Review; Si Anak Singkong
Kamis, Februari 28, 2013
Judul : Chairul Tanjung Si Anak Singkong
Penulis : Chairul Tanjung
Penyusun : Tjahja Gunawan Diredja
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : Juni 2012
Seorang anak lelaki yang hidup di daerah kumuh ibu kota yang keras bersyukur telah dilahirkan di sana, di Gang Abu, dengan kemiskinan yang selalu membayanginya setiap saat yang berakhir kepada kebencian menjadi seorang yang tak berdaya tanpa melakukan perlawanan. Dialah Chairul Tanjung.
Masa kecil yang keras disertai dengan kesulitan keuangan membuatnya tidak bisa merasakan kenikmataan dunia seperti saat teman-temannya bisa pergi study tour sedangkan ia hanya melambaikan tangannya melepas mereka padahal ialah sang panitia yang menyiapkan perjalanan itu. Atau, ketika ia harus menunggu sang Ayah di tikungan jalan lantaran cemas tidak dapat membayar zakat. Namun, dari sana lah itu ia belajar untuk menjadi kuat.
Titik balik perjalanannya dimulai ketika ia ingin melanjutkan sekolahnya ke universitas. Ia yang memilih untuk melanjutkan sekolah di kampus biru untuk jurusan Kedokteran Gigi harus membuat sang Ibu dengan sangat terpaksa menjual kain halusnya demi membiayainya melanjutkan sekolah. Melihat perjuangan sang Ibunda, ia pun berjanji kemudian untuk tidak lagi menyusahkan dan tidak meminta uang sepeser pun dari kedua orang tuanya. Perjalanan pun dimulai, CT yang lebih akrab dipanggil memulai usaha pertamanya sebagai juragan fotocopy di kampusnya memanfaatkan keadaan di mana teman-temannya membutuhkan jasa percetakan yang lebih murah dibanding dengan membeli buku. Dimanfaatkannyalah ruang di bawah tangga untuk memulai usahanya dan rupanya sukses besar dan membuatnya menjadi terkenal baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan dosen. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di kampus biru ia pun mulai membangun usaha-usaha yang lain bukannya membuka praktek sebagai dokter gigi. Seperti riak air laut yang pasang-surut, usaha CT pun mengalami bangkrut di awal usahanya, namun ia tak berhenti di situ dan terus melakukan usahanya sampai akhirnya sekarang sukses besar dengan berbagai perusahaan yang ia miliki.
Chairul Tanjung menulis sendiri kisah hidupnya dalam "Si Anak Singkong" dengan gaya menulis yang mudah dimengerti oleh para pembaca dan juga kejujuran yang terisat di dalamnya. Bukan untuk mengajari para pembaca tentang hidup dan bagaimana memaknainya, tapi hanya untuk berbagi pengalaman dan berbagi cerita serta kesedihan dan kemelaratan yang membuatnya bangkit untuk meninggalkan sebuah benda bernama kemiskinan yang menjerat siapapun tanpa belas kasih. Kisah masa lampau mendorongnya untuk lebih peduli pada generasi penerus agar tidak merasakan yang ia rasakan dulu dan memberantas segala bentuk kemiskinan melalui pendidikan, ia menyuarakan pendapat dan keinginannya dalam buku ini melalui ceritanya membangun pendidikan di negeri tercinta ini dengan cara dan prinsipnya. Sangat mengagumkan. Tidak hanya berteori seperti para wakil rakyat yang duduk di Senayan, CT langsung mengamalkannya dengan perbuatan dalam kehidupan nyata dan menyelamatkan hidup anak-anak generasi penerus untuk membangun hidupnya menjadi lebih baik dengan pendidikan. Kecintaan akan bangsa ini yang terpancar dari CT pun sangat bisa dirasakan dengan mudahnya. CT adalah orang yang sangat berprinsip dan teguh tak dapat digoyang dengan apa pun walaupun badai sekali pun. Semuanya terlihat sangat jelas dari tulisannya yang bercerita.
Namun, sangat disayangkan autobiografi yang begitu bagus dan menginspirasi dikemas dengan keadaan 'seadanya' menurut saya. Soft cover dengan foto Chairul Tanjung yang sedang tersenyum memamerkan giginya dengan mengenakan baju koko dan kopiah begitu menimbulkan kesederhanaan yang sangat mencerminkan sosok CT tapi mengapa tidak memilih kertas yang lebih keras sedikit saja untuk covernya agar tidak terlalu lemah dan mudah lusuh. Kertas isinya pun sungguh mengecewakan, begitu tipis dan sangat mirip kertas LKS siswa SMP. Suram. Itu kesan yang pertama saya tangkap. Ditambah dengan beberapa huruf cetakan yang terlihat samar-samar mempertegas kualitas percetakan yang sama seperti LKS untuk siswa SMP. Sungguh miris saya melihatnya. Sekiranya harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan kualitas kertas yang dihadirkan yang kadang memudar ke tangan pembaca setelah membacanya. Sangat disayangkan.
Terakhir saya harus memberikan lebih sedikit bintang dari yang saya berikan sebelumnya untuk buku ini karena kekecewaan saya terhadap kualitas kertas dan percetakannya. Maaf, kali ini saya hanya memberikan empat bintang untuk autobiografi yang sebenarnya sangat bagus ini namun kertas menghancurkan segalanya.
Masa kecil yang keras disertai dengan kesulitan keuangan membuatnya tidak bisa merasakan kenikmataan dunia seperti saat teman-temannya bisa pergi study tour sedangkan ia hanya melambaikan tangannya melepas mereka padahal ialah sang panitia yang menyiapkan perjalanan itu. Atau, ketika ia harus menunggu sang Ayah di tikungan jalan lantaran cemas tidak dapat membayar zakat. Namun, dari sana lah itu ia belajar untuk menjadi kuat.
Titik balik perjalanannya dimulai ketika ia ingin melanjutkan sekolahnya ke universitas. Ia yang memilih untuk melanjutkan sekolah di kampus biru untuk jurusan Kedokteran Gigi harus membuat sang Ibu dengan sangat terpaksa menjual kain halusnya demi membiayainya melanjutkan sekolah. Melihat perjuangan sang Ibunda, ia pun berjanji kemudian untuk tidak lagi menyusahkan dan tidak meminta uang sepeser pun dari kedua orang tuanya. Perjalanan pun dimulai, CT yang lebih akrab dipanggil memulai usaha pertamanya sebagai juragan fotocopy di kampusnya memanfaatkan keadaan di mana teman-temannya membutuhkan jasa percetakan yang lebih murah dibanding dengan membeli buku. Dimanfaatkannyalah ruang di bawah tangga untuk memulai usahanya dan rupanya sukses besar dan membuatnya menjadi terkenal baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan dosen. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya di kampus biru ia pun mulai membangun usaha-usaha yang lain bukannya membuka praktek sebagai dokter gigi. Seperti riak air laut yang pasang-surut, usaha CT pun mengalami bangkrut di awal usahanya, namun ia tak berhenti di situ dan terus melakukan usahanya sampai akhirnya sekarang sukses besar dengan berbagai perusahaan yang ia miliki.
Chairul Tanjung menulis sendiri kisah hidupnya dalam "Si Anak Singkong" dengan gaya menulis yang mudah dimengerti oleh para pembaca dan juga kejujuran yang terisat di dalamnya. Bukan untuk mengajari para pembaca tentang hidup dan bagaimana memaknainya, tapi hanya untuk berbagi pengalaman dan berbagi cerita serta kesedihan dan kemelaratan yang membuatnya bangkit untuk meninggalkan sebuah benda bernama kemiskinan yang menjerat siapapun tanpa belas kasih. Kisah masa lampau mendorongnya untuk lebih peduli pada generasi penerus agar tidak merasakan yang ia rasakan dulu dan memberantas segala bentuk kemiskinan melalui pendidikan, ia menyuarakan pendapat dan keinginannya dalam buku ini melalui ceritanya membangun pendidikan di negeri tercinta ini dengan cara dan prinsipnya. Sangat mengagumkan. Tidak hanya berteori seperti para wakil rakyat yang duduk di Senayan, CT langsung mengamalkannya dengan perbuatan dalam kehidupan nyata dan menyelamatkan hidup anak-anak generasi penerus untuk membangun hidupnya menjadi lebih baik dengan pendidikan. Kecintaan akan bangsa ini yang terpancar dari CT pun sangat bisa dirasakan dengan mudahnya. CT adalah orang yang sangat berprinsip dan teguh tak dapat digoyang dengan apa pun walaupun badai sekali pun. Semuanya terlihat sangat jelas dari tulisannya yang bercerita.
Namun, sangat disayangkan autobiografi yang begitu bagus dan menginspirasi dikemas dengan keadaan 'seadanya' menurut saya. Soft cover dengan foto Chairul Tanjung yang sedang tersenyum memamerkan giginya dengan mengenakan baju koko dan kopiah begitu menimbulkan kesederhanaan yang sangat mencerminkan sosok CT tapi mengapa tidak memilih kertas yang lebih keras sedikit saja untuk covernya agar tidak terlalu lemah dan mudah lusuh. Kertas isinya pun sungguh mengecewakan, begitu tipis dan sangat mirip kertas LKS siswa SMP. Suram. Itu kesan yang pertama saya tangkap. Ditambah dengan beberapa huruf cetakan yang terlihat samar-samar mempertegas kualitas percetakan yang sama seperti LKS untuk siswa SMP. Sungguh miris saya melihatnya. Sekiranya harga yang ditawarkan tidak sebanding dengan kualitas kertas yang dihadirkan yang kadang memudar ke tangan pembaca setelah membacanya. Sangat disayangkan.
Terakhir saya harus memberikan lebih sedikit bintang dari yang saya berikan sebelumnya untuk buku ini karena kekecewaan saya terhadap kualitas kertas dan percetakannya. Maaf, kali ini saya hanya memberikan empat bintang untuk autobiografi yang sebenarnya sangat bagus ini namun kertas menghancurkan segalanya.
0 komentar