Inklusivitas Karya Terjemahan

Minggu, Oktober 04, 2020

Kegiatan membaca buku seharusnya menjadi kegiatan inklusif yang bisa dilakukan oleh semua orang. Namun, tidak sedikit orang yang menginisiasinya sebagai kegiatan untuk kalangan tertentu, mereka yang pintar dan "mampu". 

Photo by Leah Kelley from Pexels

Di tengah banyaknya teman-teman pembaca Twitter atau lebih dikenal dengan book tweet/booktwt mengkampanyekan inkulsifitas membaca, entah merangkul para membaca untuk membaca apapun bacaan mereka terlepas dari usia dan latar belakangnya, maupun mendukung penulis-penulis kulit berwarna atau mengedukasi bahwa membaca, membeli dan mengoleksi buku adalah tiga hal yang berbeda, aku masih melihat tindakan ekslusif terhadap kegiatan membaca. Misalnya, melihat karya terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebelah mata. 


Isu membanding-bandingkan karya terjemahan dan bahasa Inggris sesungguh menggangguku karena secara tidak langsung ini adalah bentuk ketidakcintaan terhadap bahasa sendiri, bahasa Indonesia. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa karya terjemahan tidak cukup nyaman untuk dibaca. Namun, kalau mau melihat dari proses penerjemahan, pasti ada hal-hal yang hilang dalam proses tersebut atau lost in translation. Mungkin karena tidak menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia maupun kendala lainnya seperti tata bahasanya, aku tak akan membahas ke sana. 


Apa yang ingin kubahas adalah dampak jangka panjang dari pandangan karya terjemahan tidak sebaik bahasa aslinya, terutama bahasa Inggris. Aku melihat kondisi ini bisa membuat kegiatan membaca yang merupakan bagian dari proses edukasi bangsa sebagai kegiatan yang semakin ekslusif. Padahal untuk membuatnya merata ke seluruh negeri saja susahnya minta ampun. 

Photo by kaboompics.com from Pexels

Dengan melihat karya terjemahan dengan sebelah mata dan membagikan pandangan tersebut di ruang publik, aku khawatir ini akan menurunkan minat baca terhadap karya terjemahan yang dapat berdampak pada banyak hal. Pertama, bisa menurunkan permintaan terhadap karya tersebut yang berakibat pada semakin sedikit pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh para penerjemah. Artinya, pandangan tersebut bisa mempengaruhi mata pencaharian seseorang. Sudahlah ongkos penerjemahan masih rendah, masih saja mau diganggu dengan hal semacam ini tidak apresiatif semacam ini. 


Kedua, aku mengkhawatirkan pemahaman anak bangsa mengenai karya berbahasa Inggris. Untuk kita yang tinggal di kota-kota besar dengan akses pendidikan dan literasi yang mencukupi, rasanya membaca karya berbahasa Inggris tidaklah sulit. Tapi... apakah hal itu juga terjadi di penjuru lain negeri ini? Aku tidak yakin. Setidak yakin juga dengan kemampuan bahasa Inggrisku sendiri. 


Kekhawatiranku yang satu ini berdasar pada akses yang sudah sulit menjadi semakin sulit. Karya berbahasa Inggris tidak sedikit harus diimpor dari luar negeri. Tentu saja dengan harga yang tinggi! Apakah teman-teman sudah cukup mampu untuk membelinya? Belum tentu. Toh, negara pun tidak menyediakan kan? Lalu, untuk apa mempersulit hal yang sudah sulit?


Bagaimana kita membantu mereka yang kesulitan akses seperti ini, setidaknya dengan membuat ekosistem penerbitan yang ramah terhadap karya terjemahan. Mari sama-sama untuk menghargai karya terjemahan dengan membeli dan membacanya. Mungkin dengan kritis dan saran yang kita sampaikan, penerbit dan penerjemah pun bisa menjadikannya bahan perbaikan agar buku-buku yang kita baca di kemudian hari lebih nyaman dibaca. 


Selain itu, ketika kita mendukung karya terjemahan, aku yakin akan lebih banyak buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Harganya pun jauh lebih murah. Terlebih, sekarang buku cetakan dalam negeri sampulnya indah-indah sekali! Apa tidak menggoda untuk dimiliki? Aku sih iya!


Semakin banyak buku terjemahkan kita baca, semakin tinggi penawaran, semakin banyak buku yang diterjemahkan, semakin banyak buku yang beredar di pasaran, semakin banyak teman-teman memiliki akses untuk membaca. Jadi, membaca bukan lagi ekslusivitas bagi si pintar dan kaya. Kita semua berhak untuk membaca dan menjadi pintar karenanya. Yuk, baca karya terjemahan! 

You Might Also Like

0 komentar