Superball 2020: Gagal Duo
Kamis, Januari 16, 2020
Mengawali tahun ini dengan sebuah race yang harus gue ikhlaskan karena
ketidakmampuan gue untuk melarikan dia. Kaki gue masih dalam kondisi sakit dan
nggak mendukung untuk lari. Sakit yang sudah ada setelah Indonesia Night Run 2019
yang sampai detik ini belum hilang sama sekali.
Sejak akhir tahun lalu sampai detik ini gue
masih khawatir soal kondisi kaki ini. Sekarang pun masih dalam usaha untuk
pengobatan mengandalkan BPJS Kesehatan kebanggaanku. Cuma karena jalurnya yang
panjang dan ruwet, ya, mau nggak mau gue harus bersabar.
Setelah mengkonsumsi berbagai macam obat yang
direkomendasikan teman dan dokter Alodokter, kaki ini nggak juga menunjukkan
perubahan untuk sembuh. Semakin hari semakin jadi pikiran. Gue pun memutuskan
untuk mengalah dan tidak memaksakan diri.
Seminggu sebelum hari H, gue pun melepas slot
ini untuk dijual kembali, dengan harga yang sama persis seperti gue membeli di early bird. Emang anaknya nggak mau
rugi. Tapi setelah gue bandingkan dengan orang lain yang menjual slot kategori half marathon, jelas harga yang gue
tawarkan sangatlah murah. Apalagi gue kasih semuanya, BIB dan juga race pack-nya. Ruginya di sebelah mana? Nggak
rugi kalau nggak podium. Kalau podium, ya repot emang nantinya.
Padahal ya, gue beli slot Superball ini dengan
amat sangat niat sekali. Setidak efektif itu bahasa gue untuk menggambarkan
betapa gue niat dan mau lari di kategori ini.
Early
bird baru buka gue langsung
pesan dong. Secepat itu, segercep itu. Sebelumnya pun gue udah berisik banget
untuk cari partner untuk kategori ini. Dari semua orang, akhirnya gue pun
bersatu dengan Michelle untuk menjadi partner
kategori duo ini. Dimana dua orang pelari harus lari beriringan sejauh 30 km,
sama-sama dari start sampai finish. Artinya, kami harus punya pace yang sama.
Credits: Michelle |
Ini menjadi PR tersendiri buat gue. Karena gue
yakin nggak yakin sama diri gue. Pertama, gue belum pernah lari dengan jarak
sejauh itu. Half marathon pun gue
belum pernah. Ini lagi gaya-gayaan mau 30 km. Gila kan? Iya, emang orang gila
Zakia itu.
Kedua, pace
gue dan Michelle itu beda. Jelas, Michelle lebih cepat dibanding gue. Dia pun
lebih kuat dibandingkan gue. Karena pengalamannya lebih dari gue, pastinya. Gilanya
lagi, dia tuh setiap bulan bisa HM. Gila, kan? Nggak ada capeknya emang ini
orang!
Setelah Michelle yang meyakinkan gue kalau gue
bisa dan gue mampu. Kalau kita bakal lari dengan pace santai ala dia yaitu pace 7-8, yang sebenarnya adalah pace rata-rata gue. Di sisi lain, gue
pun berusaha untuk bisa lari bareng dia dengan segala daya dan upaya yang telah
gue lakukan. Ternyata, Tuhan tidak mengizinkan.
Slot gue pun terjual dengan harga yang tidak
berubah dari saat gue beli. Dibeli orang seorang teman baru GNR yang tahu
kelakukan dan aib gue di Indonesia Night Run 2019 lalu. Dia juga yang membuat
grup ramai karena melaporkan kejadian malam itu. Bikin malu saja! Cuma
Alhamdulillah. Kalau nggak ada dia, nggak ngerti lagi itu slot harus gue apain,
gue kemanain atau gue jual dengan harga berapa. Jelas, karena gue nggak mau
rugi.
Nggak jadi lari di hari Minggu, gue pun
berencana untuk pulang aja. Namun, ternyata rejeki datang secara tiba-tiba dan
tidak ada yang menebak. Benar-benar dari arah yang nggak diduga-duga dan buka
sesuatu yang gue harapkan sebelumnya. Ya, nothing
to lose aja.
Selesai latihan Jumat malam, bersiap untuk ke
Gojek Food Festival GBK, gue pun dipanggil.
“Zak, mau jadi marshall nggak?”, tanya Bang
Afan, kapten gue di 361 Runners.
Oh… jelas, maulah! Sebuah pertanyaan retoris
itu. Nggak mungkin gue jawab nggak. Orang butuh begini kok. Butuh banget
malahan, buat bayar slot PSBM 2020 yang mahalnya luar biasa tapi gue tetap mau birthday run di sana. Ngeyel emang anaknya!
Nggak banyak adegan, nama gue pun masuk daftar
marshall Superball 2020 yang akan jaga di check point. Nggak banyak juga
ketentuannya. Gue hanya diminta untuk berada di kantor walikota Jakarta Selatan
yang merupakan start dari race ini pukul 01.30 WIB. Pagi banget? Memang! Ya beginilah perjuangan ya.
Gue pun berangkat tengah malam dari kosan di
Kebon Jeruk dengan menggunakan motor kesayangan bersama Vian. Alhamdulillah
nggak gimana-gimana di jalan meski gue agak parno soal begal dan semacamnya. Alhamdulillah
juga nggak telat. So, I started my day
well.
Briefing super singkat selesai. Kami diberikan
tali sebagai penanda masing-masing check
point. Lalu, ya… menunggu sampai waktunya tiba untuk berangkat ke check point masing-masing.
Sudah tidur 2-3 jam sebelum berangkat, gue
masih saja mengantuk. Ditambah dengan udara yang dingin di tengah malam, dengan
angin sepoi-sepoi, menambah rasa kantuk ini. Kegabutan pun menghampiri. Nggak
ada yang bisa gue kerjakan. Scrolling media
sosial pun gue tak berminat, apalagi main game.
Kantuk telah menguasai diri ini. Namun, tak bisa tidur meski tubuh sudah
direbahkan di tangga tiang bendera kantor walikota dengan kepala yang ditopang
oleh tas sebagai bantal.
Akhirnya, gue hanya baring-baring saja sambil
memejamkan mata meski tak tertidur. Di sebelah gue ada Bang Afan yang akhirnya
menonton anime yang gue nggak tahu
namanya dan gue juga nggak peduli. Di sebelah gue ada Ragil yang sibuk cek
status orang-orang di Whatsapp story.
Di sebelahnya lagi ada Vian yang sedang main ular-ularan itu. Sebuah game yang ada juga di ponsel gue.
Gue pun bilang kalau gue baru saja install game itu tapi belum gue mainkan.
Ragil yang bosan pun memainkan game
ular-ularan di ponsel gue sampai dia bosan dan kesal. Lalu, kami bertiga pun
sama-sama menonton Youtube gamer yang
memainkan permainan ini. Jago sekali! Nggak mati-mati sampai panjang dan
benar-benar besar.
Kami menonton sambil baring menghadap langit
Jakarta yang kala itu cerah tanpa awan. Bintang pun terlihat beberapa. Gue
menonton dengan tegang seakan gue yang memainkan sendiri game itu. Tipis-tipis dengan ular lawan, ngeri sekali kalau akan
mati karena tertabrak. Sampai akhirnya benar-benar mati dan kami mengaduh
bersamaan. Kecewa.
Tontonan selesai. Tak lama kami pun berangkat
ke Al-Azhar. Gue, Ragil dan Vian tumpuk tiga dengan menggunakan motor.
Sementara, Kerli menggunakan sepeda lipat barunya sambil membawa sebuntalan
tali penanda check point.
Jam 04.00. Jakarta masih gelap, jalanan masih
sepi. Namun, Jakarta tak pernah mati. Tetap selalu ada yang melewati jalan di
tiap sisi.
Sampai di lokasi, sudah ada petugas time checking dengan alat-alatnya yang
sudah terpasang rapi dengan daya dari sebuah genset yang juga dia bawa secara
mandiri. Rupanya, jalur race ini
tidak steril. Kami hanya mendapat menggunakan satu ruas di sebelah kanan
bersebelahan dengan jalur Transjakarta. Sementara, Transjakarta sendiri tak ada
matinya. Jadi, ya, kami harus hati-hati.
Azan subuh berkumandang. Kami pun
bergantian untuk solat di Masjid Al-Azhar. Karena gue memang sedang tidak
solat, jadi gue memilih untuk tetap di tempat bersama Ragil. Kami pun mulai
merapikan tali-tali yang akan digunakan sebagai penanda. Mengeluarkannya dari
plastik, membuka ikatan besarnya, lalu melepas simpul kelompok kecil tali. Kami
pun mengalungkan tali-tali tersebut di tangan kami. Begitu terus sampai banyak.
Pukul 04.35, race pun dimulai untuk kategori pertama yaitu duo 60K. Kami pun
bersiap sambil menunggu Kerli dan Vian selesai solat. Vian datang, baru
kemudian Kerli. Lalu, tiap-tiap dari kami pun melakukan hal yang sama seperti
di atas. Sampai melihat tanda-tanda pelari pertama.
Perkiraan kami, paling cepat 30 menit setelah flag off pelari pertama akan sampai di check point kami. Namun, ternyata tidak
juga. Lewat dari pukul 05.00 WIB baru ada pelari pertama. Laki-laki, kalau
tidak salah dari kategori half marathon
dan orang Indonesia, bukan atlet asing.
Gue berada di posisi paling depan, menjadi
orang pertama yang berhadapan dengan pelari. Sayangnya, orang pertama ini tidak
mengambil tali dari gue. Seketika dada ini terasa seperti ada yang menohok.
Iya, gue selalu kaget dan asing dengan sebuah
penolakan. Padahal, pelari tersebut tidak ada alasan tertentu dalam memilih
tali yang dipegang oleh siapa, random saja, sekenanya. Gue kecewa dengan
kejadian itu selama beberapa detik. Gue yang sudah tersenyum manis untuk
menyambut para pelari pertama ini merasa tidak mendapatkan sambutan yang positif.
Untungnya, satu perlari laki-laki lainnya di
belakang, pelari kedua, mengambil tali yang gue sodorkan. Dengan ramah ia pun
berterima kasih meski tetap berpacu dengan waktu. Sebuah angin segar. Namun,
dari kejadian ini pula gue mendapat peringatan dan pelajaran bahwa nggak semua
hal harus gue tanggapi dengan personal. Toh, apa harus memilih dengan serius
untuk sebuah tali? Rasanya nggak.
Pelari pertama lewat. Masih cukup jauh jaraknya
dengan pelari pertama kategori lainnya. Jalanan masih sepi dari pelari, kami
masih memisahkan tali-tali tersebut satu per satu agar lebih mudah saat
diberikan.
Sampai di satu titik dimana pelari sudah mulai
ramai berdatangan sementara kami berempat menemui kesulitan. Tali-tali tersebut
mulai kusut tak karuan dan memperlambat pergerakan kami dalam memberikannya kepada
pelari. Begitu juga pelari yang kehilangan beberapa detiknya yang berharga,
setidaknya itu yang gue pikirkan.
Karena gue selalu menganggap penting setiap detik
yang gue lalui ketika race. Itu akan
berpengaruh pada hasil gue, pada record
gue. Gue nggak mau menyia-nyiakan itu dan akan menyebalkan kalau ada
orang-orang yang menjadikannya lambat.
Tali-tali itu pun menjadi ruwet dan sulit
dipisahkan. Gue mulai melempar mereka ke jalanan satu per satu tiap kali
ditemukan. Berhampasan dimana-mana, gue nggak begitu peduli karena membantu
pelari dengan secepat mungkin adalah prioritas gue.
Meninggalkan semua yang ruwet di tepi jalan,
gue pun mengambil tali-tali lain yang masih tersimpul dan mengubah cara
memegang dan memberikannya kepada para pelari. Ternyata, semua simpul dan
urutan itu ada makna dan tujuannya. Kami saja yang tidak tahu di awal.
Masih tersangkut beberapa kali meski sudah
berganti teknik. Gue selalu dan selalu panik ketika pelari datang bergerombol
dan mengerubung ke gue karena posisi gue paling depan. Ketika tali-tali
tersangkut atau belum bisa melepaskan simpulnya, gue akan mengarahkan mereka
untuk mengambil dari teman-teman yang ada di belakang gue.
“Masih ada di depan, masih ada di depan!”,
teriak gue. Sambil berusaha tersenyum meski panik dalam hati dan mata yang
fokus ke tali-tali di tangan.
Nggak jarang pelari mengambil lebih dari satu
tali karena terikat mati dengan yang lainnya. Nggak sedikit juga tali yang
jatuh atau masih dalam pegangan gue karena pelari tidak mengambil dengan baik. Lumayan
juga pelari yang berhenti dan menunggu gue selesai bergelut dengan tali-tali
ini.
Kerja menjadi marshall check point ternyata tidak seluruhnya mudah. Bekerja di
bawah tekanan, menjadi cekatan dan tetap fokus. Sambil menampilkan senyum
terbaik dan memberikan semangat kepada para pelari, bukanlah hal yang mudah dan
sederhana. Menjadi pribadi yang multitasking
kuncinya. Menurut gue sih begitu.
Drama tali-tali yang ruwet itu menjadi
kekhawatiran tersendiri buat gue. Karena gue takut akan menjadi cerita buruk
yang tersebar ke sana-sini sebab pelari tidak puas dengan kerja kami. Makanya,
meski sibuk dengan tali-tali tersebut, gue selalu dan selalu berusaha untuk
tersenyum kepada mereka.
Di titik ini, gue kembali teringat dengan
pengalaman gue saat menjadi volunteer transportasi untuk shuttle bus inner GBK.
Gue yang bekerja semacam Mas/Mbak yang biasa kita lihat di Transjakarta,
berdiri seharian dan meneriakkan tujuan-tujuan penumpang. Belum lagi menjawab
pertanyaan para pengunjung dan penonton yang tidak tahu arah. Pertanyaan yang
seringnya sama dan terus berulang.
Lelah? Pasti. Capek? Iya. Namun, gue harus
menunjukkan sisi terbaik gue. Bekerja dengan profesionalistas tinggi meski ini
hanya seorang volunteer. Setidaknya gue menjaga image negeri ini di mata orang-orang
asing yang datang, para penonton, officials atau teman-teman wartawan.
Sampai di suatu malam, gue mendapatkan feedback dari seorang ibu yang bilang
begini, “Mbaknya kasihan. Mukanya capek. Tapi tetap semangat gitu.” Ia pun
turun dari bis yang kami tumpangi. Gue membalas ucapan beliau hanya dengan
senyum senang, tidak lupa berterima kasih atas perhatian dan apresiasinya. Padahal,
ya benar, capek rasanya.
Di sisi lain, gue juga bersyukur karena
pengalaman kerja di detik sangat-sangat mengajarkan gue apa itu bekerja di
bawah tekanan. Berpacu dengan waktu, mendengar sambil menulis. Tetap teliti.
Mengambil gambar sambil berdesak-desakan dengan wartawan lain. Namun, hasil
foto harus tetap pantas untuk dijadikan head
berita, tidaklah mudah. Percayalah. Terutama, kalau lo bekerja di detik.com.
Sesuai namanya, detik itu juga, secepatnya, sesegera mungkin berita lo harus
bisa dimuat di website. Terbayang?
Kembali menjadi marshall di check point
Al-Azhar. Dari beberapa meter jauh di depan gue sudah melihat seorang pelari
dengan jersey warna kuning mentereng ngejreng khas GNR. Semakin dekat, semakin
jelas siapa orangnya, ternyata Mas Adi. Hebat juga orang tua satu ini, berada
di barisan awal pelari.
Gue pun bersorak-sorai menyemangati. Memberikan
tali penanda check point. Hal yang sama pun gue lakukan tiap ada pelari yang
gue kenal. Sampai akhirnya bertemu dengan Michelle yang berlari bersama Dede
yang membeli slot gue.
Dari jauh gue sudah melambai-lambai, heboh
sendiri. Lalu, Michelle pun mendekat dan bilang, “Partner lari gue!!!” Kami pun
rangkulan satu sama lain. Ah! Ini rupanya
sensasi menyenangkannya jadi marshall, ucap gue dalam hati.
Menyenangkan. Gue bersemangat untuk
menyemangati mereka semua satu per satu. Nggak hanya yang gue kenal tapi juga
yang nggak gue kenal, bahkan para pacer pun gue semangati. “Pacer mana
suaranya?”, teriak gue saat mereka melewati kami.
Momen-momen hectic sudah terlewati. Tali ruwet
bukan lagi hambatan buat kami karena kami bekerja sama dengan cukup baik. Meski,
sejujurnya gue nggak begitu yakin dengan peran gue di sini.
Ya, karena semua orang sibuk untuk membenahi
tali-tali ruwet itu. Namun, gue fokus untuk menyelesaikan yang ada dan
memberikannya dengan cepat kepada pelari tanpa membuat mereka menunggu. Sebab pikiran gue berkata, tali-tali yang kusut
itu bisa diselesaikan nanti. Prioritaskan yang bisa dipakai saja terlebih
dahulu.
Namun, kalau melihat teman-teman lain yang
sibuk membenahi. Nggak enak hati. Alhamdulillah-nya, dari mereka
semua nggak ada yang komplain soal kerja gue hari itu. Alhamdulillah kami
bekerja sama dengan cukup baik dan saling mengisi satu sama lainnya.
Malah, ketika gue mau membantu mengurusi
keruwetan tali itu, disuruh nggak usah sama Kerli karena, ya udah, nggak perlu
semua untuk mengurusi tali. Padahal, saat itu sedang sepi. Gue melakukan itu
pun karena rasa nggak enak tadi. Iya, gue memang masih menjadi kaum yang nggak
enakan.
Sepi, sepi, sepi. Nggak nampak lagi
pelari-pelari yang akan melewati kami. Hanya beberapa pelari terakhir. Dua
perempuan dari kategori 10K yang salah satunya adalah teman GNR bernama Nuni.
Dari jauh kami sudah bisa mengenalinya. Sayang, saat itu ia tidak berlari tapi
sudah berjalan kaki.
Beberapa waktu kemudian, kami menunggu
instruksi untuk dibubarkan dan kembali ke race center. Sambil menunggu,
tiba-tiba ada sebuah kecelakaan yang terjadi di sisi lain jalan. Kami dipanggil
oleh petugas halte Transjakarta. Katanya, ada seseorang yang mengendarakan
sepeda terjatuh.
Teman-teman yang lain sigap dalam menanggapi. Melihat
itu, gue merasa tak perlu juga sibuk soal itu, biarkan yang lain saja. Saat
dilihat, memang sudah ada beberapa orang yang mendekati lokasi kejadian
tersebut, termasuk di antaranya ada beberapa orang polisi.
Melihat polisi ada di sana, gue makin merasa
tak perlu turut campur terlalu jauh. Namun, Ragil mendekati lokasi kejadian
tersebut sambil menelepon seseorang. Tebakan gue, dia menelepon Bang Aan yang
adalah PIC untuk kami, marshall check
point ini.
Sementara yang lain sibuk dan agak panik dengan
kecelakaan tersebut, gue memilih untuk membereskan tali-tali yang masih ada di
jalan dan memasukkannya ke dalam tote bag.
Berkemas agar ketika waktunya pulang, kami tak perlu repot lagi. Dari jauh, gue melihat kaki korban. Terlihat kejang-kejang. Nampaknya serius dan membuat gue sedikit ngeri.
Sambil bolak-balik mengambil tote bag di motor yang terparkir, gue
pun mengobrol dengan Kerli. Ia bilang, sebenarnya ingin membantu namun ia punya
pengalaman yang kurang baik soal ini. Ia takut kalau dibantu malah terjadi
sesuatu dengan si korban. Gue pun menanggapi dengan mengiyakan tindakannya. Sebab,
memang lebih baik yang ahli yang menangani dibanding kita yang tak tahu apa-apa
ini memperburuk kondisi.
Gue yang memasukkan tali-tali tersebut ke tote bag pun melihat Vian mengobrol
dengan salah satu polisi lainnya yang terlihat bingung. Lucunya, dia adalah
seorang polisi namun meminta tolong kepada kami yang hanya warga sipil biasa
ini. Katanya, mereka takut untuk melakukan penanganan dengan resiko yang akan
terjadi.
Menanggapi kondisi itu, gue menganggapnya lucu.
Iya, bagaimana mungkin pelayan masyarakat sekelas polisi itu tidak tahu soal
penanganan pertama saat kecelakaan? Setidak-tidaknya mereka sigap dalam
menelepon ambulans, menurut gue begitu.
Alhamdulillah, nggak begitu lama ambulans pun
datang. Korban pun dinaikkan ke ambulans dan dibawa ke rumah sakit. Kami pun
kembali ke kesibukan masing-masing, menunggu arahan untuk kembali ke race center. Cara terbaik untuk mengisinya adalah dengan berfoto. Mengabadikan momen menjadi marshall pertema kali untuk gue.
Credits: Kerli |
Credits: Kerli |
Selesai berfoto, arahan untuk kembali ke race center pun belum kami dapat. Bertanya ke satu sama lain, dengan teman-teman marshall yang lain atau ke Bang Agung yang mengurusi timing, hasilnya masih sama. Akhirnya, gue pun mengambil ide untuk mengirim direct message ke Randi Bachtiar, papanya Arrasya, iya, suaminya Tasya.
Ternyata dia ikut Superball juga. Gue nggak tahu sebelumnya, Karena memang malam sebelumnya gue nggak mengecek atau melihat unggahan dia di Insta Story-nya.
Pernah dibalas komentarnya oleh beliau saat Jakarta Marathon 2019, gue pun punya kepercayaan diri yang cukup tinggi soal ini. Melaporlah gue kepada Randi kalau tadi gue memanggilnya di check point Al-Azhar. Sayang, dia tidak mendengarnya. Padahal, gue semangat sekali saat itu. Akhirnya, bertemu juga dengannya in person.
Sayangnya lagi, saat di check point, dia nggak mengambil tali penanda dari gue tapi dari Kerli yang berada tepat di seberang gue dan menjadi orang pertama, paling depan. Kecewa sih. Tapi, ya udahlah ya, mau diapain. Toh, dia juga ngejar waktu kan.
Entahlah apakah memang orangnya ramah Randi ini, tapi DM gue dibalas, dong! Senang tidak? Senang lah! Gue nyeritainnya lagi aja rasanya mau jumpalitan nih. Seberlebihan itu!
Malah ya, dia minta maaf lho pas gue bilang gue manggil dia dan dia nggak dengar. Mantap ya? Udah gitu, dia pun berterima kasih karena gue menjadi marshall di sana. Duh!
Lalu, saat ditanya sudah finish atau belum, dijawab dong. Malah ngasih tahu kalau sudah sampai rumah dan curhat kalau race kali itu panas. Ya... kan... saya... gimana ya... duh!
Credits: Pribadi |
Matahari sudah tinggi.
Udara sudah panas. Jalanan mulai ramai. Kami masih belum diberi arahan untuk
kembali. Sampai akhirnya, inisiatif sendiri setelah bertanya pada tim medis
bersepeda yang mengatakan bahwa tak ada lagi peserta yang tersisa. Kembalilah kami ke sana.
Sampai di race center, gue nggak bisa lagi
parkir di dalam karena acara masih berlangsung dan memang kondisinya ramai. Mau nggak mau harus parkir di luar gedung walikota. Parkir
liar, semacam itu, dan bayar.
Credits: Aulia |
Ternyata, di sana sudah ada Bang Afan, Bang Zulfi dan Kak Ola. Mereka sedang sarapan, makan bubur ayam. Perut lapar tidak
terganjal oleh sepotong roti terakhir dari jatah snack pagi buta, gue pun
memutuskan ikut makan. Padahal, yakin nggak yakin juga bakal habis semuanya.
Karena memang beberapa waktu terakhir ini napsu makan gue sedang tidak dalam
kondisi terbaiknya, mau-mau nggak-nggak. Sekenanya saja.
Benar saja. Satu mangkok pun nggak habis. Lewat
dari setengah mangkok pun gue memakannya dengan perjuangan. Berjuang melawan
perut yang rasanya nggak enak. Semacam asam lambung yang mulai naik. Kalau begini,
gue butuh waktu lama untuk mengunyah dan menelan. Tapi rasanya nggak enak kalau
makannya lambat begitu karena yang lain menunggu.
Gelagat gue untuk mempercepat makan pun dilihat
Bang Afan, dia pun menenangkan, “Santai aja makannya, Zak. Gue tungguin!”
Baik juga pelari Nusantarun satu ini. Tapi,
nggak gitu ngaruh juga sih. Karena memang gue sudah memutuskan nggak
menghabiskan semuanya. Takut malah jadi mual dan muntah. Lebih mubazir jadinya.
Setelah menghabiskan sate telur yang ada. Gue pun
mengembalikan mangkok ke Bapak Penjual Bubur itu. Lumayan enak juga. Cuma,
sambalnya pedas. Perut yang nggak enak ini pun nggak mampu menelannya. Kata si
Bapak mah, “Namanya juga sambel. Pedeslah.” Ya, benar, nggak salah juga.
Credits: Aulia |
Masuk ke race
center. Gue memilih berpisah dari Bang Afan, Zulfi dan Kak Ola untuk
keliling sendirian di sana, mencari teman-teman yang lain dan bertukar sapa
sambil menyelamati mereka karena sudah bisa finish.
Pertama yang gue temui adalah Michael dan
Harfan yang berada di depan drop bag.
Ternyata, sedang mengurus tas mereka yang hilang. Kedua tas yang digabungkan
untuk satu nomor drop bag yang sama. Mengetahui
itu, gue tertegun, merasa nggak nyaman. Sebab posisi gue di situ adalah marshall dan merasa bagian dari
penyelenggara. Semacam ada rasa tanggung jawab juga yang muncul. Tapi, gue bisa
apa?
Masih mengobrol dengan Michael sementara Harfan
berkeliling entah kemana mengurusi masalah ini, datanglah satu orang perempuan
lainnya ke drop bag. Rupanya,
masalahnya sama. Tasnya juga hilang.
Nggak cuma itu, ada satu lagi yang hilang. Tas seorang
lelaki yang ternyata naik podium. Jadi, total ada empat tas yang tak lagi ada
di tempat sementara panitia yang ada di tempat mengatakan tidak ada orang yang
pergi dari drop bag selama race berlangsung. Lalu, kok bisa hilang?
Entahlah. Gue juga nggak mengerti.
Credits: Kumbang |
Credits: Kumbang |
Gue pun kemudian mendatangi teman-teman GBK Night
Run yang lain. Dengan jersey kuning mentereng yang khas itu, mudah saja untuk
menemukan mereka yang berkumpul di bawah pohon sambil duduk, istirahat dan
meluruskan kaki.
Selalu ramai, senang sekali kalau bertemu
mereka-mereka ini. Gue memberi selamat kepada masing-masing yang gue kenal.
Nggak semua yang ada di situ gue kenal karena memang banyak sekali orangnya dan
ada juga yang baru-baru bergabung atau gue belum pernah bertemu dengannya
sebelumnya.
Mereka sibuk foto-foto seperti biasa. Untungnya,
gue orang sangat sok asik dan tidak tahu malu. Ya sudah, nimbrung saja walaupun
nggak lari. Mengambil posisi paling depan di sebelah Adam. Beda sendiri dengan
baju warna putih, sementara yang lain kuning mentereng atau hitam gelap.
Masih sibuk dengan sesi foto-foto lainnya, kali
ini dengan baju finisher. Di sini, ada sedikit kegetiran yang muncul di hati
gue. Di dalam sana ada bisikan berkata, Harusnya gue juga ada di sana.
Iya, mereka berfoto sesuai dengan kategorinya
masing-masing, half marathon dengan baju finisher warna merah dan duo 60K warna
biru. Di luar kategori itu, kami nggak diajak. Sebenarnya sedih. Tapi, gue
nggak sendiri. Ada beberapa teman-teman lainnya yang juga nggak ikut sesi foto
ini karena mereka lari untuk kategori 10K dan 5K.
Tapi, bukan gue namanya kalau nggak maksa dan
punya akal. Gue pun mendekati mereka yang berbaju biru. Bercanda untuk
bergabung, gue bilang, “DNS boleh ikut nggak?”. DNS, do not start. Nggak bisa ikut race karena satu dan lain hal. Gue,
karena masih sakit kakinya dan nggak bisa dipaksakan.
Tetap nggak bisa. Ya sudahlah ya. Gue pun
memilih mengobrol dengan yang lainnya. Bertemu dengan Michelle, kami kembali
bertukar peluk. “Partner gue!”, serunya saat kami saling bertatapan.
Antara senang
dan sedih karena di saat yang sama, ada partner lari dia yang sebenarnya,
benar-benar lari sepanjang 30 km mengelilingi Jakarta, yang menyelamatkan slot
gue agar nggak sia-sia, Dede.
Untungnya, Dede ini orang yang menyenangkan.
Gampang untuk dekat sama orang. Ramah, lucu, begitulah. Baru pertama kali
bertemu pun kami sudah bisa becanda dan meledek satu sama lain. Meski gue nggak
lari hari itu, kami bertiga tetap partner. Gue pun berfoto bersama mereka
berdua. Ah! Menyenangkan sekali. Rupanya, gue masih dianggap.
Credits: Michelle
|
Credits: Michelle
|
Saat bertemu Adam pun begitu. Dari jauh, gue
melihat ada yang salah dengan kakinya. Nampaknya, yang sebelah kiri sakit. Benar
saja. Katanya, itu karena tadi dibawa jalan, akhirnya kakinya berat dan terasa
sakit.
Ia pun ingin mengantri fisioterapi, bersama
dengan Michelle, gue diajak. Lucu juga, gue nggak lari tapi mengantar ke
fisioterapi agar kaki mereka dipijat menghilangkan rasa sakit. Sambil menunggu
giliran, kami saling mengobrol dan bercerita.
Kami jalan sambil berangkulan satu sama lain. Adam
bilang, “Adik-adik kecil gue.” Iya, kecil banget gue ini. Tapi ya sudahlah. Lalu,
ia melanjutkan, “Nggak pa-palah, nggak ada si itu kan?”, tanyanya ke gue.
Sialan memang Adam ini. Masih aja membahas
orang itu. Padahal dia yang bilang kalau gue nggak usah peduli. Manusia, begitu
memang ya kelakuannya?
Credits: Botpic |
Adam mendapatkan gilirannya. Gue pun kembali ke
kerumunan teman-teman GNR yang lain. Ada Erwin. Ternyata, dia nggak lari.
Biasa, menyemangati saja. Sambil membuat keributan bersama yang lain dengan
menginap bersama.
Menuju refreshment line, mereka berdua
didatangi oleh Bang Hasbi, terlihat dari jauh kalau Kak Maya menangis. Gue berspekulasi
dengan alasannya. Namun, setelah berkumpul bersama dan kemudian gue melihat
cerita yang mereka unggah di akun Instagram masing-masing, gue pun mengerti.
Credits: Ame |
Dua orang berlari beriringan sejauh 30 km itu
nggak mudah sama sekali. Lo start bareng-bareng dan harus finish bareng-bareng.
Artinya, nggak boleh meninggalkan satu sama lain. Di sini, ada kesabaran yang
harus dijaga. Begitu juga dengan ego yang nggak boleh dibiarkan menguasai diri.
Terutama, kalau kalian tidak lari dengan kecepatan yang sama.
Gue melihat Kak Maya dan Alfi ini, tersadar
akan makna pertemanan dan persahabatan. Sabar, menjaga temannya, nggak
meninggalkan di saat lemah. Lagi-lagi, gue makin mencintai lari dengan segala
makna yang bisa gue petik di darinya.
Jujur aja, ketika gue tahu Kak Maya dan Alfi
bisa finish sebelum COT, cut off time
dan benar-benar mepet COT, mau nangis rasanya. Keren aja gitu. Menyentuh. Kalau
dibilang perjuangan mah, perjuangan pasti.
Kemudian, gue merefleksikan diri. Apa gue
mampu untuk bisa kayak mereka berdua? Berlari dan berjalan beriringan,
bersama-sama, saling menguatkan dan meyakini satu sama lain kalau bisa sampai
finish. Nggak menyerah, nggak meninggalkan, sabar, saling berpegangan tangan. Bukan
cuma buat gaya agar bagus saat masuk dalam lensa kamera tapi karena benar-benar
ingin menguatkan dan berbagi tenaga.
Duo Maya-Alfi ini kemudian menjadi inspirasi
gue. Rasanya, gue harus mencoba duo di Superball selanjutnya. Tapi, harus mulai
dipikirkan dari sekarang, partnernya siapa.
0 komentar