Apa Ruginya Mengapresiasi?

Senin, Agustus 10, 2020

Menjeda kegiatan membaca novel Amba karya Laksmi Pamuntjak untuk mengirimkan sebuah pesan kepada seorang teman membuat gue duduk di depan laptop lewat dari tengah malam hari Senin. Sebuah pesan yang bisa dibilang atau biasa gue sebut sebagai appreciation message di mana gue mengutarakan perasaan dan pemikiran gue secara jujur apa adanya kepada orang yang bersangkutan.

Ini adalah sebuah gestur yang gue biasakan untuk memanusiakan teman-teman gue. Sebuah tindakan dari bentuk empati. Sebuah kebiasaan yang gue pupuk berdasaran kutipan favorit yang gue dapat dari leadership training beberapa tahun yang lalu, 

"Love is not love if you only keep it in your heart." 
Cinta, bukanlah cinta kalau hanya disimpan di hati saja. 

Appeciation message ini adalah kebiasaan baru yang sedang gue jalankan dan diusahakan terus berlanjut sampai kapanpun, bahkan bisa ditiru oleh teman-teman lainnya. Semoga bisa menular dan meluas.

Appreciation message ini gue lakukan karena memang mengalami sendiri hidup di lingkungan yang gagap mengekspresikan emosinya, terutama cinta-kasih. Lingkungan yang bingung bagaimana mengapresiasi orang lain secara eksplisit sehingga mudah dimengerti. Lingkungan yang kemudian membuat gue menjadi orang yang haus validasi dan atensi sehingga mencarinya di sana-sini dan membuat banyak orang risih.

Sering kali diprotes oleh teman-teman di lingkaran, gue merasa tidak nyaman karena ternyata iti merepotkan mereka. Gue pun belajar untuk berhenti meminta validasi dari mereka.

Sayangnya, ini membuat gue tidak benar-benar tahu di mana gue berada, di titik mana, seperti apa. Apa kelebihan dan kekurangan gue. Apa yang bekerja dan tidak bekerja. Mana yang harus diperbaiki dan dipertahankan atau dikembangkan.

Ketidaktahuan itu pun membuat gue merasa kerdil dan gamang di waktu yang bersamaan. Gue sering mengucilkan diri sendiri dan tidak merasa cukup untuk banyak hal. Misalnya, tidak cukup pintar, tidak cukup baik, tidak cukup ramah, tidak cukup cantik, tidak cukup menarik, tidak cukup menawan, tidak cukup rajin, tidak cukup bekerja keras dan tidak-tidak yang lainnya.

Ketidaktahuan ini membuat gue nggak yakin dengan diri sendiri. Akhirnya, banyak potensi dan pencapaian dalam diri yang tidak disyukuri. 

Sedikit atau banyak, besar atau kecil, sebenarnya apa pun yang ada dalam diri adalah hal yang patut disyukuri dan diapresiasi. Gue baru menyadari, mengamini dan belajar sekaligus berlatih mengimplementasikannya selepas sesi konseling beberapa bulan lalu.

Gue disadarkan oleh psikolog kalau begitu banyak potensi dalam diri gue. Begitu jauh gue mengembangkan diri dan betapa gue begitu berarti, bernilai. Seharusnya, gue mampu menghargai diri sendiri, mengapresiasinya, bahkan mencintainya.


Ini kemudian menjadi dorongan untuk melakukan hal yang sama kepada teman-teman yang merasakan dan mengalami hal yang sama seperti gue. Akhir-akhir ini, gue kerap kali mengirimkan pesan maupun menandai teman-teman dalam unggahan di media sosial. 

Hasilnya? Luar biasa!

Karena nggak selalu yang lo anggap kecil itu ternyata sekecil itu. Nggak selalu yang lo anggap biasa aja ternyata biasa juga buat orang lain. Lo nggak pernah benar-benar tahu kalau itu ternyata sebegitu bermaknanya untuk mereka, sebegitu berarti dan besarnya untuk mereka. 


Salah satu contoh terbaik yang gue punya adalah ketika gue membuat cuitan betapa bersyukurnya diri ini atas banyak hal yang dimiliki saat ini, termasuk akhirnya memiliki seseorang yang mencintai gue dengan sepenuh hati tanpa diminta.

Seseorang yang gue kenal secara sengaja-tidak-sengaja. Seseorang yang bahkan tidak terbayangkan oleh gue kalau dia akan menyukai gue, bahkan mencintai gue sebegitunya. Ia yang justru menyelamatkan gue untuk tidak lagi mengejar laki-laki yang belum tentu mencintai gue. Ia yang secara tidak langsung, mencegah gue untuk menyakiti diri sendiri karena memaksakan diri. Lebih dari itu, ia menyadarkan gue bahwa gue pun layak dan bisa dicintai.



Ini adalah cuitan yang dilakukan tengah malam sebelum tidur. Cuitan yang gue buat karena dada penuh dengan kerinduan dan diperuntukan untuk diri sendiri. Tidak ada maksud lain. Menandainya pun tidak. 

Namun, ternyata ia melihatnya bahkan mengirimkan e-mail di lewat tengah malam saat gue tertidur lelap. E-mail yang membuat gue cukup terkejut saat melihat layar ponsel karena subjek yang ia tulis adalah "URGENT MATTER". 

Ada apa? pikir gue. 



E-mail ini rupanya adalah rasa syukurnya telah, sedang dan akan memiliki gue dan bagaimana ia merasa dirinya jauh lebih berharga dan bernilai dibandingkan daripada yang ia selama ini kira. E-mail yang merupakan surat cinta pertamanya. E-mail yang menyadarkan gue bahwa gestur semacam menunjukkan rasa syukur seperti di atas memiliki dampak yang begitu besar terhadap orang yang bersangkutan. 


Contoh lainnya adalah ketika gue mengirimkan pesan kepada salah satu teman reporter setelah ia mengunggah video dance challenge TikTok di Instagramnya. Video yang mungkin banyak orang melihat itu sebagai hal konyol atau memalukan tapi buat gue, itu adalah bentuk otentisitas. Video itu menunjukkan bahwa ia adalah manusia sepenuhnya, tidak berpura-pura. Jarang sekali orang seperti ini di masa kini.

Gue tentu saja tidak bisa menahan diri untuk tidak mengapresiasinya. Kami jarang berkomunikasi atau mengobrol tapi gue merasa appreciation message penting sekali untuk dikirimkan. Cukup panjang dan lagi-lagi mengena untuknya. Senang sekali rasanya!



Menurut gue, mengirimkan appreciation message kepada orang-orang terkasih adalah hal yang sangat penting. Selain kita memberi tahu seberapa mereka bernilai dan berarti di mata kita, itu juga bisa menjadi bahan bakar agar mereka tetap melakukan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka percaya dan merasa tidak sendirian. Mereka tahu ada orang yang mendukungnya dan menikmati karyanya. 

Begitu besar dampaknya mengapresiasi orang lain, mengapa terasa begitu sulit dan enggan untuk melakukannya? Apa yang salah dari membuat orang lain bahagia dan bersemangat? Rasanya tidak rugi juga kalau kita mengapresiasi orang-orang di sekitar secara terang-terangan.

Dibandingkan menyebarkan kebencian, iri hati dan dengki, mengapa kita tidak menebar cinta dan kebaikan kepada sesama? Bukankah rasanya lebih damai dan tenang jika demikian?


Gue selalu percaya prinsip give and give bukan give and take, memberi dan memberi bukan memberi dan mengambil. Ketika kita melakukan kebaikan kepada seseorang. Orang tersebut akan merasa senang. Ia pun memiliki pengalaman baik. Tentu saja ingin membagikan dan membuat orang lain merasakan hal yang sama. Ia pun melakukan kebaikan kepada orang lainnya. 

Kebaikan yang bukan balasan untukmu, melainkan sebuah cara ia membalas dengan menebarkan kebaikan kepada yang lainnya. Artinya, jika kita melakukan kebaikan, akan muncul kebaikan lainnya. Sebaliknya, jika kita melakukan keburukan kepada orang lain, maka mereka pun akan melakukan keburukan pula. Akhirnya, keburukan berada di banyak tempat, di mana-mana.


Rasanya, dunia hari ini sudah cukup buruk dan melelahkan untuk membagikan hal-hal buruk. Toh, dunia sudah cukup buruk, 'kan? Untuk apalagi diperburuk? Mengapa kita tidak memperbaikinya dimulai dengan hal yang kecil, mudah dan sederhana semacam mengirimkan appreciation message kepada orang-orang terkasih?

Salah satu senior gue selalu bilang, kita nggak pernah benar-benar tahu sampai kapan kita bisa bertemu dan berkomunikasi satu dengan yang lain. Kita nggak akan tahu kapan waktu terakhirnya. Jadi, selagi masih ada waktu, selagi masih bisa, tunjukkan, ungkapkan kalau kita sayang mereka. Sebelum terlambat, sebelum menyesal.

Mungkin rasanya aneh dan canggung di awal-awal. Gue pun mengalaminya. Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba mengucapkan terima kasih kepada teman-teman gue. Mereka nggak jarang pun kaget dan heran.

"Ada apa? Lo kenapa?", tanya mereka.


Nggak harus ada apa-apa dan kenapa-kenapa untuk mengungkapkan perasaan. Nggak harus ada momen-momen atau hari istimewa. Semua hari sama saja, yang menentukannya istimewa atau nggak ya kita sendiri. Nggak perlu menunggu Hari Kasih Sayang untuk bilang kalau kita sayang. Nggak perlu menunggu hari ulang tahun untuk menyelamati seorang kawan. Begitu juga, hari-hari lainnya, seperti Hari Ibu, Hari Ayah dan banyak lagi yang lainnya.

Jangan dipendam sendirian. Nggak enak. Ketahan. Lepaskan saja. Biarkan mereka tahu apa yang lo rasakan dan lo pikirkan. Biarkan pula mereka merasakannya. Menyenangkan rasanya berbagi cinta-kasih, mengekspresikannya dan melihat respon dari orang tercinta.

Seperti apa responnya? Lo baru bisa tahu setelah melakukannya. Selamat mencoba dan bersenang-senang bersama! Ditunggu ceritanya!

You Might Also Like

2 komentar

  1. Mbak Zakia, saya kok suka banget sama tulisan ini ... TT

    Bukan mau basa-basi sih, tapi memang bikin nyes sendiri setelah baca tulisan mbak :')

    Terima kasih banget, Mbak. Semoga tetap langgeng sama Mas Bucin-Core ... berdua sampai jadi debuu~~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Ramdziana! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca blogku ya! Sampai rela menuliskan sebuah komentar.

      Terima kasih sudah menyukai tulisan ini. Semoga ada hal baik yang bisa diambil dan diimplementasikan nantinya ya.

      Terima kasih juga untuk doanya! Semoga hal-hal baik juga selalu mengiringi kamu dan orang-orang terkasih ya. Sehat selalu!

      Hapus