Wanita Karier Sekaligus Ibu Rumah Tangga
Kamis, Januari 10, 2019
Malam ini, gue sedang berada dalam kondisi yang tidak baik secara
perasaan. Perasaan tidak aman yang sedang gue alami saat ini berakar dari
kondisi finansial gue yang masih belum baik. Lebih tepatnya dimana rekening gue
belum juga mendapatkan asupan dari kerja yang sebenarnya tidak keras juga
selama 14 hari kerja. Sementara teman-teman yang lain sudah mendapatkan bahkan
sudah menghabiskannya tanpa sisa. Menyedihkan? Iya, memang. Tapi ini bukan
alasan yang cukup kuat untuk membuat gue mengeluh tentang hidup. Sebenarnya dan
seharusnya.
Sayangnya, gue, perempuan yang baru saja lulus kuliah bulan September
lalu, yang merasa dirinya cukup baik dan cukup kuat ternyata masih terlalu
manja untuk merasakan hidup yang sebenarnya dan berakhir dengan mengeluh serta
kecewa dengan kondisi yang ada. Gue, perempuan yang merasa cukup tangguh
setelah pengalaman kerja satu tahun menjadi tutor bimbel di Kemayoran yang nan
jauh di sana saat gue masih kuliah, ternyata masih belum bisa hidup secara
mandiri sepenuhnya.
Padahal, tahun lalu gue menggembar-gemborkan diri untuk melanjutkan
pendidikan dengan mencari beasiswa di luar negeri, lebih tepatnya Cina. Kalau
ditanya alasannya, memang sama seperti yang gue tulis di post blog sebelumnya namun ada alasan lain yang gue punya. Sebuah
alasan yang bisa dibilang bentuk keangkuhan gue sebagai seorang manusia. Alasan
kalau gue mau menempa diri di negeri orang. “No pain no gain”, pikir gue. Atau
kalau kutipan terkenal dari Tan Malaka, yakni “Terbentur. Terbentur. Terbentur.
Terbentuk.”
Gue adalah tipe manusia yang sangat menyukai kutipan-kutipan, tidak
mengherankan kalau kemudian gue mengatur hidup gue berdasarkan kutipan yang gue
suka yang akhirnya gue jadikan pedoman. Selain itu, gue pun berpikir kalau gue
adalah tipe manusia yang harus merasakan sulit dan pahitnya hidup dengan
sendirinya, baru kemudian gue bisa berkembang dan berpikir tentang hidup yang
gue jalani. Gue juga jenis manusia yang harus mendapatkan tekanan terlebih
dahulu baru ia bisa bekerja dengan cukup maksimal. Harus punya daya dorong yang
kuat untuk bergerak karena gue terlalu sering merasa nyaman dan baik-baik saja
dengan apa yang sedang gue jalani. Akhirnya gue menjadi tenang-tenang saja dan
berakhir pada kemalasan. Tidak baik. Oleh karena itu, gue memicu diri gue
sendiri dengan mencari tekanan-tekanan yang bisa membuat gue bergerak dan
berkembang.
Gambaran dan rencana yang gue bayangkan seperti itu, realitanya? Tidak semudah
itu. Belum sampai gue membuat paspor untuk terbang ke luar negeri atau
melakukan pendaftaran ini dan itu, gue sudah terlalu sering murka dengan
kondisi gue dan yang ada di sekitarnya. Seperti kondisi gue beberapa minggu
yang lalu, ketika kembali pulang ke rumah kedua orang tua gue di Tigaraksa dan harus
bertanggung jawab atas pekerjaan rumah karena gue adalah anak perempuan
satu-satunya, satu-satunya yang bisa diharapkan untuk bisa menjaga ‘stabilitas’
rumah dalam tingkatan yang wajar dan seharusnya.
Gue yang sedang mencari uang dengan menjaga instalasi seni di Senayan
City, hampir setiap hari, pulang ke rumah saat itu bukan karena keinginan
melainkan keadaan. Gue saat itu sakit, flu berat, terlalu berat dan berlebihan
sampai gue merasa sedikit lagi gue akan bertemu dengan malaikat pencabut nyawa
saat sendirian di kamar kost, saat deman sedang tinggi-tingginya, 38,8⁰C. Terlalu
tinggi untuk seorang manusia yang tidak pernah mengecek suhu tubuhnya saat
demam sampai ia ketakutan akan dipanggil Yang Maha Kuasa. Cukup menyedihkan dan
terlalu lemah sampai tidak bisa makan atau membeli obat di warung terdekat
untuk sekadar mengamankan tubuhnya sampai harus menunggu kakak kost pulang dari
bekerja di puskesmas dan menyelamatkannya. Lebih dari itu, gue sampai harus
menginap di rumahnya agar tidak terkapar sendirian di kamar atau di jalan saat
hendak pulang ke rumah. Barulah keesokan harinya gue diantar ke rumah orang tua
gue di Tigaraksa.
Adegan yang dramatik untuk sampai ke rumah dan berlanjut dengan
dramatisasi lainnya dari gue saat harus menyelesaikan apa yang harus gue
selesaikan setelah selama ini gue tinggalkan demi uang. Cucian menumpuk, gue
tidak bisa bermanja-manja ria dengan alasan sakit dan membiarkan semua ini.
Akhirnya gue memaksa tubuh ini untuk bangkit dari tempat tidur dan
menyelesaikan semua cucian itu. Seharian penuh, total yang gue cuci ada tiga
buah ember besar. Luar biasa, punggung gue sakitnya tak tertahankan. Gue tidak
sanggup lagi untuk melanjutkannya walaupun masih tersisa sekitar satu atau dua
ember besar lainnya. Untuk menjemur pun gue tidak sanggup sampai harus meminta
tolong kepada abang dan adik gue yang keduanya laki-laki dan berkaki panjang. Gue
yang tidak tinggi ini mempunyai kesulitan untuk menjemur cucian itu karena
tempat menjemur di rumah gue terlalu tinggi untuk dicapai.
Sayangnya, kedua manusia yang berjenis kelamin laki-laki itu tidak
bergerak dari tempatnya masing-masing. Entah sudah berapa kali gue meminta
tolong, memanggil, merayu, merajuk, mengumpat, murka, dan sebagainya. Semua
cara yang bisa gue lakukan telah gue lakukan tapi tidak memberikan hasil. Bukan
hanya gue, Papa pun melakukan hal yang sama. Ia hanya mengucap dan menyerah.
Anak lelakinya kalau sudah menyebalkan sungguh menguji kesabaran dan keimanan.
Gue kehabisan ide untuk membuat mereka bergerak dan sudah habis pula tenaga ini
untuk menjemur semuanya sendiri. Akhirnya, cucian itu gue tinggalkan. Biarlah
mereka menjemur dirinya sendiri, kalau bisa.
Di titik ini, gue menyadari kalau hidup tanpa Mama itu sangat tidak
mudah. Gue yang terbiasa dilayani dan disediakan segala sesuatunya oleh Mama,
harus menggantikan posisinya walau hanya sebentar. Gue yang harus sabar tapi
kuat untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Menjadi ibu rumah tangga itu tidak
mudah walaupun tidak dibayar dengan banyak. Ibu rumah tangga yang banyak orang
lihat dengan sebelah mata karena tidak bekerja di kantoran atau tidak
menghasilkan pendapatan bulanan. Padahal ibu rumah tangga, Ibu, Mama, Bunda,
Emak, Istri itu lah pekerjaan yang paling sulit. Mengapa? Karena harus semuanya
bisa. Harus bisa jadi apa saja. Ya, jadi ibu. Jadi koki. Jadi tukang kebun.
Jadi penata gaya rambut kalau punya anak perempuan. Jadi perawat yang harus tau
obat apa yang harus diberikan kalau suami atau anaknya sakit. Jadi akuntan yang
harus bisa mengatur keuangan dengan baik dan benar, tidak boleh punya utang,
kalau bisa punya tabungan untuk urusan mendadak. Apa lagi? Banyak, terlalu
banyak untuk disebutkan satu per satu.
Di sini juga gue memikirkan soal pilihan hidup yang akan gue jalani
kelak. Gue yang sebelumnya, yakin dan percaya kalau gue harus bekerja, menjadi
wanita karier demi usaha akutalisasi diri dan menjadi bermanfaat bagi orang
lain, selain untuk sebuah tindakan nyata atas kesetaraan gender yang juga
sering gue gaung-gaungkan. Sebuah kesetaraan gender atas kemandirian finansial
dimana gue tidak mau, sama seperti yang gue sebutkan sebelumnya di atas,
dibilang kalau gue hidup dari orang lain, hidup dari uang suami, yang tidak
memberikan kontribusi apapun sampai suatu saat nanti kalau ada masalah melanda
bisa tiba-tiba diperlakukan semena-mena karena kelemahan finansial tersebut. Sebenarnya
ini sebuah ketakutan gue, sebuah rasa tidak aman yang gue munculkan dari
pengalaman dan cerita orang-orang di sekitar gue. Entah gue kelak akan bertemu
lelaki seperti itu atau tidak, gue pun tidak tahu. Semoga saja tidak dan lebih
baik tidak. Tidak semua lelaki seperti itu, tapi bukan berarti tidak ada yang
seperti itu.
Menjadi wanita karier juga merupakan sebuah titipan keinginan dari Mama,
seorang wanita yang dulu di awal pernikahannya juga menjadi wanita karier namun
sayang harus berhenti karena pindah ke Jakarta. Mama yang banyak mengalah dalam
hidupnya demi hidup keluarganya hari ini, demi mengikuti suami, demi
anak-anaknya, demi gue. Mama yang juga punya banyak harapan untuk gue dan hidup
gue. Mama yang mau gue hidup dalam martabat walaupun gue adalah seorang wanita.
Mama yang mau gue hidup secara mandiri tanpa terekspolitasi oleh laki-laki yang
kelak akan hidup bersama gue selamanya.
Di sisi lain, wanita karier dan menjadi istri serta ibu, masih bukan
sesuatu yang mudah untuk dikerjakan untuk gue. Iya, gue masih belum bekerja
secara tetap di sebuah perusahaan dengan posisi yang tetap pula. Iya, gue juga
belum menikah apalagi melahirkan dan memiliki anak. Tapi gue sudah sedikit,
sangat sedikit merasakan gambaran menjadi wanita yang bekerja dan membina rumah
tangga dalam satu waktu. Harus bertanggung jawab untuk dua tempat namun
keduanya harus dikerjakan dengan sangat baik tanpa ada yang terabaikan.
Tidak mudah, sulit tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Bisa karena
biasa. Practice makes perfect. Sama halnya
seperti otot yang tidak biasa dipakai, ia perlu dilatih dan sering digunakan
sampai ia terbiasa dan menjadi kuat. Begitu juga dengan menjadi wanita yang
berkarier dan mengurus rumah, nanti pun gue akan terbiasa. Pasti! Tidak mungkin
tidak. Asalkan gue mau, asalkan gue bertekad dan punya keinginan. Tidak ada
yang tidak mungkin. Bisa dan mau itu hal yang berbeda. Semua pasti bisa kalau
mau.
0 komentar