Menjawab “Reza Lagi Reza Lagi” di Habibie & Ainun 3

Jumat, Januari 03, 2020


Baru punya kesempatan dan waktu untuk menonton Habibie & Ainun 3 di malam tahun baru sebagai menu movie marathon. Entah apa alasan menonton film ini. Agak buram sebenarnya. Apakah ingin melihat Reza Rahardian lagi atau karena ini bereuforia untuk bertemu dengan Eyang Habibie.



Jujur saja, gue tidak begitu antusias ketika melihat trailer-nya di Youtube. Entah mengapa merasa tidak nyaman dengan wajah Reza yang diberi efek sedemikan rupa. Awalnya, gue berpikir bahwa itu terkesan maksa. Dan gue pun langsung pesimis dengan bagaiman cerita ini akan disajikan.

Hanya saja, semua keraguan dari kesotoyan gue itu pun terjawab. Gue mengerti mengapa Reza diberi efek sedemikian rupa. Alasannya, demi kesesuaian dengan sosok Habibie di masa muda.

Sama dengan video yang menunjukkan bagaimana perjuangan Reza untuk memerankan sosok Eyang Habibie. Ia yang butuh sekitar 7 jam lamanya untuk memasang semacam masker di wajahnya. Totalitas peran agar mirip dengan Eyang Habibie.


Gue melihat video itu sebelum gue menonton filmnya di bioskop. Tentu saja gue akan membenarkan professionalisme seorang Reza Rahardian. Ya, gue salah satu fansnya. Entah tapi ya, gue karbitan atau bukan. Tapi gue suka dia. Nggak cuma soal visualnya tapi juga aktingnya, kepribadiannya juga, mungkin. So, anyone can beat Reza in this industry? Role portraying as good as Reza? I guess, no one.


Source: instagram.com/hanungbramantyo


Namun, memang keunggulan seorang Reza Rahardian sudah terlihat bahkan di detik-detik pertama film ini mulai. Adegan-adegan pertama yang bahkan wajahnya pun belum nampak. Itu semua berhasil membuat gue menangis hampir sesungukkan.

Di menit-menit awal, gue bahkan lupa kalau semua itu hanya akting belaka. Kalau itu bukan Eyang Habibie yang sesungguhnya. Beliau sudah berpulang. Gue masih menyangka kalau itu adalah Eyang Habibie, bukan Reza Rahardian.

Bagaimana bisa tidak? Untuk gue yang beruntung pernah bertemu beliau di akhir-akhir masa hidupnya, untuk pertama dan terakhir kalinya, akting Reza Rahardian di sini sangat lah cermat dan mendetail. Gestur-gestur terkecil pun ia mampu lakukan dengan sangat baik. Gue ulangi, sangat baik, bukan sekadar baik.

Ingat adegan pertama saat Eyang Habibie mengusap nisan Almaruhmah Ibu Ainun? Ya, seperti itu kurang lebih gestur Eyang Habibie yang sebenarnya. Atau adegan ketika Eyang Habibie di film berjalan menuju pintu di ujung lorong, yang bahkan tangannya bergetar? Atau saat bagaimana Reza memerankan Eyang Habibie yang mengusap wajahnya? Demi Tuhanku Yang Satu dan Maha Agung, akurasinya 90%!

Source: instagram.com/habibieainunmovie

Agak sotoy memang, tapi percayalah. Itulah Eyang Habibie. Bagaimana ia memegang gelas bertangkai saat ingin minum di salah satu liputan terakhir, ketika tangannya bergetar karena lemah. Beliau yang renta dimakan usia dan digerogoti penyakit komplikasinya. Beliau juga yang mengambil tisu di hadapannya untuk menyeka mulutnya karena batuk. Bahkan, ia tetap menggenggam tisu tersebut sampai lama, sambil ia bercerita dan baru dilepaskan ketika diminta oleh Mas Ilham, anaknya. Sebegitu, pembersihnya Eyang Habibie.

Semakin ingin menangis lagi, ketika Eyang Habibie yang diperankan Reza mulai bercerita soal pertemuannya dengan istri tercinta, Ibu Ainun. Memulai ceritanya dengan menyebut tahun kejadian. Sungguh, di liputan gue kali itu pun Eyang memulai ceritanya dengan menyebutkan tahun. Saat ia bercerita soal bagaimana ia sekolah dan membantu Presiden Soeharto untuk membuat industri pesawat namun tiba-tiba krisis moneter datang.

Di film, anak dan para menantunya mencegah Eyang untuk bercerita karena kalau sudah mulai ia akan sulit berhenti. Oh, benar saja! Liputan waktu itu pun begitu. Tahukah berapa lama Eyang bercerita? Lebih-kurang dua jam sampai-sampai gue ini bingung harus menulis yang mana untuk dijadikan berita.

Pengalaman liputan di rumah Eyang Habibie, tepat di ruang perpustakaannya yang menjadi latar tempat Reza sebagai Eyang Habibie bercerita tentang pertemuannya dengan Ibu Ainun. Begitu juga dengan perjalanan cintanya sebelum bertemu dengan dirinya.

Source: instagram.com/zakialilano

Melihat perpustakaan itu lagi, gue pun kembali menangis. Ingat hari itu, gue berdiri di satu sisi ruangan di dekat tiang. Tepat di tiang itu ada sebuah sketsa wajah Eyang. Dan entah bagaimana, sketsa itu tetap dan masih ada di tempat yang sama saat film ini dibuat. Atau kebalikannya? Skestsa itu tetap di tempatnya bahkan setelah film itu dibuat dan gue liputan ke sana?

Meski banyak manusia Indonesia bosan dengan Reza Rahardian yang banyak sekali menjadi pengisi peran di berbagai film. Film Habibie & Ainun 3 ini memang mengkaburkan sisi Reza-nya itu sendiri. Memang, cerita berfokus pada Ibu Ainun yang diperankan oleh Maudy Ayunda. Tapi, gue secara pribadi lupa kalau itu adalah Reza, Eyang Habibie di sana itu adalah Reza.

Nggak banyak memang yang mau gue ekspos dari film ini. Tetapi jelas, kalau film ini sangat menunjukkan kualitas seorang Reza Rahardian sebagai aktor itu ada di mana. Gue merasa film ini sangat menjawab pertanyaan mencibir dari masyarakat yang “Reza lagi Reza lagi!”.

Gue bahkan menonton dua film dengan pemeran utama lelaki yang sama, sama-sama Reza Rahardian. Iya, satu lagi adalah film Imperfect garapan Koh Ernerst. Gue akan bahas ini di pos yang lain tenang saja!

Dan, untuk menutup pos ini, gue akan menuliskan beberapa kutipan Eyang Habibie yang ada di film, yang gue suka. Ini dia!

“Mau laki-laki atau perempuan, kalau pintar, ya pintar saja.”

Kutipan ini, buat gue, menunjukkan kalau Eyang bukanlah seorang patriarkis. Ia sangat objektif, tidak seksis. Jadi, apa pun jenis kelaminnya, kalau punya prestasi dan pencapaian, ya sudah! Apa masalahnya?

“Jangan meremehkan hal yang kecil. Aula yang besar ini awalnya juga dari butiran pasir yang kecil.”

Saat Rudy mengingatkan Ainun perihal menghargai hal-hal yang kecil di prom night sekolah. Zaman itu ada juga ya prom night? Boleh juga! Ha ha ha.

Tapi, gue suka sekali dengan kutipan ini. Senada dengan kepercayaan gue untuk menghargai banyak hal, besar atau kecil. Bahwasanya, semua hal yang besar pun berawal dari yang kecil. Jadi, terpujilah mereka yang hanya menghargai hal-hal besar tapi tak tahu asalnya dari mana.

“Kami sepakat untuk bersama dan melupakan masa lalu. Kamu, kalian punya hak yang sama untuk memilih hidup. Kami memilih untuk tetap menjalani hidup, menceritakan masa lalu. Untuk belajar, untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.”

Ini adalah jawaban Eyang Habibie saat ditanya apakah tidak cemburu dengan kisah cinta Ibu Ainun sebelum bertemu dengannya. Sungguh sangat bijak, kan? Memang Eyang Habibie ini bukan orang sembarangan. Masalah hati pun ia sangat tenang, sangat berlogika. Apalah gue ini yang sedikit-sedikit baperan dan berdrama ria?

Namun, ini menjadi pengingat tersendiri untuk gue melepaskan semuanya dari masa lalu, dari kisah cinta gue di tahun lalu dan tahun sebelumnya. Membiarkannya lepas, pergi dan tidak lagi mengharap. Masih ada hari lain dari hidup yang mesti gue jalani. Hidup ini tak hanya tentang hati. Apa lagi menunggu dan mengharap yang tak pasti? Toh, dia pun telah bahagia bersama yang lain. Lalu, untuk apa lagi?

“Sesuatu yang indah dan romantis belum tentu satu frekuensi.”

Eyang Habibie yang menanggapi pertanyaan-pertanyaan lainnya dari para cucu dan menantunya. Cerita Ibu Ainun yang bertemu dengan Ahmad ini memang sebuah gambaran realita kalau memang tak selamanya yang indah dan menyenangkan itu akan berakhir selamanya.

Tak juga, romansa yang penuh drama dan isinya hanya kebahagiaan bentuk cinta yang sebenarnya. Satu frekuensi dan tujuan adalah penting agar bisa bertahan lama. Karena cinta tak cuma soal cinta. Namun, harus punya tujuan. Cinta di kehidupan nyata bukanlah roman picisan yang disukai para remaja.

Source: instagram.com/hanungbramantyo

Dan, satu kutipan yang benar-benar terakhir ini bukan dari Eyang Habibie, melainkan cintanya, Ibu Ainun. Di akhir pertemuannya dengan Ahmad. Saat semuanya harus berakhir di tepi pantai, Ainun menguatkan Ahmad untuk tetap pada tujuannya, tetap pada yang ia cita-citakan, apa yang ia inginkan.

“Cita-cita bukan tentang siapa, tapi mengapa. Alasan yang lebih besar dari ini semua, Ahmad.”

Jelas, mengapa adalah kata tanya yang paling baik. Karenanya, gue begitu menyukainya. Karenanya juga, gue memilihnya untuk menjadi pertanyaan penelitian gue di skripsi kuliah waktu itu. Mengapa, menjadi indikator terbaik untuk mencari makna. Makna adalah dasar dari kehidupan, setidaknya bagi gue. Oleh karena itu, gue sangat menghargai nilai. Sebab di dalamnya pasti tersimpan makna yang begitu dalam.

You Might Also Like

0 komentar