Kakak Pertama? Benarkah?
Senin, Januari 07, 2019
Hari ini adalah deadline penentuan
apakah abang gue akan sidang semester ini atau tidak. Sayangnya, abang gue
harus menempuh satu semester lagi sampai jadwal sidang berikutnya. Sesungguhnya
ini bukan hal yang mengejutkan karena selama satu semester ini gue melihat dan
tahu apa yang dia lakukan terhadap skripsinya. Cukup tahu sampai mana ia
mengerjakannya dan sejauh apa usahanya. Mencoba untuk tidak menghakimi tapi gue
cukup percaya dengan apa yang gue lihat. Gue rasa orang-orang rumah pun mungkin
merasakan dan berpikiran sama seperti gue. Bukan gue tidak peduli dengan
perkembangan pengerjaan skripsi abang gue, tapi sejak beberapa semester
sebelumnya gue sudah cukup ribut untuk mengingatkan dia atas ini dan itu. Saat
ini, sekarang, bukan tanggung jawab gue lagi untuk sibuk memberi tahu ini dan
itu terkait dengan studinya. Gue sudah lulus dan tanggung jawab gue bergeser ke
sektor lagi, yaitu mencari uang dengan mendapatkan pekerjaan.
Gue secara pribadi mengalami masa-masa suram yang emosional saat menjadi
pengangguran. Masa-masa menyenangkan dalam euphoria pesta olahraga Asia, Asian
Games dan Asian Para Games 2018 yang keduanya gue berkesempatan untuk
berpartisipasi sebagai seorang relawan telah menemui akhirnya. Gue harus
menghadapi kenyataan bahwa mencari pekerjaan yang benar-benar pekerjaan tetap
dengan posisi yang diinginkan di perusahaan idaman tidaklah mudah. Gue pun
cukup sibuk untuk menangkap segala kesempatan yang ada untuk mengumpulkan uang
sebab ada tanggung jawab yang harus gue selesaikan berkaitan dengan diri gue
sendiri. Belum lagi, untuk tanda bakti kepada orang tua. Ditambah dengan
tanggungan kedua adik yang masih bersekolah dan baru memulai kuliahnya. Semantara,
Papa sudah cukup bekerja keras sejak dulu. Sudah waktunya gue untuk memberi.
Lulus tepat waktu dan mendapatkan cukup banyak kesempatan untuk
mengumpulkan pengalaman yang mendapat bonus pendapatan merupakan sebuah
pencapaian dalam hidup yang patut disyukuri. Namun, kembali, menjadi pengangguran
membuat gue merasa berada dalam tekanan. Realita dimana abang gue baru bisa
lulus, paling cepat, semester depan entah mengapa menambah bobot beban yang ada
di punggung gue. Beban yang sebenarnya gue buat sendiri, beban yang sebenarnya
kedua orang tua gue tidak pernah mengatakannya secara langsung kepada gue kalau
gue harus begini atau begitu, menanggung ini dan itu. Tetapi gue cukup dewasa
untuk berpikir kalau ini giliran gue.
Merasa memiliki beban dan berada dalam tekanan, membuat gue merasa bahwa
gue adalah anak pertama dalam keluarga. Dimana gue harus mulai menopang
keluarga, berkontribusi secara nyata, berbakti dan menjadi contoh yang baik
baik adik-adik gue. Sebenarnya, ini hanya perkara waktu menyelesaikan studi
tapi gue adalah manusia yang membebani dirinya dengan kata ‘harus’ yang ia buat
sendiri. Padahal, sejujurnya, tidak ada yang harus. Semuanya tergantung gue mau
mengerjakannya atau tidak, kembali pada pilihan.
Kondisi mental yang gue sebenarnya gue buat sendiri ini, yang akhirnya
membuat gue cukup jengah. Selanjutnya mengingatkan gue akan doa-doa yang selama
ini gue ucap kepada Yang Maha Mendengar. Doa yang sering gue sebut, doa yang
sering gue minta untuk dikabul. Doa yang terinspirasi dari cerita kakak sepupu,
cucu pertama nenek gue yang berprestasi dalam hidupnya, yang membuat kedua
orang tuanya bangga sampai menceritakannya terus-menerus kepada setiap orang. Kakak
sepupu yang berhasil menjadi mahasiswa perguruan tinggi negeri melalui jalur
undangan. Kakak sepupu yang berhasil lulus lebih cepat dibanding yang lainnya.
Kakak sepupu yang setelah lulus langsung berhasil menjadi PNS di sebuah rumah
sakit. Kakak sepupu yang menikah cepat, begitu juga dengan memiliki
keturunannya.
Dalam doa, gue meminta untuk dijadikan kakak yang bisa menjadi contoh
yang baik bagi adik-adiknya, dapat menjadi kakak yang dapat diandalkan, dapat
menjadi kakak yang menginspirasi. Terdengar familiar? Cukup cocok dengan
kondisi sekarang? Entahlah, tapi gue merasa begitu. Gue merasa kondisi gue hari
ini adalah sebuah akumulasi dari doa-doa gue terdahulu. Gue yang berdoa untuk
menjadi panutan dari adik-adik gue. Gue yang berdoa agar adik-adik gue mencontoh
kakak perempuannya ini. Entah apa yang gue pikirkan, tapi ternyata sebegitunya
gue sejak dulu. Sebegitunya gue mau menjadi pengaruh bagi adik-adik gue. Sebegitunya,
sampai, mungkin, secara tidak sadar, sampai hari ini, gue memposisikan diri gue
seperti doa gue, kakak yang menjadi panutan, patut dicontoh, kakak pertama.
Entahlah. Tapi gue bisa bilang kalau gue memang memberikan pengaruh bagi
adik-adik gue. Setidaknya, dalam pilihan ekstrakulikuler yang mereka pilih di
sekolah. Keduanya memilih untuk menjadi anggota OSIS karena gue dulu pun begitu
sejak SMP sampai SMA, sementara abang gue tidak. Adik gue yang kecil pun,
akhirnya memilih ekstrakulikuler marching
band karena gue saat SMP pun mengikuti itu. Posisi yang dipilih pun sama,
sama-sama perkusionis, sama-sama snare
drum. Gue tidak begitu yakin dengan yang ini, tapi adik gue yang besar saat
SMA menjadi paskibra sekolah. Entah dia memilih itu karena keinginannya atau
karena itu adalah salah satu ambisi gue yang tidak tercapai karena terkendala
tinggi badan. Namun, yang paling jelas adalah keduanya pada akhirnya
terkontaminasi dalam virus k-pop yang telah menyangkiti gue sejak SMP sampai
ponsel Mama isinya lagu Korea semua karena dua manusia ini.
Gue sejujurnya pun belum tahu apakah adik-adik gue ini memang mencontoh
gue secara sadar atau tidak. Tapi yang bisa gue katakan soal beberapa hal di
atas adalah gue adalah tipe orang yang senang menyebarkan ambisi gue ke
orang-orang sekitar kalau gue tidak bisa atau tidak mampu untuk menggapainya. Kalau
orang-orang ini gue rasa mampu dan bisa, maka gue akan mengarahkan dan
mendorong mereka sampai ke titik mereka sadar dan yakin mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan hal terkait. Kalau mereka menginginkannya, hal yang
bagus. Ambisi gue dan ambisi mereka sama. Gue bisa turut bahagia kalau mereka
bisa mencapai ambisinya karena gue pun merasa kalau ambisi gue tercapai melalui
mereka.
Tapi, kembali lagi, semua itu pilihan dari mereka masing-masing, mau
melakukannya atau tidak, memilih ambisi yang sama dengan gue atau tidak. Selain
itu, pencapaian yang kemudian akan mereka capai pun menjadi pencapaian dalam
hidup mereka, bukan hidup gue. Semua, pada akhirnya, kembali pada mereka masing-masing,
bukan gue. Gue hanya seorang yang hobi menyemangati orang lain. Gue hanya
seorang supporter sejati yang senang
membantu dan melihat orang lain bahagia dimana dalam kebahagiannya mereka ada
sedikit-banyak kontribusi gue.
0 komentar