Review; Sebelas Patriot
Sabtu, Februari 23, 2013
Judul : Sebelas Patriot
Penulis : Andrea Hirata
Tahun Cetakan : Juni 2011
Penerbit : Penerbit Bentang
Ayah yang selama ini aku ingat hanyalah sosok biasa yang tidak memberikan kesan mendalam selain kependiamannya. Ayah yang pendiam dan tidak banyak bicara tidak pernah menceritakan apa pun tentang hidupnya walaupun aku telah banyak bertanya tentang mengapa tangan Ayah kasar, punggung Ayah banyak goresan dan kaki Ayah yang pincang. Ayah selalu menjawab, "Belanda, Bujang. Kerja pada jaman, Belanda Bujang." Dua kalimat saja dan tidak ada penjelasan yang lain.
Penulis : Andrea Hirata
Tahun Cetakan : Juni 2011
Penerbit : Penerbit Bentang
Ayah yang selama ini aku ingat hanyalah sosok biasa yang tidak memberikan kesan mendalam selain kependiamannya. Ayah yang pendiam dan tidak banyak bicara tidak pernah menceritakan apa pun tentang hidupnya walaupun aku telah banyak bertanya tentang mengapa tangan Ayah kasar, punggung Ayah banyak goresan dan kaki Ayah yang pincang. Ayah selalu menjawab, "Belanda, Bujang. Kerja pada jaman, Belanda Bujang." Dua kalimat saja dan tidak ada penjelasan yang lain.
"Sejarah telah memperlihatkan semua hal tentang kerakusan, kesombongan, dan daya juang di mana setiap orang dapat bercermin. Namun, tampaknya manusia lebih bernafsu membuat sejarah ketimbang belajar dari sejarah."
Sampai suatu ketika aku menemukan sebuah benda yang kelihatan seperti buku di bawah tumpukan pakaian bekas. Ku buka, ternyata adalah album foto. Perhatianku langsung tertuju pada sebuah foto dengan seorang lelaki di atasnya sedang tersenyum bahagia sambil memegang sebuah piala. Bukan seseorang yang ku kenal, aku belum pernah melihat lelaki itu sepertinya. Penasaran, namun keadaan tak memungkinkan untuk mengetahui lebih lanjut karena Ibu sudah berjalan menuju tempatku berada dan langsung marah ketika melihatku membuka album foto tersebut. Langsung diambil dan disembunyikan olehnya entah dimana.
"Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya." -Ayah
Tak menyerah aku pun mencari keesokannya. Tak ku temukan di tempat mana pun yang menjadi tempat persembunyian favorit Ibu sampai akhirnya aku berhenti di lemari rustik yang di atasnya terdapat sebuah kaleng yang ternyata berisi album foto tersebut. Takut dimarahi Ibu, aku langsung mengantongi foto lelaki yang tak kukenal itu. Aku tak bisa bertanya Ibu, apalagi Ayah. Apa yang tidak diperbolehkan oleh Ibu pasti tidak boleh oleh Ayah. Kuputuskan untuk pergi ke rumah sang pemburu, ia seumuran dengan ayah, mungkin ia tahu siapa yang ada di foto ini dan menceritakannya padaku.
Sesampainya aku di rumah sang pemburu aku langsung menyodorkan foto yang kucari dari album kusam yang Ibu sembunyikan. Sang pemburu menatapnya lekat-lekat sampai-sampai matanya merah ingin menangis, "Ia Ayahmu, Ikal." Katanya seketika, membuatku tertengun. Dan beliau pun langsung menceritakan hal yang terkait dengan foto Ayahku itu. Aku mendengarkannya dengan seksama, meresapi betapa hebatnya Ayahku. Dibalik sifat terdapat sebuah keberanian tak terkalahkan. Aku sangat kagum dan ingin menjadi seperti dirinya.
Novel ketujuh dari Andrea Hirata yang sangat menyentuh. Menggambarkan perjuangan untuk melanjutkan cita-cita sang Ayah yang terhenti akibat kekejaman penjajah sekaligus menampakkan kecintaanya kepada sang Ayah, terbukti dengan usahanya rela bekerja ke sana-ke mari di negeri Matador demi memberikan sebuah jersey berbubuhkan tanda tangan idola sang Ayah, Luis Figo. Andrea juga menanamkan sebuat titik rasa naisonalisme dan optimisme yang sangat kuat melalui kecintaannya terhadap si kulit bundar yang tertular dari Ayahnya.
Dengan gaya bahasanya yang ringan dan mudah dimengerti serta tidak membosankan, Andrea membawa para pembaca kembali terjun ke masa kecilnya serta terjun lebih dalam ke kehidupan masa lampau Ayahnya yang pendiam. Ringan namun jelas, itulah tergambar dari cerita yang ia tuliskan. Pelan namun pasti, merasuk ke dalam diri para pembaca betapa Andrea mencintai sang Ayah. Penulis yang membesarkan nama pulau penghasil timah terbesar di Indonesia ini sukses membawa para pembaca larut dalam tulisannya yang khas yang kadang menyisipi kata-kata unik yang berasal dari daerahnya. Novel yang sangat menarik, penggambaran perlawanan masyarakat pribumi melawan penjajah dengan cara yang lain dan unik berhasil membuahkan sebuah keberhasilan namun berakhir petaka. Menggambarkan optimisme di tengah jeratan kejamnya penjajah dan kejayaan yang tak ternilai harganya. Cerita yang sangat nasionalis dan penuh dengan harapan dilengkapi dengan sampul depan novel yang menimbulkan rasa ingin tahu pembaca, anak-anak yang berebut bola dengan warna hitam menggambarkan kegelapan dan tekanan yang terasa saat masa kecil sang Ayah. Namun, di latar belakangin dengan langit jingga senja yang sedikit berawan memperlihatkan optimisme dan pergulatan untuk mengapai tujuan dan cita-cita. Novel yang sangat cocok dibaca untuk semua kalangan terutama para penggila si kulit bundar dan untuk semua yang ingin mengetahui lebih dalam masa lalu kelam penjajahan yang terjadi di sebuah pulau kecil di kelilingin samudra. Terakhir sekali, saya berikan lima bintang untuk keberhasilan Andrea Hirata memukau dan membawa pembaca menuju masa kecilnya lagi serta talentanya yang lain dalam bidang musik yang melahirkan tiga buah lagu yaitu, "PSSI Aku Datang", "Sebelas Patriot", dan "Sorak Indonesia" yang dikemas dalam CD yang disertakan dalam novel ini.
"...bahwa cinta bagi kebanyakan perempuan adalah dedikasi dalam waktu lama, tuntutan yang tak ada habis-habisnya sepanjang hayat, dan semua pengorbanan itu tak jarang berakhir dengan kekecewaan yang besar."
0 komentar