan kita persiapkan dengan sebaik-baiknya, sampai nyari liriknya itu ga ada dan terpaksa harus cari lagu yang lain dari pada malu turun panggung ga keluar satu nada pun. Gue memerhatikan layar mencari lagu yang bisa dinyanyikan, ketemulah Jera-nya Agnes Monica. Dan kurang ajarnya itu si Febby kaga tau lagu itu padahal gue karaoke bawain lagu itu terus. Berhubung ga tau dan ga bertanggung jawab itu anak turun dari panggung dan membiarkan gue nyanyi sendiri menahan malu. Si abang mulai mencet-mencet dan intronya pun mulai. Badan gue pun mulai bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan kaki terasa dingin. Menahan malu dan memberanikan diri gue mulai bernyanyi. Suara yang keluar tak seindah suara biduan yang sedang duduk manis di bawah mendengarkan gue nyanyi dengan suara sumbang tak ada tenaga. Dan membenarkanya sedikit banyak dengan wajah melecehkan mengejek yang sejujurnya gue benci banget liatnya. Gue tau dan sadar suara gue tak seindah suara bos yang bilang gaji lo naik, tapi kalian tak perlu mengejek seperti itu. Mencoba dengan sekuat tenaga untuk bisa mengakhir lagu ini dengan secepatnya. Gue merasa amat sangat buruk. Ini lebih parah dan jauh lebih buruk dari pada ujian praktek karaoke kemarin.
Lagu selesai. Gue pun mengembalikan si microphone ke pemiliknya dan turun panggung dengan nista dan ejekan si biduan sok cantik, menyebalkan, minta garuk. Tapi, masih ada yang bisa disyukuri. Karena itu lagu tingginya masyaAllah dan gue tak punya power sedikit pun jadi banyak yang mendengar pun tak tahu itu lagu apa dan siapa yang bernyanyi. Tapi memalukannya itu, gue ketemu Bu Yatong pas itu, "Kamu gapapa nyanyi kaya gitu? Suara kok ditahan-tahan.", beliau mengomentari nyanyian sumbang gue.
Siomay yang ditinggalkan pemiliknya itu pun kembali disentuh dan dimakan dengan ikhlas ga ikhlas berhubung udah ga mood gara-gara nyanyi barusan. Walaupun udah nyanyi, tapi tetep aja jiwa kepikiran sama upacara. Mau liat Fanny. Sebenernya dari baru nyampe ke kondangan juga udah nyari orang buat temenin gue upacara sore. Tapi, tak ada satu pun yang mau. Akbar mau sih. Tapi ga meyakinkan. Php dia mah! Semua orang sudah ditanya dan tak ada satu pun yang mau. Terpaksa oh terpaksa gue mengurungkan niat dan coba memaklumi tubuh kecil ini yang sudah lelah butuh istirahat. Sudah puas bernyanyi kita pun pulang dengan cerita memalukan. Ga lama pulang kondangan saya pun demam. Mungkin ini karena mandi di siang terik matahari. Masih ada yang bisa disyukuri gue ga ikut upacara sore tadi :')
Sampai akhirnya, gue dan Febby pun tergerak hatinya buat bernyanyi. Ini pasti efek dari kita berdua rajin karaoke-an gratisan malem-malem. HAHA. Kita berdua pun mulai mencari-cari lagu yang rencananya akan dibawakan duet. Akhirnya, ketemulah lagunya Dewa 19 yang Kangen. Lagu andalan gue pas karaoke. Lagu galau ditinggal laki karantina. Sudah. Kita pun minta deking dari Ferdy buat dikasih tau ke si abang tukang organnya buat sok-sokan manggil kita berdua buat nyanyi. Perut udah ga enak, kaki lemes. Tiba-tiba itu si Febby ngajakin makan coba? Gue yang udah bilang nanti aja makannya setelah kita nyanyi pun akhirnya ikut arus juga dan ngambil siomay. Ga napsu yang lain karena udah keburu nervous mau nyanyi di depan umum. Baru saja kita ngambil siomay beserta minumnya, nama kita pun dipanggil buat naik ke atas panggung. Terpaksa siomay-siomay itu harus diabaikan di bangku.
Kami berdua dengan sok malu-malu pun mendekati panggung dan naik ke atasnya. Kompromi dengan si abang pemain organnya. Sayang seribu kali sayang, ternyata lagu yang kita pilih dan kita persiapkan dengan sebaik-baiknya, sampai nyari liriknya itu ga ada dan terpaksa harus cari lagu yang lain dari pada malu turun panggung ga keluar satu nada pun. Gue memerhatikan layar mencari lagu yang bisa dinyanyikan, ketemulah Jera-nya Agnes Monica. Dan kurang ajarnya itu si Febby kaga tau lagu itu padahal gue karaoke bawain lagu itu terus. Berhubung ga tau dan ga bertanggung jawab itu anak turun dari panggung dan membiarkan gue nyanyi sendiri menahan malu. Si abang mulai mencet-mencet dan intronya pun mulai. Badan gue pun mulai bereaksi mengeluarkan keringat dingin dan kaki terasa dingin. Menahan malu dan memberanikan diri gue mulai bernyanyi. Suara yang keluar tak seindah suara biduan yang sedang duduk manis di bawah mendengarkan gue nyanyi dengan suara sumbang tak ada tenaga. Dan membenarkanya sedikit banyak dengan wajah melecehkan mengejek yang sejujurnya gue benci banget liatnya. Gue tau dan sadar suara gue tak seindah suara bos yang bilang gaji lo naik, tapi kalian tak perlu mengejek seperti itu. Mencoba dengan sekuat tenaga untuk bisa mengakhir lagu ini dengan secepatnya. Gue merasa amat sangat buruk. Ini lebih parah dan jauh lebih buruk dari pada ujian praktek karaoke kemarin.
Lagu selesai. Gue pun mengembalikan si microphone ke pemiliknya dan turun panggung dengan nista dan ejekan si biduan sok cantik, menyebalkan, minta garuk. Tapi, masih ada yang bisa disyukuri. Karena itu lagu tingginya masyaAllah dan gue tak punya power sedikit pun jadi banyak yang mendengar pun tak tahu itu lagu apa dan siapa yang bernyanyi. Tapi memalukannya itu, gue ketemu Bu Yatong pas itu, "Kamu gapapa nyanyi kaya gitu? Suara kok ditahan-tahan.", beliau mengomentari nyanyian sumbang gue.
Siomay yang ditinggalkan pemiliknya itu pun kembali disentuh dan dimakan dengan ikhlas ga ikhlas berhubung udah ga mood gara-gara nyanyi barusan. Walaupun udah nyanyi, tapi tetep aja jiwa kepikiran sama upacara. Mau liat Fanny. Sebenernya dari baru nyampe ke kondangan juga udah nyari orang buat temenin gue upacara sore. Tapi, tak ada satu pun yang mau. Akbar mau sih. Tapi ga meyakinkan. Php dia mah! Semua orang sudah ditanya dan tak ada satu pun yang mau. Terpaksa oh terpaksa gue mengurungkan niat dan coba memaklumi tubuh kecil ini yang sudah lelah butuh istirahat. Sudah puas bernyanyi kita pun pulang dengan cerita memalukan. Ga lama pulang kondangan saya pun demam. Mungkin ini karena mandi di siang terik matahari. Masih ada yang bisa disyukuri gue ga ikut upacara sore tadi :')