Nasi Goreng Tegal dan Kelengkeng Kampung Rambutan
Rabu, Januari 23, 2019
Baru saja pulang dari makan malam di seberang
jalan sana. Di sebuah warung kaki lima dengan tenda khas yang berisikan
berbagai menu yang disajikan, macam-macam nasi goreng, kwetiau, bihun maupun
capcay yang merupakan menu favoritku. Sedikit melawan kebasahan yang tersisa
setelah hujan tadi siang, aku dan kakakku, iya, kakak, bukan abang. Sejak beberapa
waktu yang lalu, ku mulai merasa memiliki seorang kakak perempuan yang berbaik
hati mau menerima gue yang masih miskin dan belum bekerja untuk tinggal bersama
di satu kamar kost. Namanya Tika, aku memanggilnya Kak Tika. Abangku yang entah
bagaimana adalah pacarannya memanggilnya Tika, kadang kalau otaknya bekerja dengan
cukup baik, memanggilnya Sayang. Mamaku kadang memanggilnya Ketty kalau kami
sedang mengobrol membahasnya sebab salah seekor kucing kami wajahnya mirik
sekali Kak Tika, hehe. Wahyu, pacarku, yang asli Bojonegoro itu memanggilnya
Mba Tika, sama seperti adiknya Kak Tika yang memanggilnya begitu.
Setelah diskusi yang sama panjangnya dengan
yang biasa ku lakukan dengan Wahyu kalau kami bertemu tiap akhir pekan untuk
menentukan dimana kami akan menghabiskan waktu, setelah mencari sana-sini
melalui sebuah aplikasi pesan-antar online, Kak Tika pun berakhir dengan
sugesti telah ku berikan sejak awal. Nasi goreng yang sering kami beli. Sudah
lah dekat, harganya pun tidak begitu mahal dibanding menu-menu di aplikasi yang
belum ditambah dengan biaya antarnya. Kak Tika, seperti biasanya memesan nasi
goreng ati ampela. Namun, kali ini yang ku pesan bukan capcay melainkan nasi
goreng ayam dengan telur dadar. Seperti yang dikatakan oleh pedagang nasi gulai
yang ku makan beberapa waktu lalu, “Bahagia adalah mencium wangi telur dadar.”
Sebagai generasi MSG dan pecinta telur dadar, aku sangat setuju dengan ini. Jangan
lupa, harus cukup pedas nasi gorengnya. Sementara Kak Tika, pasti dan selalu,
tidak pedas. Kalau katanya, “Cabainya seujung sendok aja, Pak.” Nyatanya? Kadar
pedas pesanannya dengan milikku tidak ada bedanya. Oleh karena itu, ia
membutuhkan segenap tenaga dan cukup banyak waktu untuk menghabiskan itu
meskipun telah ku bantu beberapa suap.
Pesananku telah habis dalam sekejap padahal aku
tidak benar-benar lapar karena bukan aku yang mengajak untuk makan malam. Tidak
makan malam pun aku baik-baik saja sepertinya tetapi memang dasarnya aku cukup
baik dalam makan ditambah dengan sebuah kepercayaan yang ku anut untuk tidak
menyisakan makanan. Sambil menunggu Kak Tika berjuang dengan sepiring nasi
goreng ati ampela yang membuatnya terus minum tanpa henti karena kepedasan, aku
dan Bapak penjual nasi goreng pun bercakap-cakap. Sebuah percakapan yang
mungkin bisa dibilang sebagai basa-basi sambil melepas kebosanan Sang Bapak.
“Sumatera, Jawa atau Sunda?”, tiba-tiba sang
Bapak bertanya padaku seketika.
“Jakarta, Pak.”, jawabku yang sebenarnya tidak
tahu jelas aku orang apa karena keluarga kami yang beragam. Papaku yang besar
di Jakarta lahir dari Emak yang asli Parung Panjang dan Abah yang berasal dari
Tegal. Sementara Mamaku asli Belitung, dengan Nenek yang aslinya orang Kampung
Baru, Manggar dan Kakek yang asli Sijuk, Tanjung Pandan tapi masih ada
keturunan Tionghoa yang sampai sekarang ku tak paham berapa generasi di atas
beliau yang merupakan keturunan Tionghoa itu.
“Kuliah atau kerja?”, lanjut Sang Bapak.
“Lagi cari kerja, Pak.”
Kemudian ku lanjutkan dengan bertanya balik
kepada Sang Bapak mengenai tempat tinggalnya. Ternyata beliau asli Tegal juga,
sama seperti almarhum Abah yang baru saya kembali kepada-Nya akhir tahun lalu. Di
sini, di Jakarta, daerah Kebon Jeruk lebih tepatnya, beliau dan anaknya yang
merupakan juru masak untuk tenda nasi goreng ini pun sama sepertiku, menyewa rumah
kontrakan. Di akhir pembicaraan kami, Sang Bapak memintaku untuk kembali datang
keesokan harinya karena lusa ia dan anaknya akan pulang kampung ke Tegal selama
seminggu.
Sebuah percakapan sederhana yang ku miliki tapi
aku merasa berarti dan berdampak pada orang lain. Dengan sebuah keterbukaan
untuk menjawab pertanyaan orang lain, meresponnya dengan baik tanpa curiga atau
persepsi merendahkan, setidaknya ini membuat orang lain bahagia. Sang Bapak dengan
tidak banyak hal yang dapat ia lakukan selagi menunggu pelanggan datang hanya
dapat berdiam, duduk sembari menghisap rokoknya di malam yang cukup dingin. Yang
ku rasa, hampir setiap malam ia begitu. Sebab sebelumnya pun ia begitu. Sehingga
cukup senang dengan adanya pelanggan yang setidaknya tidak hanya dapat menjadi
sumber pemasukannya tapi juga teman bersenda gurau. Menyenangkan melihatnya
tersenyum dengan percakapan kecil yang kami miliki, mengingatkanku pada cerita
beberapa waktu lalu ketika pertama kalinya aku pergi ke terminal Kampung
Rambutan.
Kala itu, sejak pagi ku sudah berangkat dari
kost di Kebon Jeruk menuju Kampung Rambutan dengan menggunakan Tayo,
TransJakarta yang menjadi kebanggaku sejak bergaul dengan Wahyu yang sangat
mencintai transportasi umum selain tim Tayo-ku ketika Asian Games lalu. Setelah
adegan kado yang tertinggal akhirnya aku melewati perjalanan yang cukup
berputar-putar dan sampailah di terminal yang sangat asing bagiku. Yang ku tahu
hanyalah bis apa yang perlu ku naiki dan warnanya apa. Tanpa beli tiket
melainkan gorengan yang ku temukan di pintu gerbang sebelum masuk untuk
sarapan, aku pun berjalan ke sisi lain terminal untuk menemukan bis merah yang
akan mengantarkanku ke Karawang untuk bertemu Fera karena ia wisuda. Hanya
bertanya, “Ini ke Karawang, kan?” dan aku langsung naik karena jawaban yang ku
dapat hanyalah diam dari Sang Kondektur. Mencari kursi kosong yang paling
nyaman untukku, seperti biasa, kesukaanku, yang bersebelahan langsung dengan
jendela. Tidak lama sejak aku menempelkan tubuhku di kursi, serangan pedagang
asongan pun menghantamku.
Pertama dan nomor satu, seorang pedagang tahu
Sumedang yang cukup gigih dan jenaka. Ia menawarkan dagangannya kepadaku dengan
kalimat persuasif “Biar ga tergoda sama rayuan gombal para lelaki.” yang
awalnya ku tidak paham apa sehingga hanya tawa yang bisa ku keluarkan sebagai
respon. Sekali, dua kali merayu, beliau tetap tidak menyerah, sampai ia pun
mengeluarkan kemampuan bahasa Inggris yang cukup mengagetkan namun ku apresiasi.
“The most delicious food from Indonesia, Tahu Sumedang.”, katanya. Aku tidak
hanya tersenyum tapi mengacungkan jempol kepadanya dan ia pun melipir keluar
dari bis untuk mencari pelanggan lain.
Tak lama kemudian, beberapa pedagang lain masuk
ke dalam bis yang ku masuki secara bersamaan. Ada pedagang korek, pedagang power bank¸ pedagang kelengkeng,
pedagang handuk. Sebenarnya tidak ada yang begitu menarik perhatianku, sampai
satu pedagang kelengkeng mendekatiku dan menawarkan dengan harga murah.
“Tiga setengah aja.”, katanya begitu.
Aku yang entah polos atau dungu dan sangat
mencintai harga murah serta diskon ini pun langsung naik kupingnya mendengar
itu.
Ku yakinkan diriku dengan bertanya ulang, “Beneran
nih?!.”
“Iya, bener. Ini mah kelengkeng Bangkok. Enak.
Bijinya kecil, dagingnya banyak. Beda sama yang dari Cina. Kalo yang dari Cina
mah isinya dikit.”, jelas Si Pedagang.
“Coba dulu bisa?”, tanyaku.
“Bisa, Teh. Manis kok ini. Beneran. Ga boong saya
mah.”, katanya sambil membukakan kotak kemasan kelengkeng.
Dalam hatiku berbisik, “Pantes aja Bapak tadi
bilang biar ga tergoda rayuan manis para lelaki, begini rupanya.”
Tapi, benar saja, Kelengkengnya memang manis.
Tidak berbohong dia.
Ya, ku terjebak dalam rayuan manis Si Pedagang yang
diperkuat dengan manisnya kelengkeng yang ia jajakan.
“Tunggu dulu. Jadi, tiga setengah itu berapa? Tiga
ribu lima ratus apa tiga puluh lima ribu?”, tanyaku memastikan. Ini sungguh
pertanyaan dungu.
Sedungu itu aku memang, wajar saya tidak bisa
berpergian sendirian kalau begini. Ku butuh manusia waras untuk menjaga diriku
tetap waras dan tidak terbuai rayuan-rayuan pedagang yang akan menghabiskan
uangku.
“Tiga puluh lima ribu aja, Teh. Udah paling
murah itu.”, tetap tanpa menyerah Si Pedagang merayuku untuk tetap membeli
dagangannya. Tapi aku tetap minta harga lebih murah sampai aku membelinya
dengan harga dua puluh lima ribu kalau tidak salah.
Berawal dari pedagang kelengkeng yang telah
berhasil membuatku terbuai oleh gaya marketing-nya yang cukup meyakinkanku, ia
pun duduk di bangku sebelahku. Tidak tepat sebelahku sebenarnya, tapi begitulah.
Bangku lain yang masih satu deret denganku dan ia memulai percakapan. Sebuah percakapan
basa-basi lainnya, namun cukup mengisi waktu karena bis masih mengetem di dalam
terminal dan ini cukup lama sampai ku cukup bosan menunggunya berangkat. Karena
pedagang kelengkeng ini, beberapa pedagang lain pun jika melewati tempat
dudukku pas menyempatkan diri untuk mengobrol sebentar. Cukup sebentar hanya
untuk mengingatkanku untuk tidak lagi terbuai oleh omongan Si Pedagang
Kelengkeng ataupun mengingatkan Si Pedagang untuk kembali bekerja dan
menjajakan barang dagangannya, maupun berbagi keluh-kesah sebagai rakyat kecil
yang ingin didengar suaranya oleh pemerintah berserta dengan kritiknya yang
berharap ku sampaikan karena aku adalah mahasiswa dan rakyat terdidik. Cukup berat
rupanya beban moral seorang mahasiswa, terutama aku yang memilih jurusan Ilmu
Hubungan Internasional yang merupakan turunan dari Ilmu Politik.
Percakapan basa-basi yang berawal dari
pertanyaan seperti, “Mau kemana?” pun berlanjut menjadi percakapan yang cukup
panjang dan bisa dibilang serius. Karena si Pedagang Kelengkeng ini pun sampai
curhat kepadaku mengenai hubungan yang ia jalani dengan kekasihnya. Sudah berpacaran
lama, tapi tidak begitu terikat secara emosional, merasa biasa saja. Bisa dibilang
modal kasihan saja karena katanya, “Kalau diputusin, ditinggal pasti nanti dia
nangis-nangis.”
Ia meminta pendapatku mengenai apa yang
seharusnya apa yang ia lakukan terhadap pacarnya. Menikahinya tapi tidak ada
rasa atau meninggalkannya karena memang biasa saja. Aku yang buta akan soal
seperti itu pun sebenarnya tidak bisa dijadikan panduan karena aku pun biasa
bertanya kepada teman-temanku. Tapi aku cukup logis terlebih mengenai seberapa
besar rasa sakit yang perlu ku hadapi dan ku tahan. Jika hanya kasihan, artinya
terpaksa, jika terpaksa artinya tidak membuat bahagia. Jika tidak membuat
bahagia, buat apa? Itu yang ku katakana pada Si Pedagang Kelengkeng. Terdengar cukup
bijak, ya?
Dan akhirnya, itu pula yang menjadi penutup
perbincangan kami karena bisku mulai berjalan meninggalkan terminal. Ia bersama
temannya, Si Pedagang Power Bank asal
Palembang, pun pamit dan berterima kasih kepadaku sekaligus memberikan feedback bahwa tak banyak penumbang yang
mau diajak mengobrol bersama para pedagang. Kata mereka, aku cukup hangat dan welcome. Mereka pun bilang kalau aku
tidak sombong dan tidak menganggap pedagang terminal sebagai orang-orang rendah
yang patut dijauhi dan menjaga jarak dengan mereka.
Sayangnya, ini tidak berjadi begitu saja. Sikapku
yang bisa cukup baik dan hangat terhadap semua orang tidak muncul dengan serta
merta, melainkan baru muncul setelah mendapatkan petuah dari Papaku. Dulu, aku
tidak begini. Kebalikannya, aku adalah orang yang dibicarakan oleh para
pedagang yang ku ajak bicara di Terminal Kampung Rambutan. Aku, dulu, adalah gadis
sombong yang untuk tersenyum kepada pengamen di angkot pun tak sudi. Aku, dulu,
terlalu sibuk dengan ponselku tanpa peduli dengan keadaan sekitar. Namun,
Papaku menegur ku,
“Ga boleh begitu jadi orang tuh. Ga boleh
sombong. Apa sih susahnya senyum? Apa sih susahnya ngasih seribu dua ribu?
Bikin orang seneng kan ga dosa. Mereka juga kan mau dihargai, mau bahagia. Kamu
senyum juga bikin mereka seneng. Apa susahnya, sih? Sederhana kaya gitu doang
kok.”
Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya. Entah
waktu itu terdiam karena berpikir atau terdiam karena dongkol dan mengoceh
dalam hati karena dinasehati di dalam angkot.
Namun, sekarang aku paham dengan Papaku dan
perilakunya. Papaku seorang yang sangat suka berbincang, mengobrol, memberikan
saran, bersenda-gurau, apapun yang membuatnya bicara, ia suka, sangat suka. Bahkan
ia bisa menghabiskan berjam-jam bicara tanpa merasa haus. Tak heran, aku pun
begitu. Sama persis. Benar-benar anak Papa.
Tapi aku tak seramah atau tak sesupel beliau. Aku adalah anak perempuan jutek kebanggaannya.
Iya, ia bangga mengumbar kejudesan dan kejutekanku kepada banyak orang. Bahkan,
terakhir kali, aku bertemu dengan salah satu rekan kerjanya yang seumuran
denganku dan yang langsung ia fokuskan adalah aku anaknya yang paling ketus. Sekarang
paham mengapa aku mendapat teguran itu? Bagus!
Berlawanan dengan Papaku, aku tidak begitu
pandai untuk memulai percakapan dengan orang baru dan asing, kecuali orang
tersebut yang memulai. Papaku? Jangan ditanya! Ia bahkan bisa berteman baik
dengan pelayan nasi Padang langganan kami di daerah Cikupa. Aku dulu tak paham
dengannya. Ia bisa begitu mudah untuk sok kenal sok dekat dengan orang asing,
ringan dalam bersenda-gurau tanpa membuat orang tersebut merasa rendah. Itu yang
aku lihat karena orang-orang yang ia ajak bicara pun tidak terlihat tidak
nyaman, sebaliknya sebuah senyum yang cukup tulus dan lebar terpasang di wajah
mereka.
Dari situ mungkin alam sadarku merekam apa yang
dikatakan Papaku, memanusiakan manusia lain itu perlu. Membahagiakan orang lain
itu tidak selalu sulit. Cukup menjadi terbuka, hangat dan menghargai, itu saja
sudah cukup. Kadang, kita sebagai manusia sering lupa kalau kita berhadapan
dengan manusia lain, apapun pekerjaan, gelar, latar belakang, agama, ras, suku,
maupun orientasi politiknya. Kadang kita juga sebagai manusia lupa kalau
manusia lain pun ingin diperlakukan sama sebagaimana kita ingin diperlakukan
oleh orang lain.
Terutama aku, sebagai lulusan Ilmu Hubungan
Internasional, yang dalam suatu kutipan menyebutkan tujuan dari mempelajari
ilmu ini adalah untuk memanusiakan manusia lain karena kami telah belajar
mengenai kerusakan, kepahitan dan kekelaman yang dihasilkan dari ego manusia. Ego
manusia yang tidak mau mengalah, ego manusia yang mengawali sebuah pergesekan,
ego manusia yang pada skala terbesarnya dapat
memicu peperangan. Peperangan yang memisahkan banyak keluarga, peperangan yang
menghancurkan banyak rumah maupun fasilitas umum, peperangan yang pastinya juga
menewaskan begitu banyak jiwa. Ego manusia yang bisa mengambil kehidupan orang
lain. Ego manusia yang bisa merusak bumi. Ego manusia yang begitu destruktif
jika terus dibiarkan dan dipupuk tanpa henti, diberi makan sampai ia tumbuh dan
berkembang dan mendarah daging sampai kita tak sadar kalau hidup ini dikontrol
oleh ego.
0 komentar